Kamis, 29 September 2011

[ECR] PERJALANAN KEDUA DEVI (Nunil 3)

Hari masih gelap ketika aku terjaga di kamarku sendiri. Setelah kulihat jam yang tergantung di dinding waktu menunjukkan pukul 04.15 WIB. Tiba-tiba aku teringat kalau telah berpesan melalui handphone-ku dua hari yang lalu.
“Kamu berangkatnya besok sore saja Neng!” kataku via sms.
“Benar Mas ! Neng berangkatnya besok sore,” begitu jawaban sms yang kudapat dari Nunil sahabatku di Bogor. Aku belum yakin hal itu akan terjadi apakah benar Nunil akan berangkat menemuiku di Kota ini. Sebenarnya aku sangat rindu bertemu dengannya. Aku telah berjanji akan menemuinya setelah semua tugas-tugasku selesai. Namun entah kenapa tiba-tiba dia yang ingin datang menemuiku dan aku benar-benar tidak percaya.

Nunil akhirnya memang berangkat juga menuju Tuban Jawa Timur sesuai waktu yang telah aku sarankan. Ia berangkat dari Bogor dengan menggunakan Bus Pahala Kencana tepat pada jam 15.00 WIB. Ketika berada diatas bus dia memberitahukanku,
“Mas, aku sudah jalan” katanya melalui sms.
“Okay Nil, TTDJ ya” jawabku dengan sms juga.
Sebenarnya kami berdua memang belum pernah saling bertemu sekalipun. Kami berdua secara kebetulan adalah sama-sama alumni pada salah satu SLTA di Jakarta. Berawal dari pertengahan bulan Nopember tahun lalu pada saat persiapan rencana pelaksanaan acara Reuni di sekolah tempat kami berdua dulu belajar, kami sudah saling berhubungan pertemanan di Facebook. Dan kamipun sepakat untuk bertemu pada saat Reuni diselenggarakan. Namun ketika acara tersebut berlangsung, ternyata aku dan Nunil tidak pernah bertemu. Tidak ada tanda-tanda !

Kemudian waktu terus berlalu begitu cepatnya hingga pada suatu hari, Nunil sedang ikut membantu kegiatan anggota Paskibra di sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu akan menyelenggarakan sebuah event perlombaan. Secara tidak sengaja kamipun berhubungan kembali masih via internet yang kemudian berlanjut via telepon genggam hingga saat ini. Dan kamipun telah berjanji lagi untuk saling bertatap muka. Namun sudah setahun lebih lamanya, pertemuan itupun belum pernah terjadi!
“Mas, aku nanti dijemput dimana?”tanya Nunil lagi via sms.
“Nanti aku jemput di Restoran ‘Taman Sari’ Tuban, karena memang busnya akan berhenti disana Neng” jawabku menjelaskannya.
Bus yang ditumpangi Nunil meluncur cepat hingga mencapai di pemberhentian pertama di rumah makan ‘Uun’ Subang untuk makan malam para penumpang. Tetapi waktu itu Nunil memilih untuk tidak turun dari bus dan ia tidak ikut makan malam bersama penumpang lainnya. Entah kenapa?!

Setelah selesai makan malam selama kurang lebih tiga puluh menit, bus mulai berjalan kembali menuju kearah timur melewati kota-kota di Jawa Barat hingga masuk di Pintu Gerbang Gapura daerah Jawa Tengah.
“Sudah di kota Tegal, Mas”, Nunil sms kembali, ketika bus mulai memasuki gerbang kota Tegal.
“Iya, kamu bobo aja Nil…” sahutku lagi.
“Iya Mas…”, jawab Nunil. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan bus. Biasanya dengan Kereta atau Pesawat terbang. Tetapi rasa khawatirnya tidak terlihat jelas. Untuk itu pun aku tak dapat tidur nyenyak pada malam itu.

Ketika bus melewati kota Pekalongan, Batang, Kendal dan kota Rembang, Nunil selalu memberitahukanku melalui sms bahwa ia telah melewati kota tersebut. Dan pada saat bus memasuki perbatasan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ia merasa sedikit gembira karena tempat tujuannya sudah hampir sampai. Namun iapun masih bingung karena memang belum pernah jalan-jalan sejauh itu.
“Mas berapa lama lagi Nunil akan sampai di Tuban?” tanyanya lagi via sms.
“Oh…dua setengah jam lagi Nil…”
“Mas dimana? Kalau begitu sebentar lagi sampai ya ? Tunggu, Nunil sekarang di Taman Sari ya, Mas!”, katanya mulai merasa khawatir nantinya dia tidak di jemput.
“Iya..iya…Nunil!”, jawabku meyakinkannya. Nunil tersenyum lebar karena merasa aku agak kesal dengan sikapnya. Selama kami saling berhubungan via internet maupun dengan handphone, keduanya selalu saling sahut menyahut dengan bahasa yang sudah sering dibicarakan. Sehingga ada kata-kata yang membuat Nunil dan aku merasa bahagia apabila disampaikan saat saling ‘berhubungan’. Aneh!
Yang lebih aneh lagi, sebenarnya Nunil itu adalah bukan nama sebenarnya. Selama ini aku panggil dia Nunil atas permintaanku sendiri agar lebih akrab dan ia suka sekali dengan panggilan itu. Menurutnya hanya aku yang memanggilnya dengan nama Nunil. Padahal kami berdua belum pernah saling berjumpa sekalipun.

Akhirnya bus yang ditumpangi Nunil tiba di Kota Tuban, di Restoran Taman Sari, tepat pukul 06.30 WIB pada hari berikutnya. Aku sudah menunggu selama lima belas menit di restoran itu. Pada saat Nunil turun dari bus, aku langsung menyambutnya dengan perasaan yang berdebar-debar.
“Devi…..”, katanya menyalamiku. Ia tersenyum karena ternyata aku benar-benar telah menjemputnya di kota Tuban.
“Lala…”, sahutku, sambil langsung mengambil tas yang dibawa oleh Nunil. Lalu kamipun langsung menuju ke Penginapan Hotel ‘Irwan’ di jalan Diponegoro No.42 Tuban Jawa Timur dengan menggunakan mobil Avanza warna hijau muda.

Setibanya di kamar penginapan yang sudah dipesan sebelumnya, Nunil langsung mandi. Kemudian kami berdua sarapan pagi makan Pecel Madiun di jl. Sunan Kalijaga Tuban, sambil berbincang-bincang. Terlihat sangat akrab sekali walaupun kadang lebih banyak diamnya dibanding ngobrolnya, kami berdua saat itu bagaikan sahabat yang sudah lama sekali tidak berjumpa.

Setelah sempat beristirahat selama kurang lebih dua jam, aku dan Nunil berangkat menuju kota Lamongan pada jam 10.00 WIB sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Rencananya Nunil akan tinggal dua malam di kota ini. Selama berada di sini, Nunil akan aku bawa ke tempat rekreasi yang belum pernah ia kunjungi. Di dalam perjalanan yang memakan waktu hingga satu jam itu, aku sempat menggagumi Nunil karena dia tidak menyangka sama sekali kalau benar-benar akan ke Tuban untuk menemuinya. Nunil sendiri merasa seperti bermimpi dapat menginjakan kakinya di kota ini dan merasa tersanjung mendapatkan pelayanan yang sangat istimewa.

Anehnya selama dalam perjalanan itu kami berdua tidak banyak bicara. Aku merasa canggung dan lidahku terasa kelu. Namun semua itu masih tertolong oleh pertanyaan yang keluar lembut dari mulut Nunil sesekali. Walaupun hanya bertanya nama daerah yang dia belum pernah tahu ketika dilewati. Sungguh aku tidak mengerti. Tiba di Lamongan, di ‘Wisata Bahari Lamongan’ pukul 11.00 WIB. Aku mengajaknya bermain di stand-stand yang ada di taman wisata itu. Disana, Nunil selalu mengikutiku kemana aku mau. Setelah puas keliling arena Nunil terlihat senang sekali. Akupun merasa bersukacita. Lalu kamipun kembali ke Tuban dengan perasaan yang bahagia sekali. Tiba di tempat penginapan aku mengantarnya dan sempat membicarakan rencana besok pagi.
“Terima kasih ya Mas, sudah membuat Nunil senang…..,” kata Nunil terlontar bersamaan dengan senyumnya yang manis.
“Alhamdulillah, aku juga ikut senang, sampai besok ya Neng,” jawabku juga dengan senyum.

Keesokan harinya setelah sarapan pagi di tempat penginapan, Aku dan Nunil berangkat menuju Surabaya. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, kami berdua tetap tidak berkata selain Nunil bertanya tentang lokasi dan aku menjawab pertanyaan itu dengan baik. Seperti petugas travel yang sedang bertugas membawa costumer. Padahal semenjak Nunil datang jantungku selalu berdetak deras. Ketika tiba di Surabaya jam 10.30 WIB aku terus langsung mengantar Nunil ke tempat yang harus ditemuinya untuk urusan tugas kerjanya. Aku baru tahu ternyata karena itulah ia bersikeras ingin menemuiku, karena sebelumnya ia selalu merahasiakannya.

Setelah urusan Nunil selesai, kami makan siang di restoran Coto Makassar jl. Mayjen Sungkono. Lalu sempat mampir ke Tunjungan Plaza Surabaya. Kemudian sore harinya ke Pulau Madura melewati jembatan Suramadu, karena Nunil ingin melihat jembatan itu pada malam hari. Setelah foto-foto di Madura, akhirnya kami kembali ke Surabaya untuk makan malam di Kedai Sop Kaki kambing ‘Dua saudara’ di Jl. Kedungdoro. Kemudian bernyanyi bersama di NAV karaoke keluarga di Jl. Dr. Soetomo sampai dengan pukul 22.30 WIB.

Setelah selesai bernyanyi bersama akhirnya kami kembali pulang ke Tuban. Selama perjalanan di Surabaya hingga kembali lagi ke Tuban, kami berdua tetap tidak banyak bicara apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya, padahal banyak yang ingin kukatakan padanya.

Pagi harinya ketika mentari mulai melumat fajar, aku kembali menemui Nunil karena siang ini ia akan kembali ke Bogor.
“Selamat Pagi, Neng…,” sapaku di ruang tamu penginapan.
“Selamat pagi Mas Lala,” sahutnya sambil tersenyum, “Pagi ini bisa antar Nunil membeli oleh-oleh kan Mas?”
“Pastilah itu Neng, kamu sudah sarapan?”
“Sudah Mas…”
“Bagaimana tidurmu, Neng…?”
“Alhamdulillah nyenyak Mas.”
“Bagaimana kesanmu selama di kota ini, Neng…?”
“Alhamdulillah menyenangkan sekali, terima kasih ya Mas Lala…”

Hari mulai gelap ketika aku masih terjaga. Akhirnya Nunil pun telah kembali pulang ke Bogor. Sementara aku masih merasa bermimpi bertemu langsung dengannya. Lidahku tetap kelu, tiada kata-kata………..-

(Pondok Petir, 22 September 2011)

*TTDJ = bahasa sms yg artinya : hati-hati di jalan.