Tidak terasa langkahku sudah cukup jauh untuk berjalan. Tiba-tiba diriku sudah berada di ujung jalan Malioboro. Aku baru sadar kenapa bisa berada disini. Sementara di jalan itu sudah tidak ramai lagi. Aku belum mengerti apa sebenarnya yang aku cari. Ternyata tadi aku terjaga di kamarku setelah ‘handphone’ ku berdering, sms dari seseorang menginginkanku bertemu disini sekarang juga. “Nunil, maukah kamu bertemu kembali denganku di tempat yang sama persis seperti pertama kali kita bertemu?” Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulakukan.
Sudah satu jam aku berdiri diujung jalan itu. Udara dingin malam itu mulai terasa, padahal aku sudah mengenakan jaket tebalku. Nafasku tersengal. Hampir putus asa karena tak menemukan sosok yang akan kutemui disini. Ketakutan mulai menyergapku tatkala aku sadar bahwa hanya ada aku sendiri di pertigaan jalan ini. Bagaimana bila hal buruk menimpaku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali pulang. Namun tiba-tiba sosok tubuh dingin memelukku dari belakang. Aku hampir saja berteriak jika ia tidak membekap mulutku.
“Ayo tebak siapa aku?” katanya membisikan telingaku. Lalu ia mulai melemahkan dekapannya.
“Mas…..!” kataku lemah.
“Kenapa baru datang? Aku sudah menunggu lama. Dingin.” sahutnya memprotes.
“Maafkan aku Mas….”
“Ah…kamu sudah datang?”
“Ini aku membawa pesananmu Mas, makanan, minuman dan jaket…”
Ia baru melepaskan dekapannya. Aku merasa lega. Sepertinya dia telah tertarik dengan apa yang ku bawa untuknya. Kami berdua langsung duduk di bawah sorot lampu jalan. Kemudian ia membuka bungkusan makanan itu dan langsung melahapnya.
“Apa kau masih suka itu, Mas?”
Dia tak menjawab pertanyaanku. Sorot matanya datar. Lidahku kelu, lalu aku pandangi wajahnya. Lama kami berdiam tak bersuara. Setelah selesai makan ia baru memperlihatkan senyumnya.
“Manstaf….ini jauh lebih enak dari saat kau bawa untuk yang pertama kalinya”
Aku suka sekali dengan jawaban itu. Tanpa kusadari, akupun tersenyum.
“Senyummu juga jauh lebih indah…Nunil” katanya menambahkan. Aku lebih menyukai lagi kata-kata ini karena ada kata Nunil, sebuah nama yang telah ia berikan padaku semenjak pertemuan pertama. Aku merasa bahagia sekali dengan nama itu. Aku langsung menatap ke dalam matanya. Namun aku terkejut, tiba-tiba aku merasa benar-benar kehilangan sorot mata yang dulu meneduhkanku. Ia menggenggam tanganku. Dingin. Lalu kuraih jaket yang tadi kubawa bersama makanan itu. Kupasangkan di bahunya. Ia menolak.
“Kenapa, Mas?” tanyaku.
Kembali dia menatapku diam sambil mengeluarkan rokok dari sakunya. Aku tak mengerti. Ia terus menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Aku terbatuk, karena memang aku sangat peka bau rokok. Langsung kuraih rokok itu dari mulutnya dan membuangnya jauh-jauh.
“Masih membenci rokok?” tanyanya dengan tenang. Aku tak menyahut. Diambilnya sebatang lagi dari bungkusnya, tapi tak disulutnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
“Aku juga membenci rokok, Nunil. Tapi hanya rokok yang bisa jadi temanku. Kau tahu, aku telah kehilangan harapanku kuliah di Jawa ini. Aku terdampar di kota ini. Sudah hampir tiga tahun”
“Ikutlah dengan aku, Mas…..” ajakku.
“Aku tak sehancur yang kau pikirkan, Dev,” sahutnya sambil menatapku sinis. Sekarang aku tahu ternyata dia masih dengan sifatnya yang seperti dulu. Tak mau mengharap bantuan orang lain.
“Bukan itu maksudku, Mas.”
“Kau mau aku tinggal denganmu? Apa kau sudah tidak peduli dengan apa yang akan orang katakan?”
“Tidak. Bukan begitu. Aku akan mencari tempat tinggal untukmu. Meskipun masih kuliah, aku juga bekerja. Kalau kau butuh sesuatu, bilang padaku.”
“Tak usah repot-repot, Devi. Aku bisa tinggal di mana pun aku mau,” sahutnya sinis.
Aku mulai emosi, dengan kata-katanya itu. Aku mendekatinya.
“Mas, aku benar-benar tak mengerti apa yang kau pikirkan.”
Ia tambah memperlihatkan wajah sinisnya. Dengan sedikit tersenyum, dia mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya.
“Nih kamu baca!”
Aku tak mengerti maksudnya. Lalu aku ambil kertas itu dari tangannya. Ia mengecup pipiku. Kemudian sambil memungut jaket yang tadi kuberikan untuknya, ia langsung pergi. Aku terpaku. Langsung kubuka kertas yang tadi diserahkannya. Isinya sebuah surat yang ditulis oleh Mas Halim. Aku kenal betul tulisannya.
Kepada yang tercinta, Devi Nunilku……..
Mas senang bisa melihatmu lagi malam ini. Tetapi maafkan, karena malam ini juga Mas harus pergi dengan meninggalkan teka teki untukmu. Mas sangat malu padamu. Mas tak semestinya datang padamu sekarang. Mas semestinya datang dengan mobil mewah dan jas berdasi. Tapi Mas terpaksa. Mas hanya ingin memastikan kau masih milikku. Sungguh, sebenarnya diri ini sangat takut kehilanganmu. Bersabarlah, Nunilku. Saat itu akan datang. Mas akan kembali lagi untukmu. Mas sedang berusaha menjadi orang yang sukses sekarang. Mas sangat berharap kamu mau mengerti.
Dari orang yang benar-benar mencintaimu,
Halim.
Tanpa kusadari air mataku jatuh berderai. Sesekali kuusap namun tetap menetes kembali. Aku menyesal membiarkannya pergi. Kupandangi jalan yang tadi ditempuh oleh Halim. Di ujung jalan, gelap. Namun aku masih bisa melihat jelas jejak yang ditinggalkannya. Lama aku berdiri di ujung jalan Malioboro itu. Lalu aku merasa kedinginan, padahal aku sudah mengenakan jaket tebalku. Akhirnya aku melangkah kembali pulang, bersama dengan perasaan yang tidak menentu mengikutiku…………….-
(Pondok Petir, 16 September 2011)