Cermin : Edy Priyatna
Pada minggu yang lalu pak RT Ibay yang tadinya seorang Kepala Bagian Bidang Perikanan di Desa Rangkat, dilantik oleh Kementrian Pusat di Jakarta menjadi pejabat Kepala Dinas yang di tugaskan di daerah Banten. Awalnya dia sangat terkejut dengan pengangkatan itu karena tidak dinyana sama sekali. Namun betapa bahagianya kini telah menjadi seorang pejabat yang benar-benar pejabat bukan penuh jerawat batu, kata orang-orang.
Setelah pindah ke tempat yang baru pejabat Ibay sudah tidak menjadi RT lagi, karena sudah tidak tugas di Desa Rangkat lagi. Pada saat dia mengisi rumah dinas ketika baru mulai pindah, dia dikunjungi oleh seorang hansip dari daerah setempat.
“Bapak Ibay yang terhormat…” kata hansip tersebut.
“Iya saya, bapak siapa? Ada keperluan apa?”, sahut pejabat Ibay cukup berwibawa.
“Saya Hans pak Ibay…..,” jawab hansip Hans tegas nggak mau kalah penampilan, “Saya hanya ingin memberitahukan saja kepada bapak, bahwa sudah menjadi kebiasaan di daerah ini setiap pejabat harus memiliki seorang jaro atau centeng. Dengan begitu bapak akan aman terlindungi, termasuk semua barang-barang milik bapak. siapapun pasti tidak akan ada yang berani mencurinya.”
Pejabat Ibay langsung tambah berwibawa dan dengan tegas pula dia berkata, “Saya tidak perlu dengan yang namanya jaro atau centeng, karena saya sudah memiliki keamanan khusus!”
Mendengar jawaban dari pejabat Ibay, hansip Hans langsung pergi tanpa permisi lagi.
Keesokan harinya pejabat Ibay sangat terkejut, karena pagi-pagi sekali ketika dia bangun dari tidurnya, dirinya sudah tidak di atas kasur di kamarnya, tetapi berada di sebuah lapangan rumput dengan dikelilingi barang-barang bawaannya. Kemudian dia langsung memeriksa barang-barangnya dan ternyata tidak ada satupun yang hilang. Tak lama kemudian muncullah hansip Hans yang kemarin telah mendatanginya.
“Bagaimana kabarnya, pak Ibay…,” tanyanya.
“Mulai hari ini kamu saya angkat menjadi Keamanan Khusus Pribadi!”, jawab pejabat Ibay tanpa mengurangi kewibawaannya.-
(Pondok Petir, 26 September 2011)
Jumat, 30 September 2011
POTRET SAHABAT SEJATI
Melalui relung hati
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Gita pekik dikumandangkan
musuh terkalahkan
jiwa termenangkan
semua tersandangkan
makhluk paling sempurna……..
Akankah wajah-wajah tetap terpajang
dalam kewajaran alami
titipan yang disampaikan
tanda yang diukurkan
Sang Pencipta……..
menyebar keterangan
bias cahaya ciptakan ketenangan
Wahai anugerah itu
gemuruhkan dada
getarkan raga
luruhkan jiwa
sudahkah menjelma
dalam langkah sehari-hari
pada amal ibadah……..
Melalui relung hati
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Nyalakan api cinta……..
cengkeram rasa dengarnya
buka mata lihatnya
terang pikir akalnya
meningkah rindu hatinya
Bila saja engkau tahu
betapa pikiran tak akan diam
betapa ingin tak pernah dingin
menabuh cengkram dalam benak
atas rangkaian……..
bulat tekad menjadi tegak
di atas nazar lepas bertindak
melangkah dalam kehendak……..
(Pondok Petir, 25 September 2011)
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Gita pekik dikumandangkan
musuh terkalahkan
jiwa termenangkan
semua tersandangkan
makhluk paling sempurna……..
Akankah wajah-wajah tetap terpajang
dalam kewajaran alami
titipan yang disampaikan
tanda yang diukurkan
Sang Pencipta……..
menyebar keterangan
bias cahaya ciptakan ketenangan
Wahai anugerah itu
gemuruhkan dada
getarkan raga
luruhkan jiwa
sudahkah menjelma
dalam langkah sehari-hari
pada amal ibadah……..
Melalui relung hati
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Nyalakan api cinta……..
cengkeram rasa dengarnya
buka mata lihatnya
terang pikir akalnya
meningkah rindu hatinya
Bila saja engkau tahu
betapa pikiran tak akan diam
betapa ingin tak pernah dingin
menabuh cengkram dalam benak
atas rangkaian……..
bulat tekad menjadi tegak
di atas nazar lepas bertindak
melangkah dalam kehendak……..
(Pondok Petir, 25 September 2011)
Kamis, 29 September 2011
ULANG TAHUN #6
Setiap saat selalu saja terjadi
ada perasaan hilang
terjadi
perasaan kehilangan
saja
ada hilang rasa
selalu
kehilangan rasa
setiap saat........
Terjadi
karena kita
selalu
mengenal cinta........
(Pondok Petir, 24 September 2011)
ada perasaan hilang
terjadi
perasaan kehilangan
saja
ada hilang rasa
selalu
kehilangan rasa
setiap saat........
Terjadi
karena kita
selalu
mengenal cinta........
(Pondok Petir, 24 September 2011)
ULANG TAHUN #5
Pada hari itu
aku pasti
akan hadir
walaupun……..
hanya dengan tangan
hampa
tanpa bingkisan
tanpa hadiah
tanpa kado
karena……..
aku hanya punya puisi
(Pondok Petir, 23 September 2011)
aku pasti
akan hadir
walaupun……..
hanya dengan tangan
hampa
tanpa bingkisan
tanpa hadiah
tanpa kado
karena……..
aku hanya punya puisi
(Pondok Petir, 23 September 2011)
ULANG TAHUN #4
Ketika ulang tahun tiba
di balik pintu
aku mulai menyapa
yang datang mengetuk
“siapa di luar?”
“sunyi…”
“siapa?!”
“sunyi!”
“aku tak kenal dengan yang namanya sunyi.”
“aku juga tak kenal dengan yang namanya pintu.”
(Pondok Petir, 22 September 2011)
di balik pintu
aku mulai menyapa
yang datang mengetuk
“siapa di luar?”
“sunyi…”
“siapa?!”
“sunyi!”
“aku tak kenal dengan yang namanya sunyi.”
“aku juga tak kenal dengan yang namanya pintu.”
(Pondok Petir, 22 September 2011)
[ECR] PERJALANAN KEDUA DEVI (Nunil 3)
Hari masih gelap ketika aku terjaga di kamarku sendiri. Setelah kulihat jam yang tergantung di dinding waktu menunjukkan pukul 04.15 WIB. Tiba-tiba aku teringat kalau telah berpesan melalui handphone-ku dua hari yang lalu.
“Kamu berangkatnya besok sore saja Neng!” kataku via sms.
“Benar Mas ! Neng berangkatnya besok sore,” begitu jawaban sms yang kudapat dari Nunil sahabatku di Bogor. Aku belum yakin hal itu akan terjadi apakah benar Nunil akan berangkat menemuiku di Kota ini. Sebenarnya aku sangat rindu bertemu dengannya. Aku telah berjanji akan menemuinya setelah semua tugas-tugasku selesai. Namun entah kenapa tiba-tiba dia yang ingin datang menemuiku dan aku benar-benar tidak percaya.
Nunil akhirnya memang berangkat juga menuju Tuban Jawa Timur sesuai waktu yang telah aku sarankan. Ia berangkat dari Bogor dengan menggunakan Bus Pahala Kencana tepat pada jam 15.00 WIB. Ketika berada diatas bus dia memberitahukanku,
“Mas, aku sudah jalan” katanya melalui sms.
“Okay Nil, TTDJ ya” jawabku dengan sms juga.
Sebenarnya kami berdua memang belum pernah saling bertemu sekalipun. Kami berdua secara kebetulan adalah sama-sama alumni pada salah satu SLTA di Jakarta. Berawal dari pertengahan bulan Nopember tahun lalu pada saat persiapan rencana pelaksanaan acara Reuni di sekolah tempat kami berdua dulu belajar, kami sudah saling berhubungan pertemanan di Facebook. Dan kamipun sepakat untuk bertemu pada saat Reuni diselenggarakan. Namun ketika acara tersebut berlangsung, ternyata aku dan Nunil tidak pernah bertemu. Tidak ada tanda-tanda !
Kemudian waktu terus berlalu begitu cepatnya hingga pada suatu hari, Nunil sedang ikut membantu kegiatan anggota Paskibra di sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu akan menyelenggarakan sebuah event perlombaan. Secara tidak sengaja kamipun berhubungan kembali masih via internet yang kemudian berlanjut via telepon genggam hingga saat ini. Dan kamipun telah berjanji lagi untuk saling bertatap muka. Namun sudah setahun lebih lamanya, pertemuan itupun belum pernah terjadi!
“Mas, aku nanti dijemput dimana?”tanya Nunil lagi via sms.
“Nanti aku jemput di Restoran ‘Taman Sari’ Tuban, karena memang busnya akan berhenti disana Neng” jawabku menjelaskannya.
Bus yang ditumpangi Nunil meluncur cepat hingga mencapai di pemberhentian pertama di rumah makan ‘Uun’ Subang untuk makan malam para penumpang. Tetapi waktu itu Nunil memilih untuk tidak turun dari bus dan ia tidak ikut makan malam bersama penumpang lainnya. Entah kenapa?!
Setelah selesai makan malam selama kurang lebih tiga puluh menit, bus mulai berjalan kembali menuju kearah timur melewati kota-kota di Jawa Barat hingga masuk di Pintu Gerbang Gapura daerah Jawa Tengah.
“Sudah di kota Tegal, Mas”, Nunil sms kembali, ketika bus mulai memasuki gerbang kota Tegal.
“Iya, kamu bobo aja Nil…” sahutku lagi.
“Iya Mas…”, jawab Nunil. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan bus. Biasanya dengan Kereta atau Pesawat terbang. Tetapi rasa khawatirnya tidak terlihat jelas. Untuk itu pun aku tak dapat tidur nyenyak pada malam itu.
Ketika bus melewati kota Pekalongan, Batang, Kendal dan kota Rembang, Nunil selalu memberitahukanku melalui sms bahwa ia telah melewati kota tersebut. Dan pada saat bus memasuki perbatasan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ia merasa sedikit gembira karena tempat tujuannya sudah hampir sampai. Namun iapun masih bingung karena memang belum pernah jalan-jalan sejauh itu.
“Mas berapa lama lagi Nunil akan sampai di Tuban?” tanyanya lagi via sms.
“Oh…dua setengah jam lagi Nil…”
“Mas dimana? Kalau begitu sebentar lagi sampai ya ? Tunggu, Nunil sekarang di Taman Sari ya, Mas!”, katanya mulai merasa khawatir nantinya dia tidak di jemput.
“Iya..iya…Nunil!”, jawabku meyakinkannya. Nunil tersenyum lebar karena merasa aku agak kesal dengan sikapnya. Selama kami saling berhubungan via internet maupun dengan handphone, keduanya selalu saling sahut menyahut dengan bahasa yang sudah sering dibicarakan. Sehingga ada kata-kata yang membuat Nunil dan aku merasa bahagia apabila disampaikan saat saling ‘berhubungan’. Aneh!
Yang lebih aneh lagi, sebenarnya Nunil itu adalah bukan nama sebenarnya. Selama ini aku panggil dia Nunil atas permintaanku sendiri agar lebih akrab dan ia suka sekali dengan panggilan itu. Menurutnya hanya aku yang memanggilnya dengan nama Nunil. Padahal kami berdua belum pernah saling berjumpa sekalipun.
Akhirnya bus yang ditumpangi Nunil tiba di Kota Tuban, di Restoran Taman Sari, tepat pukul 06.30 WIB pada hari berikutnya. Aku sudah menunggu selama lima belas menit di restoran itu. Pada saat Nunil turun dari bus, aku langsung menyambutnya dengan perasaan yang berdebar-debar.
“Devi…..”, katanya menyalamiku. Ia tersenyum karena ternyata aku benar-benar telah menjemputnya di kota Tuban.
“Lala…”, sahutku, sambil langsung mengambil tas yang dibawa oleh Nunil. Lalu kamipun langsung menuju ke Penginapan Hotel ‘Irwan’ di jalan Diponegoro No.42 Tuban Jawa Timur dengan menggunakan mobil Avanza warna hijau muda.
Setibanya di kamar penginapan yang sudah dipesan sebelumnya, Nunil langsung mandi. Kemudian kami berdua sarapan pagi makan Pecel Madiun di jl. Sunan Kalijaga Tuban, sambil berbincang-bincang. Terlihat sangat akrab sekali walaupun kadang lebih banyak diamnya dibanding ngobrolnya, kami berdua saat itu bagaikan sahabat yang sudah lama sekali tidak berjumpa.
Setelah sempat beristirahat selama kurang lebih dua jam, aku dan Nunil berangkat menuju kota Lamongan pada jam 10.00 WIB sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Rencananya Nunil akan tinggal dua malam di kota ini. Selama berada di sini, Nunil akan aku bawa ke tempat rekreasi yang belum pernah ia kunjungi. Di dalam perjalanan yang memakan waktu hingga satu jam itu, aku sempat menggagumi Nunil karena dia tidak menyangka sama sekali kalau benar-benar akan ke Tuban untuk menemuinya. Nunil sendiri merasa seperti bermimpi dapat menginjakan kakinya di kota ini dan merasa tersanjung mendapatkan pelayanan yang sangat istimewa.
Anehnya selama dalam perjalanan itu kami berdua tidak banyak bicara. Aku merasa canggung dan lidahku terasa kelu. Namun semua itu masih tertolong oleh pertanyaan yang keluar lembut dari mulut Nunil sesekali. Walaupun hanya bertanya nama daerah yang dia belum pernah tahu ketika dilewati. Sungguh aku tidak mengerti. Tiba di Lamongan, di ‘Wisata Bahari Lamongan’ pukul 11.00 WIB. Aku mengajaknya bermain di stand-stand yang ada di taman wisata itu. Disana, Nunil selalu mengikutiku kemana aku mau. Setelah puas keliling arena Nunil terlihat senang sekali. Akupun merasa bersukacita. Lalu kamipun kembali ke Tuban dengan perasaan yang bahagia sekali. Tiba di tempat penginapan aku mengantarnya dan sempat membicarakan rencana besok pagi.
“Terima kasih ya Mas, sudah membuat Nunil senang…..,” kata Nunil terlontar bersamaan dengan senyumnya yang manis.
“Alhamdulillah, aku juga ikut senang, sampai besok ya Neng,” jawabku juga dengan senyum.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi di tempat penginapan, Aku dan Nunil berangkat menuju Surabaya. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, kami berdua tetap tidak berkata selain Nunil bertanya tentang lokasi dan aku menjawab pertanyaan itu dengan baik. Seperti petugas travel yang sedang bertugas membawa costumer. Padahal semenjak Nunil datang jantungku selalu berdetak deras. Ketika tiba di Surabaya jam 10.30 WIB aku terus langsung mengantar Nunil ke tempat yang harus ditemuinya untuk urusan tugas kerjanya. Aku baru tahu ternyata karena itulah ia bersikeras ingin menemuiku, karena sebelumnya ia selalu merahasiakannya.
Setelah urusan Nunil selesai, kami makan siang di restoran Coto Makassar jl. Mayjen Sungkono. Lalu sempat mampir ke Tunjungan Plaza Surabaya. Kemudian sore harinya ke Pulau Madura melewati jembatan Suramadu, karena Nunil ingin melihat jembatan itu pada malam hari. Setelah foto-foto di Madura, akhirnya kami kembali ke Surabaya untuk makan malam di Kedai Sop Kaki kambing ‘Dua saudara’ di Jl. Kedungdoro. Kemudian bernyanyi bersama di NAV karaoke keluarga di Jl. Dr. Soetomo sampai dengan pukul 22.30 WIB.
Setelah selesai bernyanyi bersama akhirnya kami kembali pulang ke Tuban. Selama perjalanan di Surabaya hingga kembali lagi ke Tuban, kami berdua tetap tidak banyak bicara apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya, padahal banyak yang ingin kukatakan padanya.
Pagi harinya ketika mentari mulai melumat fajar, aku kembali menemui Nunil karena siang ini ia akan kembali ke Bogor.
“Selamat Pagi, Neng…,” sapaku di ruang tamu penginapan.
“Selamat pagi Mas Lala,” sahutnya sambil tersenyum, “Pagi ini bisa antar Nunil membeli oleh-oleh kan Mas?”
“Pastilah itu Neng, kamu sudah sarapan?”
“Sudah Mas…”
“Bagaimana tidurmu, Neng…?”
“Alhamdulillah nyenyak Mas.”
“Bagaimana kesanmu selama di kota ini, Neng…?”
“Alhamdulillah menyenangkan sekali, terima kasih ya Mas Lala…”
Hari mulai gelap ketika aku masih terjaga. Akhirnya Nunil pun telah kembali pulang ke Bogor. Sementara aku masih merasa bermimpi bertemu langsung dengannya. Lidahku tetap kelu, tiada kata-kata………..-
(Pondok Petir, 22 September 2011)
*TTDJ = bahasa sms yg artinya : hati-hati di jalan.
“Kamu berangkatnya besok sore saja Neng!” kataku via sms.
“Benar Mas ! Neng berangkatnya besok sore,” begitu jawaban sms yang kudapat dari Nunil sahabatku di Bogor. Aku belum yakin hal itu akan terjadi apakah benar Nunil akan berangkat menemuiku di Kota ini. Sebenarnya aku sangat rindu bertemu dengannya. Aku telah berjanji akan menemuinya setelah semua tugas-tugasku selesai. Namun entah kenapa tiba-tiba dia yang ingin datang menemuiku dan aku benar-benar tidak percaya.
Nunil akhirnya memang berangkat juga menuju Tuban Jawa Timur sesuai waktu yang telah aku sarankan. Ia berangkat dari Bogor dengan menggunakan Bus Pahala Kencana tepat pada jam 15.00 WIB. Ketika berada diatas bus dia memberitahukanku,
“Mas, aku sudah jalan” katanya melalui sms.
“Okay Nil, TTDJ ya” jawabku dengan sms juga.
Sebenarnya kami berdua memang belum pernah saling bertemu sekalipun. Kami berdua secara kebetulan adalah sama-sama alumni pada salah satu SLTA di Jakarta. Berawal dari pertengahan bulan Nopember tahun lalu pada saat persiapan rencana pelaksanaan acara Reuni di sekolah tempat kami berdua dulu belajar, kami sudah saling berhubungan pertemanan di Facebook. Dan kamipun sepakat untuk bertemu pada saat Reuni diselenggarakan. Namun ketika acara tersebut berlangsung, ternyata aku dan Nunil tidak pernah bertemu. Tidak ada tanda-tanda !
Kemudian waktu terus berlalu begitu cepatnya hingga pada suatu hari, Nunil sedang ikut membantu kegiatan anggota Paskibra di sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu akan menyelenggarakan sebuah event perlombaan. Secara tidak sengaja kamipun berhubungan kembali masih via internet yang kemudian berlanjut via telepon genggam hingga saat ini. Dan kamipun telah berjanji lagi untuk saling bertatap muka. Namun sudah setahun lebih lamanya, pertemuan itupun belum pernah terjadi!
“Mas, aku nanti dijemput dimana?”tanya Nunil lagi via sms.
“Nanti aku jemput di Restoran ‘Taman Sari’ Tuban, karena memang busnya akan berhenti disana Neng” jawabku menjelaskannya.
Bus yang ditumpangi Nunil meluncur cepat hingga mencapai di pemberhentian pertama di rumah makan ‘Uun’ Subang untuk makan malam para penumpang. Tetapi waktu itu Nunil memilih untuk tidak turun dari bus dan ia tidak ikut makan malam bersama penumpang lainnya. Entah kenapa?!
Setelah selesai makan malam selama kurang lebih tiga puluh menit, bus mulai berjalan kembali menuju kearah timur melewati kota-kota di Jawa Barat hingga masuk di Pintu Gerbang Gapura daerah Jawa Tengah.
“Sudah di kota Tegal, Mas”, Nunil sms kembali, ketika bus mulai memasuki gerbang kota Tegal.
“Iya, kamu bobo aja Nil…” sahutku lagi.
“Iya Mas…”, jawab Nunil. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan bus. Biasanya dengan Kereta atau Pesawat terbang. Tetapi rasa khawatirnya tidak terlihat jelas. Untuk itu pun aku tak dapat tidur nyenyak pada malam itu.
Ketika bus melewati kota Pekalongan, Batang, Kendal dan kota Rembang, Nunil selalu memberitahukanku melalui sms bahwa ia telah melewati kota tersebut. Dan pada saat bus memasuki perbatasan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ia merasa sedikit gembira karena tempat tujuannya sudah hampir sampai. Namun iapun masih bingung karena memang belum pernah jalan-jalan sejauh itu.
“Mas berapa lama lagi Nunil akan sampai di Tuban?” tanyanya lagi via sms.
“Oh…dua setengah jam lagi Nil…”
“Mas dimana? Kalau begitu sebentar lagi sampai ya ? Tunggu, Nunil sekarang di Taman Sari ya, Mas!”, katanya mulai merasa khawatir nantinya dia tidak di jemput.
“Iya..iya…Nunil!”, jawabku meyakinkannya. Nunil tersenyum lebar karena merasa aku agak kesal dengan sikapnya. Selama kami saling berhubungan via internet maupun dengan handphone, keduanya selalu saling sahut menyahut dengan bahasa yang sudah sering dibicarakan. Sehingga ada kata-kata yang membuat Nunil dan aku merasa bahagia apabila disampaikan saat saling ‘berhubungan’. Aneh!
Yang lebih aneh lagi, sebenarnya Nunil itu adalah bukan nama sebenarnya. Selama ini aku panggil dia Nunil atas permintaanku sendiri agar lebih akrab dan ia suka sekali dengan panggilan itu. Menurutnya hanya aku yang memanggilnya dengan nama Nunil. Padahal kami berdua belum pernah saling berjumpa sekalipun.
Akhirnya bus yang ditumpangi Nunil tiba di Kota Tuban, di Restoran Taman Sari, tepat pukul 06.30 WIB pada hari berikutnya. Aku sudah menunggu selama lima belas menit di restoran itu. Pada saat Nunil turun dari bus, aku langsung menyambutnya dengan perasaan yang berdebar-debar.
“Devi…..”, katanya menyalamiku. Ia tersenyum karena ternyata aku benar-benar telah menjemputnya di kota Tuban.
“Lala…”, sahutku, sambil langsung mengambil tas yang dibawa oleh Nunil. Lalu kamipun langsung menuju ke Penginapan Hotel ‘Irwan’ di jalan Diponegoro No.42 Tuban Jawa Timur dengan menggunakan mobil Avanza warna hijau muda.
Setibanya di kamar penginapan yang sudah dipesan sebelumnya, Nunil langsung mandi. Kemudian kami berdua sarapan pagi makan Pecel Madiun di jl. Sunan Kalijaga Tuban, sambil berbincang-bincang. Terlihat sangat akrab sekali walaupun kadang lebih banyak diamnya dibanding ngobrolnya, kami berdua saat itu bagaikan sahabat yang sudah lama sekali tidak berjumpa.
Setelah sempat beristirahat selama kurang lebih dua jam, aku dan Nunil berangkat menuju kota Lamongan pada jam 10.00 WIB sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Rencananya Nunil akan tinggal dua malam di kota ini. Selama berada di sini, Nunil akan aku bawa ke tempat rekreasi yang belum pernah ia kunjungi. Di dalam perjalanan yang memakan waktu hingga satu jam itu, aku sempat menggagumi Nunil karena dia tidak menyangka sama sekali kalau benar-benar akan ke Tuban untuk menemuinya. Nunil sendiri merasa seperti bermimpi dapat menginjakan kakinya di kota ini dan merasa tersanjung mendapatkan pelayanan yang sangat istimewa.
Anehnya selama dalam perjalanan itu kami berdua tidak banyak bicara. Aku merasa canggung dan lidahku terasa kelu. Namun semua itu masih tertolong oleh pertanyaan yang keluar lembut dari mulut Nunil sesekali. Walaupun hanya bertanya nama daerah yang dia belum pernah tahu ketika dilewati. Sungguh aku tidak mengerti. Tiba di Lamongan, di ‘Wisata Bahari Lamongan’ pukul 11.00 WIB. Aku mengajaknya bermain di stand-stand yang ada di taman wisata itu. Disana, Nunil selalu mengikutiku kemana aku mau. Setelah puas keliling arena Nunil terlihat senang sekali. Akupun merasa bersukacita. Lalu kamipun kembali ke Tuban dengan perasaan yang bahagia sekali. Tiba di tempat penginapan aku mengantarnya dan sempat membicarakan rencana besok pagi.
“Terima kasih ya Mas, sudah membuat Nunil senang…..,” kata Nunil terlontar bersamaan dengan senyumnya yang manis.
“Alhamdulillah, aku juga ikut senang, sampai besok ya Neng,” jawabku juga dengan senyum.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi di tempat penginapan, Aku dan Nunil berangkat menuju Surabaya. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, kami berdua tetap tidak berkata selain Nunil bertanya tentang lokasi dan aku menjawab pertanyaan itu dengan baik. Seperti petugas travel yang sedang bertugas membawa costumer. Padahal semenjak Nunil datang jantungku selalu berdetak deras. Ketika tiba di Surabaya jam 10.30 WIB aku terus langsung mengantar Nunil ke tempat yang harus ditemuinya untuk urusan tugas kerjanya. Aku baru tahu ternyata karena itulah ia bersikeras ingin menemuiku, karena sebelumnya ia selalu merahasiakannya.
Setelah urusan Nunil selesai, kami makan siang di restoran Coto Makassar jl. Mayjen Sungkono. Lalu sempat mampir ke Tunjungan Plaza Surabaya. Kemudian sore harinya ke Pulau Madura melewati jembatan Suramadu, karena Nunil ingin melihat jembatan itu pada malam hari. Setelah foto-foto di Madura, akhirnya kami kembali ke Surabaya untuk makan malam di Kedai Sop Kaki kambing ‘Dua saudara’ di Jl. Kedungdoro. Kemudian bernyanyi bersama di NAV karaoke keluarga di Jl. Dr. Soetomo sampai dengan pukul 22.30 WIB.
Setelah selesai bernyanyi bersama akhirnya kami kembali pulang ke Tuban. Selama perjalanan di Surabaya hingga kembali lagi ke Tuban, kami berdua tetap tidak banyak bicara apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya, padahal banyak yang ingin kukatakan padanya.
Pagi harinya ketika mentari mulai melumat fajar, aku kembali menemui Nunil karena siang ini ia akan kembali ke Bogor.
“Selamat Pagi, Neng…,” sapaku di ruang tamu penginapan.
“Selamat pagi Mas Lala,” sahutnya sambil tersenyum, “Pagi ini bisa antar Nunil membeli oleh-oleh kan Mas?”
“Pastilah itu Neng, kamu sudah sarapan?”
“Sudah Mas…”
“Bagaimana tidurmu, Neng…?”
“Alhamdulillah nyenyak Mas.”
“Bagaimana kesanmu selama di kota ini, Neng…?”
“Alhamdulillah menyenangkan sekali, terima kasih ya Mas Lala…”
Hari mulai gelap ketika aku masih terjaga. Akhirnya Nunil pun telah kembali pulang ke Bogor. Sementara aku masih merasa bermimpi bertemu langsung dengannya. Lidahku tetap kelu, tiada kata-kata………..-
(Pondok Petir, 22 September 2011)
*TTDJ = bahasa sms yg artinya : hati-hati di jalan.
ULANG TAHUN #3
Hari itu
akan segera datang
pasti indah
dan amat istimewa
karena……..
tidak ada resepsinya
(Pondok Petir, 21 September 2011)
akan segera datang
pasti indah
dan amat istimewa
karena……..
tidak ada resepsinya
(Pondok Petir, 21 September 2011)
ULANG TAHUN #2
Hari-hari pasti berlalu
cepat atau lambat
menuju satu anak tangga lagi
membuka lembaran baru
sisa jatah usiaku……..
(Pondok Petir, 20 September 2011)
cepat atau lambat
menuju satu anak tangga lagi
membuka lembaran baru
sisa jatah usiaku……..
(Pondok Petir, 20 September 2011)
Selasa, 20 September 2011
DOA UNTUK DESAKU
Kurayu umurmu
sebelum akhir September
“Sabarlah barang sejenak,
langkahmu jangan kau lekaskan
hingga usai kuberdoa sebentar……..”
“Tuhanku yang maha agung……..,” ucap mulut hatiku,
“Yang maha pengasih lagi maha penyayang
lindungilah diriku dan seluruh sahabatku
yang sedang merangkak menuju ke puncak
lintasan pertemuan nan mulia,
tenangkanlah getaran tubuhku
berikut debaran jantung yang masih hidup
sehingga dapat melepaskan segala rindu
yang telah tersimpan rapih dalam kalbu
segenap jiwa putih
dalam niat berbuat kebersamaan
di duniamu……..Amin.”
Kubujuk jiwamu
sebelum bulan purnama
hari-hari melangkahi usia
memasuki tengah Oktober
memburu keyakinan
mengejar hari esokku
“Jadilah desaku……..
yang indah,
yang ramai,
yang sejuk,
yang damai,
bagi semua warganya……..,” ucap mulut hatiku.
Puisi khusus buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 19 September 2011)
sebelum akhir September
“Sabarlah barang sejenak,
langkahmu jangan kau lekaskan
hingga usai kuberdoa sebentar……..”
“Tuhanku yang maha agung……..,” ucap mulut hatiku,
“Yang maha pengasih lagi maha penyayang
lindungilah diriku dan seluruh sahabatku
yang sedang merangkak menuju ke puncak
lintasan pertemuan nan mulia,
tenangkanlah getaran tubuhku
berikut debaran jantung yang masih hidup
sehingga dapat melepaskan segala rindu
yang telah tersimpan rapih dalam kalbu
segenap jiwa putih
dalam niat berbuat kebersamaan
di duniamu……..Amin.”
Kubujuk jiwamu
sebelum bulan purnama
hari-hari melangkahi usia
memasuki tengah Oktober
memburu keyakinan
mengejar hari esokku
“Jadilah desaku……..
yang indah,
yang ramai,
yang sejuk,
yang damai,
bagi semua warganya……..,” ucap mulut hatiku.
Puisi khusus buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 19 September 2011)
Senin, 19 September 2011
ULANG TAHUNKU
Sesungguhnya aku tidak terlalu menunggu momen yang disebut ulang tahun. Namun hampir sebagian orang setelah berumur tujuh belas, momen ulang tahun itu sangat diharapkan sebagai sesuatu yang sangat sakral. Kali ini bagiku hari ulang tahun itu akan berlalu seperti hari biasanya. Namun untuk menghormati dan menghargai teman-teman yang nanti akan memberikan ucapan selamat padaku, tentunya aku akan menyiapkan sesuatu buat mereka.
Tiba-tiba aku jadi teringat kisahku setahun yang lalu, ketika itu tanggal 20 Oktober 2010. Pagi itu dengan tergesa aku berangkat ke kantor. Sudah dua hari badanku meriang. Sisa kehujanan sepulang dari acara resepsi pernikahan sepupuku di Jakarta. Kegiatan yang full diakhir pekan, membuat badanku lunglai. Hampir kesiangan. Padahal aku harus mengerjakan tugas yang harus diselesaikan hari itu juga. Tak sempat kulihat handphone yang telah tertinggal di dalam laci kantor. Aku pesimis akan ada sms yang masuk untuk mengucapkan selamat hari ulang tahun padaku.
Kini trend memang sudah berubah. Hampir semua orang mengucapkan selamat hari ulang tahun lewat fesbuk. Pada awalnya aku berfesbuk ria, juga selalu semangat mengucapkan selamat. Namun lama-kelamaan akupun merasa bosan. Jadi sering hari ulang tahun teman-temanku pun berlalu begitu saja. Ketika sampai di kantor kubuka hanphone-ku, dan sms itu sudah ada disitu.
“Selamat ultah ya Acik….semoga selalu sehat, sukses dan bahagia….Amin,” kata sms itu yang dikirimkan jam enam pagi.
Dialah satu-satunya sahabat yang masih setia mengirimi aku ucapan via sms. Bahkan saat aku lupa dan tak pernah ingat hari ulang tahunnya. Dia tidak pernah menyinggungnya. Pernah aku berpikir kalau dia akan marah karena aku selalu lupa hari ulang tahunnya. Tapi justru tidak! Dia tidak pernah lupa dan sms ulang tahun itu tetap selalu ada di handphone-ku setiap tahun.
Sudah empat tahun aku mengenalnya. Ada rasa tak enak ketika bertemu teman lama yang menuduhku menjadi penyebab dirimu sendiri sampai saat ini. Rasa tak enak yang akhirnya membuat diriku menjauh padahal sebelumnya kita sangat dekat. Karena menganggap dirimu adalah sebaik-baiknya sahabat. Dirimu baik tak hanya padaku. Dirimu perhatian tak hanya padaku. Hampir pada semua teman kamu baik dan perhatian, tapi kenapa aku merasa jadi tertuduh?
“Koq, kamu nggak merasa bahwa perhatiannya yang baik selama ini adalah bentuk sayangnya padamu,” kata Mbak Jingga. Aku menggeleng lemah. terlalu shock dengan pernyataannya yang tiba-tiba.
“Dia itu baik pada semua orang, mbak.”
“Jelas saja kamu nggak merasa, kamu punya teman dekat, kan saat itu?”
“Iya, mbak.”
“Nah karena itulah, dia merasa tidak enak untuk menyatakannya.”
“Bukan salahku kan mbak? Roni tidak pernah bilang apa-apa, jadi aku kan nggak pernah tahu.”
“Itu salahmu lah. Coba kalau dia jadian sama kamu. Pasti kalian sudah nikah sekarang.”
Mbak Jingga masih menyalahkan aku. Kenapa mbak Jingga tega menuduhku seperti itu? Ah…sudahlah! Itu kan, kejadian setahun yang lalu?
Karena itu, aku pernah menjauhinya. Inbox yang biasanya rutin terkirim, menjadi terlupakan. Biasanya aku rajin bercerita tentang apapun. Pekerjaan dan lain-lain, bahkan di saat waktu senggangku kumanfaatkan untuk bersms-an dengannya. Perhatiannya amat luar biasa, karena dia ada disalah satu kota di pulau Jawa, yang perlu terbang untuk sampai kekotanya. Kesabarannya untuk menampung semua cerita, mungkin itu yang membuatku betah untuk ‘berhubungan’ dengannya. Padahal untuk bicara lewat telepon, sangat jarang sekali bahkan hampir tidak pernah. Pertemuan dengannya secara langsung pun baru satu kali, yaitu pada saat kopdar pertama Desa Rangkat. Setelah itu dia tidak pernah muncul, padahal aku berharap dia hadir pada pertemuan kedua di Yogyakarta. Pada waktu sekalinya bertemu, jarang sekali mengobrol, tetapi seingatku dia selalu ada disampingku kemana saja pergi. Yang sering kulihat malah dia sering bercanda dengan teman-teman lainnya. Akrab sekali.
Tetapi kenapa ketika aku telah sendiri malah menjadi ingin dekat dengannya. Sebenarnya dimana letak halangannya? Lalu kenapa hingga kini dia tak kunjung menikah? Jawaban itu tak pernah kuperoleh. Karena dia menutup rapat-rapat semua masalah yang membuatnya sedih. Sms ulang tahun selalu datang setiap tahun padaku, membuatku semakin merasa bersalah.
“Mas, maafkan aku yang selalu lupa pada hari ulang tahunmu.” smsku pada suatu ketika.
“Nggak apa-apa Acik. Aku tahu kamu selalu repot dengan pekerjaanmu.”
Namun ada yang tidak dapat aku lupakan pada saat itu. Ketika aku berusaha untuk mendekatinya. Aku mulai peduli dengan statusnya. Dia tetap tak memperlihatkan perubahan, seperti biasa saja. Hanya sms ulang tahun itulah penghubungnya. Dan aku selalu tetap merasa bersalah.
“Hai…Acik, apa smsku kemarin diterima?”
“Oh, tidak ada Mas?…Tidak ada sms…tapi aku mengirimu sms pula. Apakah sampai?”
“Tidak juga tuh!”
“Kenapa ya?”
“Aku juga nggak mengerti, kenapa?!”
“Mungkin kita harus ketemu kali?”
“Kapan?”
“Entah?”
“Suatu hari nanti…..”
“Kalau diijinkan…..”
“InsyaAllah…”
Itu percakapan terakhir setahun lalu dengannya pada inbox yang hingga kini masih tersimpan rapih. Saat itu aku ingat, dia telah mengirimkan lagunya Marcell ‘Takkan terganti’ dari youtube pada wall ku dengan status ‘Butuh waktu yang panjang…..’ Aku tak mengerti apa maksudnya karena semenjak itu tak pernah behubungan lagi.
Ketika aku terjaga, langsung kubuka fesbuk-ku. Tiba-tiba aku tertarik dengan ‘undangan’ yang telah terkirim di wall-ku. Ternyata undangan itu adalah : ULANG TAHUN DESA RANGKAT dan kegiatannya (KOPDAR 3). Aku menyatakan akan hadir dan membuat status pada undangan itu : “Event terbesar abad ini…ulang tahun desa terbesar di seluruh Indonesia…dan dirayakannya pas tanggal 20 Oktober…..*ultahku juga…”.-
(Pondok Petir, 19 September 2011)
ULANG TAHUN #1
Setelah lama kuberjalan
hatiku telah jatuh
saat berhenti di ruangmu
hadirmu amat mempesona
karena wajahmu menawan hati
membuatku menjelajahimu
langkahku telah banyak di jalanmu
kesejukan dan kedamaian senantiasa terlihat
jejak-jejakku ditanahmu tak pernah hilang
ketika kuberjalan mengamati
sawahmu nan hijau mulai tumbuh subur
bersama pesatnya keramaian
gunungmu pun mulai bersahabat
hingga menciptakan kebersamaan
kerap kian mempengaruhi
siapa saja yang mengetahui……..
Setelah lama kuberdiri
hatiku telah terpaut
saat menikmati cintamu
mengukir diskusi elok
nan sarat asah asih asuh
dalam merangkai kata indah
langkahku tak pernah berhenti
keindahan dan keramaian selalu terlihat
hari-hari desamu terus terhimpun
ketika menit demi menit dan detik demi detik
menelusuri lingkaran waktu
membelah ruang tiga dimensi
hingga setahun usiamu
kau selalu memberi inspirasi
sehingga kian membuat
aku tetap mencintaimu……..
Puisi buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 18 September 2011)
hatiku telah jatuh
saat berhenti di ruangmu
hadirmu amat mempesona
karena wajahmu menawan hati
membuatku menjelajahimu
langkahku telah banyak di jalanmu
kesejukan dan kedamaian senantiasa terlihat
jejak-jejakku ditanahmu tak pernah hilang
ketika kuberjalan mengamati
sawahmu nan hijau mulai tumbuh subur
bersama pesatnya keramaian
gunungmu pun mulai bersahabat
hingga menciptakan kebersamaan
kerap kian mempengaruhi
siapa saja yang mengetahui……..
Setelah lama kuberdiri
hatiku telah terpaut
saat menikmati cintamu
mengukir diskusi elok
nan sarat asah asih asuh
dalam merangkai kata indah
langkahku tak pernah berhenti
keindahan dan keramaian selalu terlihat
hari-hari desamu terus terhimpun
ketika menit demi menit dan detik demi detik
menelusuri lingkaran waktu
membelah ruang tiga dimensi
hingga setahun usiamu
kau selalu memberi inspirasi
sehingga kian membuat
aku tetap mencintaimu……..
Puisi buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 18 September 2011)
Minggu, 18 September 2011
[ECR] PERJALANAN DEVI SEBELUMNYA (Nunil 2)
Tidak terasa langkahku sudah cukup jauh untuk berjalan. Tiba-tiba diriku sudah berada di ujung jalan Malioboro. Aku baru sadar kenapa bisa berada disini. Sementara di jalan itu sudah tidak ramai lagi. Aku belum mengerti apa sebenarnya yang aku cari. Ternyata tadi aku terjaga di kamarku setelah ‘handphone’ ku berdering, sms dari seseorang menginginkanku bertemu disini sekarang juga. “Nunil, maukah kamu bertemu kembali denganku di tempat yang sama persis seperti pertama kali kita bertemu?” Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulakukan.
Sudah satu jam aku berdiri diujung jalan itu. Udara dingin malam itu mulai terasa, padahal aku sudah mengenakan jaket tebalku. Nafasku tersengal. Hampir putus asa karena tak menemukan sosok yang akan kutemui disini. Ketakutan mulai menyergapku tatkala aku sadar bahwa hanya ada aku sendiri di pertigaan jalan ini. Bagaimana bila hal buruk menimpaku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali pulang. Namun tiba-tiba sosok tubuh dingin memelukku dari belakang. Aku hampir saja berteriak jika ia tidak membekap mulutku.
“Ayo tebak siapa aku?” katanya membisikan telingaku. Lalu ia mulai melemahkan dekapannya.
“Mas…..!” kataku lemah.
“Kenapa baru datang? Aku sudah menunggu lama. Dingin.” sahutnya memprotes.
“Maafkan aku Mas….”
“Ah…kamu sudah datang?”
“Ini aku membawa pesananmu Mas, makanan, minuman dan jaket…”
Ia baru melepaskan dekapannya. Aku merasa lega. Sepertinya dia telah tertarik dengan apa yang ku bawa untuknya. Kami berdua langsung duduk di bawah sorot lampu jalan. Kemudian ia membuka bungkusan makanan itu dan langsung melahapnya.
“Apa kau masih suka itu, Mas?”
Dia tak menjawab pertanyaanku. Sorot matanya datar. Lidahku kelu, lalu aku pandangi wajahnya. Lama kami berdiam tak bersuara. Setelah selesai makan ia baru memperlihatkan senyumnya.
“Manstaf….ini jauh lebih enak dari saat kau bawa untuk yang pertama kalinya”
Aku suka sekali dengan jawaban itu. Tanpa kusadari, akupun tersenyum.
“Senyummu juga jauh lebih indah…Nunil” katanya menambahkan. Aku lebih menyukai lagi kata-kata ini karena ada kata Nunil, sebuah nama yang telah ia berikan padaku semenjak pertemuan pertama. Aku merasa bahagia sekali dengan nama itu. Aku langsung menatap ke dalam matanya. Namun aku terkejut, tiba-tiba aku merasa benar-benar kehilangan sorot mata yang dulu meneduhkanku. Ia menggenggam tanganku. Dingin. Lalu kuraih jaket yang tadi kubawa bersama makanan itu. Kupasangkan di bahunya. Ia menolak.
“Kenapa, Mas?” tanyaku.
Kembali dia menatapku diam sambil mengeluarkan rokok dari sakunya. Aku tak mengerti. Ia terus menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Aku terbatuk, karena memang aku sangat peka bau rokok. Langsung kuraih rokok itu dari mulutnya dan membuangnya jauh-jauh.
“Masih membenci rokok?” tanyanya dengan tenang. Aku tak menyahut. Diambilnya sebatang lagi dari bungkusnya, tapi tak disulutnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
“Aku juga membenci rokok, Nunil. Tapi hanya rokok yang bisa jadi temanku. Kau tahu, aku telah kehilangan harapanku kuliah di Jawa ini. Aku terdampar di kota ini. Sudah hampir tiga tahun”
“Ikutlah dengan aku, Mas…..” ajakku.
“Aku tak sehancur yang kau pikirkan, Dev,” sahutnya sambil menatapku sinis. Sekarang aku tahu ternyata dia masih dengan sifatnya yang seperti dulu. Tak mau mengharap bantuan orang lain.
“Bukan itu maksudku, Mas.”
“Kau mau aku tinggal denganmu? Apa kau sudah tidak peduli dengan apa yang akan orang katakan?”
“Tidak. Bukan begitu. Aku akan mencari tempat tinggal untukmu. Meskipun masih kuliah, aku juga bekerja. Kalau kau butuh sesuatu, bilang padaku.”
“Tak usah repot-repot, Devi. Aku bisa tinggal di mana pun aku mau,” sahutnya sinis.
Aku mulai emosi, dengan kata-katanya itu. Aku mendekatinya.
“Mas, aku benar-benar tak mengerti apa yang kau pikirkan.”
Ia tambah memperlihatkan wajah sinisnya. Dengan sedikit tersenyum, dia mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya.
“Nih kamu baca!”
Aku tak mengerti maksudnya. Lalu aku ambil kertas itu dari tangannya. Ia mengecup pipiku. Kemudian sambil memungut jaket yang tadi kuberikan untuknya, ia langsung pergi. Aku terpaku. Langsung kubuka kertas yang tadi diserahkannya. Isinya sebuah surat yang ditulis oleh Mas Halim. Aku kenal betul tulisannya.
Kepada yang tercinta, Devi Nunilku……..
Mas senang bisa melihatmu lagi malam ini. Tetapi maafkan, karena malam ini juga Mas harus pergi dengan meninggalkan teka teki untukmu. Mas sangat malu padamu. Mas tak semestinya datang padamu sekarang. Mas semestinya datang dengan mobil mewah dan jas berdasi. Tapi Mas terpaksa. Mas hanya ingin memastikan kau masih milikku. Sungguh, sebenarnya diri ini sangat takut kehilanganmu. Bersabarlah, Nunilku. Saat itu akan datang. Mas akan kembali lagi untukmu. Mas sedang berusaha menjadi orang yang sukses sekarang. Mas sangat berharap kamu mau mengerti.
Dari orang yang benar-benar mencintaimu,
Halim.
Tanpa kusadari air mataku jatuh berderai. Sesekali kuusap namun tetap menetes kembali. Aku menyesal membiarkannya pergi. Kupandangi jalan yang tadi ditempuh oleh Halim. Di ujung jalan, gelap. Namun aku masih bisa melihat jelas jejak yang ditinggalkannya. Lama aku berdiri di ujung jalan Malioboro itu. Lalu aku merasa kedinginan, padahal aku sudah mengenakan jaket tebalku. Akhirnya aku melangkah kembali pulang, bersama dengan perasaan yang tidak menentu mengikutiku…………….-
(Pondok Petir, 16 September 2011)
Rabu, 14 September 2011
TENTANG CAHAYA
Bulan satu melindas malam kelam gelisah
meredam riak yang bergelombang bayu
nyata terlihat jalin jari mengepal lunglai
terkuak perlahan bertemu di jeda kesejukan
Juga pada siang dengan matahari
tanah berdebu pun yang masuk dalam benak
terkikis tanpa rasa bagai kepompong bersalin
Juga pada malam dengan bintang
langit sedih pilu pun yang meracau galau
terkesima kelu bagai keagungan cakrawala
Merunduk berbisik menyela tanpa asa
masuklah penuhi kerontang pada sejuk nan merusuk
Diam terkurung dalam titik terjauh
akan keluar urung ketidakyakinan menghadang
tersisa debu beku yang galau membenak
(Pondok Petir, 13 September 2011)
meredam riak yang bergelombang bayu
nyata terlihat jalin jari mengepal lunglai
terkuak perlahan bertemu di jeda kesejukan
Juga pada siang dengan matahari
tanah berdebu pun yang masuk dalam benak
terkikis tanpa rasa bagai kepompong bersalin
Juga pada malam dengan bintang
langit sedih pilu pun yang meracau galau
terkesima kelu bagai keagungan cakrawala
Merunduk berbisik menyela tanpa asa
masuklah penuhi kerontang pada sejuk nan merusuk
Diam terkurung dalam titik terjauh
akan keluar urung ketidakyakinan menghadang
tersisa debu beku yang galau membenak
(Pondok Petir, 13 September 2011)
BULATNYA REMBULAN
Malam ini kulihat rembulan
persis di atas kepala menengadah
wajahnya yang bulat
menyinari kampung halaman
pondok petir……..
lama kupandang bulatnya
ternyata sangat berbeda
dengan bulan yang lalu
melintas lamban di gubugku
mengingatkan perbincangan
saat sinarnya memecah kesunyian
yang lalu disambut beribu bintang
Malam larut semakin nyata
bergerak lincah dengan senyumnya
kepada alam nan ramai
turun langsung ke telaga
bentuknya menjadi lebih baik
dihembus angin sejuk
tiada bergeming
tetap bulat bagai purnama
sementara……..
suara-suara keributan
mendadak sirna di bawah sinar
burung-burung malam terbang tinggi
mengejar terang tanpa bintang
Malam cerah beri keterangan
kini tampak lebih sempurna
semua terkesima pada bundaran
bulan purnama raya masuk ke bumi
persis di atas kepala menengadah
cahayanya masuk ke ubun-ubun
menerangi gelap dalam benak
menjadi terang yang gemilang
lebih sekedar sinari kebenaran
lebih baik terangi kedamaian
sebuah hikmah perbedaan dalam
bulatnya rembulan…………….
(Pondok Petir, 12 September 2011)
persis di atas kepala menengadah
wajahnya yang bulat
menyinari kampung halaman
pondok petir……..
lama kupandang bulatnya
ternyata sangat berbeda
dengan bulan yang lalu
melintas lamban di gubugku
mengingatkan perbincangan
saat sinarnya memecah kesunyian
yang lalu disambut beribu bintang
Malam larut semakin nyata
bergerak lincah dengan senyumnya
kepada alam nan ramai
turun langsung ke telaga
bentuknya menjadi lebih baik
dihembus angin sejuk
tiada bergeming
tetap bulat bagai purnama
sementara……..
suara-suara keributan
mendadak sirna di bawah sinar
burung-burung malam terbang tinggi
mengejar terang tanpa bintang
Malam cerah beri keterangan
kini tampak lebih sempurna
semua terkesima pada bundaran
bulan purnama raya masuk ke bumi
persis di atas kepala menengadah
cahayanya masuk ke ubun-ubun
menerangi gelap dalam benak
menjadi terang yang gemilang
lebih sekedar sinari kebenaran
lebih baik terangi kedamaian
sebuah hikmah perbedaan dalam
bulatnya rembulan…………….
(Pondok Petir, 12 September 2011)
Selasa, 13 September 2011
MALAM INDAH
Sejak mentari menarik sinarnya
langit mulai redup kemerahan
entah kapan semua itu mulai berubah
detik-detiknya tak pernah kurasakan
mega jingga tanda harus pulang
ke pondok berlampu dian
saat itu ngengat mencari sinarnya
karena gelap adalah waktu
awal kehidupan kelam……..
Namun saat rembulan menampakan bulatnya
langit hitam berwajah cerah
detaknya berdenyut lembut
ketika itu burung-burung menari
bintang-bintang menjadi saksi
kegembiraan hati di peraduan
api unggun terus berkobar
menyatukan rasa cinta
dalam pertemuan kita……..
(Pondok Petir, 11 September 2011)
langit mulai redup kemerahan
entah kapan semua itu mulai berubah
detik-detiknya tak pernah kurasakan
mega jingga tanda harus pulang
ke pondok berlampu dian
saat itu ngengat mencari sinarnya
karena gelap adalah waktu
awal kehidupan kelam……..
Namun saat rembulan menampakan bulatnya
langit hitam berwajah cerah
detaknya berdenyut lembut
ketika itu burung-burung menari
bintang-bintang menjadi saksi
kegembiraan hati di peraduan
api unggun terus berkobar
menyatukan rasa cinta
dalam pertemuan kita……..
(Pondok Petir, 11 September 2011)
KEMARAU PANJANG
Tanah-tanah gemeretak
garing berserak
sungai pun melumpur
kental menghitam
batu dan lumut mengerak
ringan tanpa sarat
sawah-sawah tinggal kotaknya
gili-gili rata bertanda
ladang-ladang tinggal retaknya
garapan jadi menguning
pohon-pohon tinggal batangnya
rantingpun kehilangan daun
rimba belukar gerah terbakar
badannya membentang gosong
langit keruh berkabut
udara menyesakan jiwa
hingga hawa panas mengganas
akhirnya……..
goresan tanpa tintapun jadi puisi
kehidupan tinggal debu-debu
hati perih menanti penghujan
lama tiada tanda-tanda
(Pondok Petir, 10 September 2011)
garing berserak
sungai pun melumpur
kental menghitam
batu dan lumut mengerak
ringan tanpa sarat
sawah-sawah tinggal kotaknya
gili-gili rata bertanda
ladang-ladang tinggal retaknya
garapan jadi menguning
pohon-pohon tinggal batangnya
rantingpun kehilangan daun
rimba belukar gerah terbakar
badannya membentang gosong
langit keruh berkabut
udara menyesakan jiwa
hingga hawa panas mengganas
akhirnya……..
goresan tanpa tintapun jadi puisi
kehidupan tinggal debu-debu
hati perih menanti penghujan
lama tiada tanda-tanda
(Pondok Petir, 10 September 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)