Jumat, 14 Oktober 2011

PERUBAHAN

Wahai para pemimpin........
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam

Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri

Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat

Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda

Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi

Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa

Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi

Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa.......
.

(Pondok Petir, 14 Oktober 2011)

BERUSUH HATI

Hentakan kepalan tanganku pagi ini
memicu benak pikiran geram
terhadap layar reportase subuh
pada para pemimpin rakyat
yang senantiasa berulah aneh
menjadikan orang-orang terjaga
berlagu bagai badut penghibur
membuat penonton berduka tanpa ketawa

Hentakan kepalan tanganku siang ini
menggores pena-pena hitam
pada daun-daun kekeringan
mengacak buah semangat
meracik kata-kata menjadi kalimat resah
dalam baris-baris sajak keras
yang telah koyak diremas hati
karena tak pernah menjadi jiwa

Hentakan kepalan tanganku malam ini
telah mengoncangkan hati
bersamaan gempa yang terjadi pada hari ini
mencatat dengan nyata tindakan para pejabat
yang menimbulkan banyak data
”kemarin ratusan petani telah dirugikan…”
”kemarin ribuan penduduk kehilangan rumah…”
”kemarin jutaan rakyat dicuri pulsanya…”
”kemarin semua rakyat dirampok para pejabat…”
semua meresah-gelisahkan pemimpin

Hentakan kepalan tanganku
telah membius lentik kelopak mataku
hingga tak dapat ditutup


(Pondok Petir, 13 Oktober 2011)

PERUBAHAN

Wahai para pemimpin........
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam

Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri

Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat

Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda

Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi

Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa

Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi

Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........

(Pondok Petir, 12 Oktober 2011)

PERUBAHAN

Wahai para pemimpin........
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam

Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri

Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat

Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda

Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi

Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa

Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi

Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........

(Pondok Petir, 11 Oktober 2011)

PERTEMUAN JINGGA

Cerpen : Edy Priyatna

Jingga. Aku teringat ketika itu kita pernah bertemu secara tidak disengaja. Kita bertemu dalam bus malam. Rambutmu hitam pekat panjang terikat dengan ikatan rambut yang tidak terlihat. Wajahmu sejuk bening namun ada guratan kecil di pipi kanan dekat telingga, bekas jerawat. Lalu ada bekas luka dipergelangan tanganmu. Kemudian aku tidak pernah lupa pada saat itu aku bertanya secara spontan,
“Wah, kamu pernah mau bunuh diri ya?”
“Eh…bukan! Ini luka jatuh dari motor saat aku masih SMP!” jawabnya memprotes pendapatku.
“Lho koq, hanya tangan saja yang luka?” aku terus menggodanya.
“Ya nggaklah, dulu itu aku luka parah sekali, tangan dan pahaku dijahit. Waktu itu aku tidak sadarkan diri telah terluka. Bekasnya masih ada sih…”
Langsung aku menjelajahi tubuhmu dari kepala hingga ujung kaki. Namun tak ada tanda-tanda itu.
“Mana lukamu itu? Tidak terlihat?!”
Jingga melotot tajam. Namun hanya sebentar, lalu dia tersenyum.
“Kamu ingin melihatnya?!” tanyanya kemudian.
Aku hanya menjawabnya dengan senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalaku. Jingga mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berkata pelan-pelan, ”Harus punya surat dulu………”

********

Malam itu aku berlari sekencang-kencangnya mengejar bus yang telah keluar dari terminal, tapi tidak berhasil. Jadwal bus memang tidak pernah pasti. Kadang suka menunggu penumpang lama sekali. Masih wajarlah bila bangku masih kosong sebagian. Tetapi kadang sudah penuhpun masih belum beranjak dari tempatnya. Yang lebih mengesalkan lagi, aku berlari mengejarnya sebelum meloncat ke dalam bus dan ternyata aku telah naik bus yang salah. Busnya memang tidak salah tapi salahku sendiri yang nekad menaiki bus yang akan pulang ke pool.

Aku berharap bisa menjumpai Jingga kembali, setelah pertemuan beberapa waktu yang lalu. Tapi bus yang kunaiki, bangkunya masih kosong. Tiba-tiba kulihat sekelebat dirimu berada di bus yang lain. Secepat kilat aku meloncat dari busku. Bergegas aku menaiki bus yang masih berhenti. Kudapati dirinya, yang tengah tertunduk lesu. Tiada senyum yang terangkum. Hampir saja kuseru namanya, untuk meluapkan kegembiraanku. Namun entah kenapa tiba-tiba lidahku menjadi kelu. Jingga mengangkat kepalanya. Raut wajahnya cerah seketika setelah melihatku.
“Sayang, kemana saja? Aku hampir turun dari bus ini.“
Lalu dia langsung memelukku. Sehingga terlihat bagaikan sepasang kekasih yang saling menuntaskan kerinduan.
“Bus ini akan membawa mimpi-mimpi kita, sayang,” bisiknya di telingaku.

Kemudian aku dan Jingga duduk bersebelahan. Dia meluruskan kedua kaki dan mengangkat gaunnya yang terlihat seperti pengantin. Terlihat guratan kecil, sepanjang empat sentimeter di paha yang sebelah kiri. Aku merasa aneh.
“Lho, kita kan masih belum resmi?” kataku langsung memprotes.
“Sudah, sayang…kita sudah sah!” jawabnya dengan lantang. Bersamaan dengan bergeraknya bus keluar terminal.
Tak lama Jingga memegang kedua tanganku, dia menggeser tubuhku, agar aku melihat ke jendela kaca.
“Lihat bajumu, itu jas pengantin yang aku pilih.” Aku benar-benar tidak percaya dan masih penasaran dengan penjelasannya.
“Tapi, aku belum pernah mengucapkan ijab-kabul!”
“Aku yang telah mewakilinya, sayang. Masalahnya waktu itu kau tertidur.“
“Apa?!” aku terkejut hebat, “Tidak bisa begitu?!”
“Sudah yah, sayang. Kita tidak perlu berdebat lagi. Sudah terlambat………“
Buspun melaju dengan kencangnya. Hentakan kecil mulai terasa. Benar sudah terlambat bagiku untuk meloncat keluar.
“Bus aneh ini, akan pergi kemana?” kataku terdengar sedikit cemas.
“Ini bukan bus aneh, sayang. Ini bus malam pertama kita!” bisiknya sambil memeluk diriku dengan erat.

Aku terus larut dengan rasa cemas. Rasa itu telah bercampur aduk dengan rasa-rasa lainnya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap menikmati saja semua rasa tanpa harus memikirkan masalah yang sangat rumit di negeri ini yang selalu hinggap ketika aku bekerja. Batinku hanya berharap agar diriku tetap selamat dunia akhirat, sehingga perjalananku tetap sampai pada tujuan yang senantiasa kuinginkan.-

(Pondok Petir, 10 Oktober 2011)

KOMODO


Bersandar pada sebuah nusa putih
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni


Ketika sepi menyanyi warna hitam
munculah dengan melata seekor naga
langkah-langkah tegap menyergap
ombak meriak peluru menghujam
langsung mengusik jantung


Hidup mencari ilmu membawa mayat
dari timur hingga ke barat
langkah-langkah tegap menatap
singgah bersimpuh di kota hujan
pulau keajaiban duniapun telah ditemukan

(Pondok Petir, 15 Oktober 2011)

[FF] MALU TAMPIL PADA ULANG TAHUN RANGKAT

Cermin : Edy Priyatna

Setiap ada kegiatan yang khusus di Desa Rangkat, aku tidak pernah absen untuk mengikutinya. Pada syukuran hari ulang tahun desa yang Pertama di Villa LACITRA Desa Rangkat, aku dengan sigap membantu menyukseskannya termasuk mengatur acara yang telah menjadi kebiasaan disana. Dimana semua warga desa diwajibkan tampil ke depan podium untuk menyampaikan kesan dan pesan selama menjadi warga desa. Hal itu merupakan sebuah keunikan tersendiri yang ada di Indonesia dan hanya ada di desa ini. Mulai dari Kades Rangkat berserta perangkat desanya hingga RW, RT dan Hansip serta semua warga masyarakat desa tampil dengan gayanya masing-masing.

Sudah dua kali acara unik itu dilaksanakan. Dari seluruh warga yang hadir, ada satu orang tetanggaku yang selalu menghilang ketika acara itu dimulai. Arifin Basyir namanya, dia sebenarnya warga desa yang sangat rajin. Bahkan oleh Bu Kades dia telah dijuluki ‘tukang ngurus sapi’ desa yang hebat.

Setelah aku selidiki ternyata dia itu orangnya minder. Sehingga pada saat acara ulang tahun tersebut dimulai aku berusaha menjaganya agar tidak menghilang. Kemanapun dia pergi aku selalu mengikutinya. Bahkan saat dia pergi ke toilet, aku tetap menjaganya hingga dia keluar.

Ketika tiba giliran maju ke podium, Arifin dipanggil oleh pembawa acara Jingga dan Ibay. Namun dia sempat tidak bersedia berdiri dari bangkunya. Sementara semua warga memberi aplaus dan semangat. Lalu setelah aku membujuknya diapun bersedia tampil dan langsung aku mengantarnya naik ke atas panggung. Diatas panggung dia tersenyum dan cukup lama berdiam sambil berdiri.
“Hmm……..sebenarnya besar kemaluan saya berada di depan teman-teman semua tetapi karena didorong-dorong akhirnya berdiri juga…,” kata Arifin dengan lugu. Seluruh warga desa bersorak gembira pada saat itu. Akhirnya acara syukuran itupun berlangsung dengan sangat meriah dan luar biasa.-

(Pondok Petir, 08 Oktober 2011)

Kamis, 13 Oktober 2011

BERUSUH HATI

Hentakan kepalan tanganku pagi ini
memicu benak pikiran geram
terhadap layar reportase subuh
pada para pemimpin rakyat
yang senantiasa berulah aneh
menjadikan orang-orang terjaga
berlagu bagai badut penghibur
membuat penonton berduka tanpa ketawa

Hentakan kepalan tanganku siang ini
menggores pena-pena hitam
pada daun-daun kekeringan
mengacak buah semangat
meracik kata-kata menjadi kalimat resah
dalam baris-baris sajak keras
yang telah koyak diremas hati
karena tak pernah menjadi jiwa

Hentakan kepalan tanganku malam ini
telah mengoncangkan hati
bersamaan gempa yang terjadi pada hari ini
mencatat dengan nyata tindakan para pejabat
yang menimbulkan banyak data
”kemarin ratusan petani telah dirugikan…”
”kemarin ribuan penduduk kehilangan rumah…”
”kemarin jutaan rakyat dicuri pulsanya…”
”kemarin semua rakyat dirampok para pejabat…”
semua meresah-gelisahkan pemimpin

Hentakan kepalan tanganku
telah membius lentik kelopak mataku
hingga tak dapat ditutup

(Pondok Petir, 07 Oktober 2011)

Senin, 10 Oktober 2011

PELANGI

Hari ini aku rindu warnamu
datanglah ke pondokku segera
lama sudah tak ada kesejukan
bagai menanti sunyi di tengah kota
setiap hari cerah benderang
walaupun tanpa bintang
karena matahari telah murka
panasnya telah membias kembali
tak terhalang mega hitam
sehingga langit bergaris putih
matanya kering tak berair lagi........

Sekarang ini aku sangat rindu warnamu
kapankah kau akan tiba
sementara lama namamu
kerap dipanggil di tengah desa
warnamu kini terjatuh di bumi
merahmu ada di tanah kering
kuningmu ada di daun usang
hijaumu ada di batu karang
sebab mentari tak dapat melukismu
sehingga hilanglah semua
keindahan dan kesuburan........

Setiap hari aku selalu mengharapkanmu
karena sudah lama hujanpun tak pernah datang........

(Pondok Petir, 06 Oktober 2011)

PERJALANAN 9

Dalam kesendirian aku melangkah
pergi ke sudut ruang suci
mencari sesuatu yang hilang
entah apa aku tak tahu........
rasa itu datang menghampiri
menelusuri jalan kejujuran
gelora kalbu tak bersahabat
gelombang jiwa acap berkehendak

Tak ada hujan yang turun
tak ada angin yang menyebar
semua tak dapat kutolak
keringat terus mengalir deras
membanjiri hati kering
hingga menimbulkan jamur kerinduan
tanggapan indra yang tak bertepi........

Kau selalu hadir
tak berbekas nyata
dalam hening kesunyian
namun senantiasa tergores
pada lembar-lembar daun kering
yang tersimpan dalam detak jantung

Kini aku terus menata ruang
menyusun rapi semua anganku
dalam lemari kasih yang besar
di laci-laci putih yang bersih
agar jiwa menjadi sejuk dan damai

Ketika kulihat langkahku
bertanda pada ruang
yang pengap itu
tiba-tiba........
angin menyapa berbisik
meyakini........
peluhpun menyapu jejak luka........
lalu kutitipkan semua ketulusanku........


(Pondok Petir, 05 Oktober 2011)

Kamis, 06 Oktober 2011

[FF] KETINGGALAN

Hari telah sampai pada waktu fajar ketika Rizal berlari-lari kecil menuju ke rumahnya. Ia terlihat sangat terburu-buru sekali untuk segera memasuki rumahnya. Ketika sudah berada di depan pintu rumahnya ia menekan bel berkali-kali. Namun belum ada juga yang datang membukakan pintu itu. Lalu ia mencoba dengan menggedornya, tetapi masih belum juga ada respon. Kemudian dia berjalan ke samping rumah di sebelah sebuah pohon jengkol dia buang air kecil sambil berdiri.

Sebenarnya Rizal tidak biasa buang air selain di kamar mandi atau toilet rumahnya sendiri, apalagi buang air besar. Baru kali ini ia terpaksa melakukannya di halaman rumahnya. Ini suatu kebiasaan yang aneh. Bahkan karena sudah menjadi kebiasaan seperti itu, ia pernah buang air besar di rumah temannya ketika tiba-tiba perutnya terasa mulas dan ia ingin buang air besar. Namun setelah dia berada dalam kamar mandi tidak keluar secuilpun.

Setelah Rizal merasa lega karena telah mengeluarkan hajatnya, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Lalu tanpa pikir panjang lagi ia langsung berlari sekencang-kencangannya menuju kearah pada saat dia datang. Tanpa berhenti ia berlari melewati jalan yang panjang, perkampungan sunyi. Tak lelah berlari dalam kegelapan hingga melalui beberapa perempatan di lintasan yang belum ramai pada saat itu. Dalam pelarian yang sangat tergesa-gesa itu sempat mengundang perhatian seekor anjing sayur yang kebetulan sedang terbangun di tepi jalan menunggu mangsa datang. Anjingpun langsung ikut mengejar Rizal, namun karena tahu dikejar ia lebih meningkatkan lagi kecepatan berlarinya. Sehingga anjing tersebut tertinggal jauh dan langsung kembali ke tempat semula.

Akhirnya dengan nafas yang tesengal-sengal Rizal tiba juga di rumah yang dituju. Ketika sudah di depan pintu ia langsung menggedor-gedor pintu rumah itu. Cukup lama juga ia menunggu sipemilik rumah keluar.
“Siapa di luar?” tanya seorang wanita dari dalam rumah.
“Saya Rizal…..” sahut Rizal dengan suara agak pelan.
“Siapa??” tanyanya lagi.
“Rizal, mbak….!” Jawab Rizal dengan keras.
Tak lama kemudian wanita itu membukakan pintu rumahnya.
“Ada apa?!”
“Celana dalam ketinggalan……..”

(Pondok Petir, 04 Oktober 2011)

Rabu, 05 Oktober 2011

PEREMPUANKU

Ketika kau datang hingga pertemuan itu terjadi
aku hampir tidak percaya
sungguh nyata adanya
sosok sederhana
luar biasa

Kau indah namun tak dapat diraih
kau cantik tapi tak bisa dipegang tak bisa diraba
kau menawan buah pikiranku selalu erat dalam pelukan
bersama langkah tegapku menyusuri belantara disaat mata terlelap
menyoroti bayangmu seperti tak pernah lenyap dari layarku yang lebar membentang

Lalu kukembangkan sayapku terbang tinggi keatas awan melayang menciptakan puisi langit menggoreskan cermin mega membentuk prosa cakrawala meniti makna pelangi melewati mentari menyongsong senja meneropong bintang menikmati rembulan menelusuri jiwa mengungkapkan rasa tersembuyi dibalik hati nan suci luapkan cinta putihku nan sejati

(Pondok Petir, 03 Oktober 2011)

PERJALANAN 8

Pada lintas selanjutnya
melewati pulau perkampungan
ada gangguan yang mengusik dalam angan
saat serangan menerjang dalam badai
adalah cara hidup alami
tak mudah dapat terbayangkan
asa-asaan pada ikhtiar dan keyakinan

Dibawah sorot matahari, kita bernaung
diatas badai kita bertahan
di dalam sebuah kehendak dan keyakinan

Suasana itu laksana kapal berlayar
tak mudah dapat terbayangkan
tak akan pernah tahu
ada ombak menghamtam
saat badai menerjang
tetap berpikir dalam benak
hanya berlayar dan berlayar
hingga ke negeri impian

Pada ikhtiar dan kehendak
harus dalam keyakinan
bahwa Dia senantiasa ada saat dibutuhkan


(Pondok Petir, 02 Oktober 2011)

Selasa, 04 Oktober 2011

PERJALANAN 7

“Perpisahan bukan ujung perjalanan”
kata hati ketika terhenti

Tanpa peduli apapun
kaki ini terus melangkah
melewati bukit kesedihan
meninggalkan jurang penyesalan
melalui rintangan sunyi
hingga menciptakan kasih
kembali menanti hidup sejati

Tanpa terasa apapun
langkah terus menjadi lelah
memerlukan pondok\teduh
alas penuh kerindangan
mengisi energi terbuang
pada cinta yang tersimpan
menyongsong masa depan

“Perjalanan harus diteruskan……..”
kata hati ketika terhenti

(Pondok Petir, 01 Oktober 2011)

MALAM

Senantiasa datang pada belahan
saat mentari tenggelam
ketika bumi berputar
menghalangi sinar surya itu
memberi batasan dibalik kehidupan
hingga menghujani hitam kelam
menjadikan sebuah waktu gelap
membuat diriku……..
harus menciptakan tidur
yang amat indah
lalu terlelap dalam mimpi
sehingga menerangi jiwa dalam kegelapan

(Pondok Petir, 30 September 2011)

[FF] SAHABAT BENING

Cermin : Edy Priyatna

Pada sebuah pantai yang gersang di sore hari seorang pemuda duduk terdiam disebuah batang pohon usang, memandangi ombak yang datang dan pergi. Wajahnya murung lesu dirundung kesedihan. Sementara itu dikejauhan ada seseorang yang mengintai sambil berusaha menghampirinya.

“Hidupku seperti ombak…,” kata pemuda itu ketika dia tahu kalau ada yang datang mendekatinya. Lalu ia melanjutkan kata-katanya sambil menundukkan kepala, “…..ombak itu selalu ingin menepi, tetapi pantai selalu mengusirnya kembali.”

“Tenanglah, Ron. Aku yakin pasti ada jalan keluarnya.”

“Bagaimana caranya, Ning? Seorang pengamen jalanan yang putus sekolah sepertiku bisa membiayai operasi bunda yang terbaring lemah karena kanker payudara?” katanya lemah.

“Sekali lagi. Janganlah pernah berputus asa, Ron. Di bumi ini masih ada orang yang mau membantu orang lemah seperti kita. Masih ada yang peduli, hanya saja mungkin mereka belum tahu keadaan ibumu. Aku yakin kita akan menemukan sosok malaikat penolong di antara mereka,” kata Bening dengan penuh semangat. Sudah tiga hari ini Bening selalu berusaha untuk memberi semangat kepada Roni dan hingga hari ini masih belum mengena. Bening juga sudah berusaha memberitahukan semua sahabatku yang lain tentang masalah itu. Bening sangat berharap kata-katanya itu mampu menenangkan hati Roni sahabatnya.

“Terima kasih ya Ning……..,” sahut Roni tiba-tiba. “Kaulah yang selalu membangkitkan semangatku di saat-saat seperti ini. Kau sahabat terbaik yang pernah aku kenal, Ning!” lanjut Roni dengan senyum. Roni menatap mata Bening dan dia merasakan hari ini mata itu terlihat semakin bening.-

(Pondok Petir, 29 September 2011)

Senin, 03 Oktober 2011

HASRAT

Ketika langit mengukir gelap
berhias lembayung diufuk sana
kurasakan hentakan malam menyelimuti
menghitamkan relung kalbu
pada langit kukatakan
pada malam kedongengkan
betapa sarat hati ini berisi ingin
betapa penuh jiwa ini tertanam angan
namun kurasakan hitamnya dinding itu
yang panjang membentang
hingga aku tak dapat memelukmu……..


(Pondok Petir, 28 September 2011) ft.BCJ

BINTANG

Cahayamu selalu memanggil
di atas gubug putih
pada setiap malamku
terang dalam gelap
hadir dalam sajak
bersenandung gembira
mengantar waktu tidur
hingga membuatku terlelap
di peraduan senja
meninggalkan inspirasi


(Pondok Petir, 27 September 2011)

KALBUKU MENJELANG SENJA

Merah jambu itu
terhampar nyata indahnya
terlukis tegas garisnya
menghias kaki bukit hijau
pelengkap kuning putih ungu
tak nampak mendung di langit
bahkan mengurat awan tipis
melayang membawaku ke bukit itu
hingga tiba di langit biru……..

(Pondok Petir, 26 September 2011) ft.BCJ