Ada jalan menuju kediamanmu
selorong dekat perkampungan
di timur ada telaga
aku sempat rehat di tepi dan mandi……..
Di atas desa itu
tampak kau tersenyum
di pekarangan yang hijau
aku sambut cepat dengan berseri……..
Kini telah tiada tanah adat
sungai yang dulu benyanyi deras
tinggal genangan retak
sunyi gersang
tak ada lagi orang-orang
bermain disini
mereka pergi mencari
tempat bermain yang lain
di lorong-lorong jalan
di kolong-kolong jembatan
di pasar-pasar terminal
yang buat desa ini
menjelma kota sunyi……..
Ada jalan menuju kediamanmu
dahulu kala selorong dekat
perkampungan dan telaga di timur
tapi kini sunyi gersang
hanya ada gemuruh tambang
siang malam
bagai menjaga rembulan
mengusir mentari
dari jalan menuju kediamanmu……..
Kau tahu pertambangan itu
gemuruhnya benyanyi deras
perkampungan dan telaga luas
menjadi Sirna
seketika……..
tercebur lumpur
“Hancur leburlah masa depan kami”
kata suara kecil yang ketakutan
Aku mengenang-ngenang
suatu masa tentang raja penguasa
nan sakti
pada tongkatnya
dengan hanya menunjuk
dapat meraih tempat
membajak sawah orang
menindas……..
Kata dalam hikayat
sang raja penguasa adalah penyayang
entah kepada siapa
lalu dengan tongkat
dia berputar deras
maka keluarlah kekayaan bumi
lumpurpun meluap
rakyatnya sekarat melarat……..
Kata dalam hikayat
waktu terus meluncur
lumpur terus menjulang
raja penguasa menghilang bersama tongkatnya
perkampungan……..
desa……..
telaga……..
menjadi rata
gemuruhnya mencekik rakyat
Kini kutahu beritanya
dari buku sejarah bangsa
(Pondok petir, 09 Agustus 2011)
Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66