Cerpen : Edy Priyatna
Jingga. Aku teringat ketika itu kita pernah bertemu secara tidak disengaja. Kita bertemu dalam bus malam. Rambutmu hitam pekat panjang terikat dengan ikatan rambut yang tidak terlihat. Wajahmu sejuk bening namun ada guratan kecil di pipi kanan dekat telingga, bekas jerawat. Lalu ada bekas luka dipergelangan tanganmu. Kemudian aku tidak pernah lupa pada saat itu aku bertanya secara spontan,
“Wah, kamu pernah mau bunuh diri ya?”
“Eh…bukan! Ini luka jatuh dari motor saat aku masih SMP!” jawabnya memprotes pendapatku.
“Lho koq, hanya tangan saja yang luka?” aku terus menggodanya.
“Ya nggaklah, dulu itu aku luka parah sekali, tangan dan pahaku dijahit. Waktu itu aku tidak sadarkan diri telah terluka. Bekasnya masih ada sih…”
Langsung aku menjelajahi tubuhmu dari kepala hingga ujung kaki. Namun tak ada tanda-tanda itu.
“Mana lukamu itu? Tidak terlihat?!”
Jingga melotot tajam. Namun hanya sebentar, lalu dia tersenyum.
“Kamu ingin melihatnya?!” tanyanya kemudian.
Aku hanya menjawabnya dengan senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalaku. Jingga mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berkata pelan-pelan, ”Harus punya surat dulu………”
********
Malam itu aku berlari sekencang-kencangnya mengejar bus yang telah keluar dari terminal, tapi tidak berhasil. Jadwal bus memang tidak pernah pasti. Kadang suka menunggu penumpang lama sekali. Masih wajarlah bila bangku masih kosong sebagian. Tetapi kadang sudah penuhpun masih belum beranjak dari tempatnya. Yang lebih mengesalkan lagi, aku berlari mengejarnya sebelum meloncat ke dalam bus dan ternyata aku telah naik bus yang salah. Busnya memang tidak salah tapi salahku sendiri yang nekad menaiki bus yang akan pulang ke pool.
Aku berharap bisa menjumpai Jingga kembali, setelah pertemuan beberapa waktu yang lalu. Tapi bus yang kunaiki, bangkunya masih kosong. Tiba-tiba kulihat sekelebat dirimu berada di bus yang lain. Secepat kilat aku meloncat dari busku. Bergegas aku menaiki bus yang masih berhenti. Kudapati dirinya, yang tengah tertunduk lesu. Tiada senyum yang terangkum. Hampir saja kuseru namanya, untuk meluapkan kegembiraanku. Namun entah kenapa tiba-tiba lidahku menjadi kelu. Jingga mengangkat kepalanya. Raut wajahnya cerah seketika setelah melihatku.
“Sayang, kemana saja? Aku hampir turun dari bus ini.“
Lalu dia langsung memelukku. Sehingga terlihat bagaikan sepasang kekasih yang saling menuntaskan kerinduan.
“Bus ini akan membawa mimpi-mimpi kita, sayang,” bisiknya di telingaku.
Kemudian aku dan Jingga duduk bersebelahan. Dia meluruskan kedua kaki dan mengangkat gaunnya yang terlihat seperti pengantin. Terlihat guratan kecil, sepanjang empat sentimeter di paha yang sebelah kiri. Aku merasa aneh.
“Lho, kita kan masih belum resmi?” kataku langsung memprotes.
“Sudah, sayang…kita sudah sah!” jawabnya dengan lantang. Bersamaan dengan bergeraknya bus keluar terminal.
Tak lama Jingga memegang kedua tanganku, dia menggeser tubuhku, agar aku melihat ke jendela kaca.
“Lihat bajumu, itu jas pengantin yang aku pilih.” Aku benar-benar tidak percaya dan masih penasaran dengan penjelasannya.
“Tapi, aku belum pernah mengucapkan ijab-kabul!”
“Aku yang telah mewakilinya, sayang. Masalahnya waktu itu kau tertidur.“
“Apa?!” aku terkejut hebat, “Tidak bisa begitu?!”
“Sudah yah, sayang. Kita tidak perlu berdebat lagi. Sudah terlambat………“
Buspun melaju dengan kencangnya. Hentakan kecil mulai terasa. Benar sudah terlambat bagiku untuk meloncat keluar.
“Bus aneh ini, akan pergi kemana?” kataku terdengar sedikit cemas.
“Ini bukan bus aneh, sayang. Ini bus malam pertama kita!” bisiknya sambil memeluk diriku dengan erat.
Aku terus larut dengan rasa cemas. Rasa itu telah bercampur aduk dengan rasa-rasa lainnya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap menikmati saja semua rasa tanpa harus memikirkan masalah yang sangat rumit di negeri ini yang selalu hinggap ketika aku bekerja. Batinku hanya berharap agar diriku tetap selamat dunia akhirat, sehingga perjalananku tetap sampai pada tujuan yang senantiasa kuinginkan.-
(Pondok Petir, 10 Oktober 2011)