Sabtu, 29 Desember 2007

ULANG TAHUN

Ketika sampai ditengah perjalanan
pada saat langkah mulai tertatih
sempat kumerenung…..
kendati keletihan masih hinggap
di tubuh basah berpeluh
diiringi irama nafas terengah
mengalunkan nyanyian harapan
Dimana batas angan kita ?
batas gerak langkah berhenti
menikmati berputarnya bumi dan matahari
yang melukiskan fajar hingga menerbitkan senja
mensyukuri bersinarnya rembulan dan bintang
yang merubah gelap hingga menerangkan sukma
Setelah kuterjaga…..
sayup terdengar suara bisikan asa
bahwa kita mesti terus melangkah lagi
tanpa harus berpaling……….

(Jakarta, 13 April 2003)

Sajak ini khusus buat isteriku tercinta Rahmayanti.......
Selamat Ulang tahun semoga kita panjang umur...................

HUJAN PANAS DI KOTA LAHAT

Begitu panjang jalan aspal yang kulewati
terlihat kering nan gersang dijilati mentari
debu-debupun tertabur
terbang bebas menghiasi
panorama indah yang mengikuti
termasuk gerbang-gerbang rel besi yang merintangi
sungai-sungai jernih yang mulai keruh
rimba hijau yang sebagian menghitam kusam
bukit batu yang kian memerah basah
Ketika sampai dibatas…..
tiba-tiba jantungku berdebar terperanjat
tanpa berkedip mataku mulai merekam
hatiku mulai menyimpan
jiwaku terpesona
menatap hujan badai deras menyirami
bersamaan panas terik menyoroti
kota yang aku singgahi
sungguh baru kali pertama kualami……….

(Lahat, 23 Nopember 2004)

LEMATANG

Setelah sampai diujung perjalanan
pada saat jiwa mulai lelah
hingga peluh membasuh badan
kupandangi dirimu dengan mata telanjang
terlihat nyata…..
wajah cantikmu terbujur membentang bening
tubuh polosmu terurai panjang menantang
kuhampiri dirimu tanpa rasa takut
terdengar jelas…..
detakan melodi jantung yang ringkih
senandungkan nyanyian rindu tiada henti
kuselami dirimu dengan langkah perlahan
tersimpan dihatiku…..
airmu memberikan kesejukan jiwa
aku telah jatuh cinta…………………………..

(Lahat, 27 Oktober 2004)

KEPADA KOTA LAHAT

Bumi seganti setungguan yang tenang
penyejuk hati bagi pendatang
negeri nan indah untuk bersinggah
begitu damai nan amat ramah
panasnya memberikan kehangatan
dinginnya memberi kesejukan
tanah cadas subur tumbuhan
bukit berliku berlapis hutan
walau kerap kali prahara datang
terlihat tegar memberi harapan
kota yang menyambutku ramah nian
tidak seperti kata teman di negeri seberang…….

(Lahat, 07 Nopember 2004)

PERPISAHAN

Setelah kita sudah saling mengisi
jiwa suci ini.…………..
dengan rasa kasih nan murni
dengan sorotan mata putih
dengan gita sukma indah
dengan ilmu bermanfaat
dengan segala keikhlasan
ada yang ingin aku sampaikan buatmu
dari jantungku yang paling dalam
yang selalu berdetak keras
mengikuti rotasi bumi yang begitu cepat
selamat tinggal sahabat
kita bertemu lagi dilain waktu
kita jangan bersedih untuk selamanya
namun bila tak dapat menahan tangismu
biarkan airmata jatuh ke tanah
menguap terbang mengantarkan aku pulang

(Bengkulu, 02 Agustus 2001)

KE JAKARTA

Bus yang kutumpangi melaju perlahan
di atas jalan aspal berliku
melewati jembatan menyeberangi sungai
memasuki hutan belantara
menyusuri pantai indah
menuju tempat tinggalku
Bus yang kutumpangi menuju Jakarta
di depan sana
ada sinar mentari
dan hujan yang turun merintik
lembayung senjapun tiba ……

(Bengkulu, 26 April 2001)

PULANG

Ketika hari sangat cerah …..
mentari mulai bersinar lagi
ada mega putih yang menggumpal
ada burung-burung bernyanyi
ada angin sejuk berdesir
ada sukacita dan keharuan
aku pulang ke pondok cinta …..
………dan sang surya itupun
perlahan tinggalkan bayangan

(Bengkulu, 25 April 2001)

IKHLAS

Isak tangis yang kudengar
kubiarkan lepas tanpa suara
mengetuk hatiku saat itu
menggugah jiwa untuk peduli
tanpa terasa aku telah terbawa arus deras
ingin kuselami hingga dalam lagi
namun sekujur tubuh kaku
tiada berdaya sama sekali
belas kasih telah mulai tumbuh ………..
Kelak akan kulihat senyummu
setelah kumencoba ……
menerangi jiwamu dengan sinarku
menyirami tanah keras nan tandus
tanpa terasa aku telah terbuai angin dingin
sangat menyejukan kalbu
emosiku mulai terkendali
benih yang kutanam mulai berkembang …..
Akhirnya tak mampu kumenahan
yang selama ini aku sembunyikan
sudah suratan takdir melakukan
kewajiban muslimin bagi yang berilmu
hari ini dan seterusnya …………
aku adalah lilin kecil yang menyala bagimu …..

(Bengkulu, 14 April 2001)

KEPADA GUNUNG GEDE

Gunung gede
yang hijau
yang sejuk
yang damai
yang indah
kesayanganku
Mengapa tanganmu
merenggut sahabatku ?


(Jakarta, Agustus 1978)

SETELAH PERJALANAN

Setibanya di jalan buntu
kau menengadah ke atas
kehampaan ..…………..
nan lembayung

tibalah saatnya
kau menghadap ……….

Barisan sunyi
mengantarmu ke pembaringan
di balik langit
dimana kau beristirahat
setelah perjalanan yang jauh ini

(Jakarta, April 1980)

PERJALANAN 3

Entah sudah berapa jauh kuberjalan
melintasi gunung berbukit
melalui jalan setapak berliku
mengarungi lautan yang luas
melewati prahara kehidupan …………..
tak pernah kucoba untuk menghitungnya
namun memoriku tetap dapat mencatat
waktu yang telah berputar
ilmu yang sangat bermanfaat
hikmah yang telah kudapat
batas yang telah aku singgah
termasuk mengetuk jendela hatimu ……

(Bengkulu, 20 April 2001)

PERJALANAN 2

Setelah keluar dari persembunyian
kuraih tanganmu dengan lembut
kembali berjalan menyusuri lembah
dan aku bisikan kata-kata hatiku
ingatkah kamu disaat kita saling berbagi
dengan berbagai macam ilusi
impian indah yang amat semu
aku menghampiri dirimu
membuka pintu jiwaku
adalah sebuah makna persahabatan
teruskanlah langkahmu
jangan kau hentikan
jangan kau pikirkan dimana ujung perjalanan ini

(Bengkulu, 10 April 2001)

PERJALANAN

Fajar menyingsing menyambut mentari
jelajah lewati hari
burung-burung bernyanyi gembira
hanyutkan suasana hati
tiba-tiba gumpalan awan hitam mulai bergerak perlahan menyelimuti langit
sinar mentaripun mulai sirna
lembayung menatap dengan wajah sendu
hujan turun mengisi kesunyian
meluluhkan jiwa yang tegar

Senja menyongsong menanti batas
menyambut bintang terang
suara malam menggema senyap
hasratkan keinginan hati
bayupun menghembus menyebar cinta
merasuk sukma yang luka
kau bersembunyi di balik jendela
sia-sia ………….

(Bengkulu, 06 April 2001)

SAJAK BUAT EVIE.....

….. Ketika mentari di atas ubun-ubun
debu bertebaran ditiup bayu
dua ekor burung gereja berkejar-kejaran
mengusik resah di siang hening
kulihat juga kau duduk sendiri
di teras sekolah
memegang sebuah buku
membuang-buang waktu ……

Ingin kuikuti hasrat jiwa
menghampiri meniti rasa
mengisi waktu yang terbuang
menggoreskan pena pada kertasmu
sajak pendek penyejuk sukma
tak pernah kulakukan ………

….Kemudian angin datang sepoi-sepoi
menyejukan rasa hati yang gelisah
dan burung-burung itupun berhenti terbang melepas lelah menjelang senja
kulihat kau berjalan perlahan
tanpa kusadari
kau telah disebelahku
lidahku terasa kelu ………………

(Jakarta, Juli 1979)

PERTEMUAN 4

Senja mulai tiba ketika kuniatkan langkahku
menuju kediamanmu……….
menuju suatu harapan indah
melepas sebuah kerinduan yang mendalam
dengan perasaan gundah gulana
kuketuk pintu hijau yang tertutup
lama kutunggu waktu yang berputar
menanti kenyataan ……
berdebar jantungku ketika kau menyambutku
lama kupikirkan sebuah ilusi
namun saat kau menatapku dengan mata tajammu
aku benar-benar terkejut …….…..
karena wajah putihmu berubah merah
memancarkan rasa ketakutan
seolah ada yang akan menerkammu
sejenak kupalingkan wajahku kelu
aku sungguh tidak percaya …..
ketika kuingin menanyaimu
dan kupastikan kembali keadaanmu
tak dinyana ……………………….
sekelebat dirimu telah sirna

(Bengkulu, 21 April 2001)

PERTEMUAN 3

..……………….……… kemudian
kulihat kau berusaha menutupi rasa
bersukacita menyambutku di depan pintu
disaat malam yang datang dengan cepatnya
rembulan bersembunyi dibalik mega
udara dingin membuat lidahku kaku
gelisah merasuk ke dalam diriku
entah berapa lama …………………
terpana kudengar suara nyanyian rindu
menghangatkan suasana malam syahdu
sungguh menakjubkan saat itu
kulihat di kedua bola matamu
ada kehancuran bercampur kegembiraan ……..

(Bengkulu, 17 April 2001)

PERTEMUAN 2

Ketika kau buka jendela sapa mentari pagi
kulihat jelas wajahmu yang cerah
senyummu yang sangat menawan
melegakan hati merindu
melepas sunyi mencekam
menghilangkan dahaga sukma
kulambaikan tangan ikuti jalan pikiran
ketika kau sambut aku bisikkan
bergembiralah hari ini
karena akan rindu di hari nanti
bersukacitalah saat ini
karena akan kita agungkan di masa depan
Lalu ketika kutatap wajahmu
tanpa sadar air matamu telah jatuh ………

(Bengkulu, 07 April 2001)

PERTEMUAN 1

Dalam keheningan di kerinduan rasa
ketika sang surya mulai redup
lelah memancarkan teriknya
lidahku terasa kelu ………..
tatkala desir angin menyapa
isyaratkan suara kalbu
disambut gerimis merintik
halilitar menggetarkan rindu
terhentak kuterjaga ……………….
tanpa sadar kutangkap hatimu

(Bengkulu, 05 April 2001)

D O A K U

Di negeri sebelah timur
tanah kelahiranku
belum pernah kudapati gempa …
dahsyat seperti di sini
menciptakan trauma seluruh jiwa

Di negeri sebelah timur
tempat tinggal sanak keluargaku
sering kudengar ledakan bom waktu
dahsyat kiriman orang-orang keji
menciptakan trauma seluruh jiwa

Gempa dan ledakan bom waktu dahsyat
sama-sama menciptakan trauma seluruh jiwa
Ya Allah………ya Tuhanku ………
ampunilah dosaku dan orang-orang disekitarku
mulai hari ini kuharap
takkan terjadi lagi
di sini atau di negeri sebelah timur

(Bengkulu, 02 Agustus 2001)

TAKKAN PERNAH BERUBAH

Hujan kembali turun merintik…..………..
tatkala angin yang mendesir
begitu kencang dikejar badai
karena membawa berita duka
aku terjaga dari tidurku
jiwaku tersentak sebentar……

Setelah semuanya mulai reda
kembali kupejamkan mataku
kemudian dalam keletihan kumerenung
walau hujan terus menerus turun ke bumi
walau gempa selalu menggoncangku
walau angin dan badai datang menjemputku
walau seribu bahkan sejuta kali
kau melarangku menatap wajahmu
namun hatiku takkan pernah berubah

(Bengkulu, 26 Juli 2001)

PESAN BUAT NUNIL

Adinda, sekali kau berbuat dusta
seratus atau bahkan seribu kali
dusta itu akan membelit jiwamu
tanpa kau sadari ………
tiada ada apapun alasan
karena dusta adalah milik syaitan
tilam kemungkaran……
sangat kumengerti perasaanmu
walau hanya dengan logika
hasratmu dapat membelenggu jiwa
kelemahanmu harus dilawan
agar dirimu menjadi lembut nan tegas
bersabarlah …………..

Adinda, kejujuran untukmu tak dapat ditawar lagi
kau harus menanamnya
kelak akan kau petik buahnya
ketenangan jiwa selalu diawali dari kejujuran
sampaikan apa adanya
walaupun itu pahit rasanya ……………..
hikmah kesucian cinta sejati

(Bengkulu, 12 Mei 2001)

SAJAK BUAT NUNIL

Birunya langit cerahnya sinar mentari
putihnya mega sejuknya bayu
saat ini ………………………
telah membukakan mataku
melihat keikhlasan hatimu
ketulusan cinta suci murnimu
yang akan terkenang selama-lamanya
hingga ajal datang menjemput ……

(Bengkulu, 12 Mei 2001)

RINDU KEPADA NUNIL

Bagai terjaga dalam mimpi
sesaat setelah kulihat purnama malam ini
mengingatkanku…
pada sesuatu yang telah tertinggal
tanpa sadar detik waktu tetap berdetak
diikuti denyut jantungku
yang belum berhenti
hingga mencapai batas
seperti rinduku padamu …..

(Bengkulu, 06 Mei 2001)

S E N J A

Kereta yang kutumpangi melaju perlahan
di atas rel yang berkerut kedinginan
karena hujannya semalam
Kereta yang kutumpangi menuju Jakarta
di depan sana
ada cahaya jingga
perlahan-perlahan
senjapun tiba ……….

(Jakarta, Juli 1979)

DINI HARI DI SELAT SUNDA

Fajar mulai menyingsing
tatkala kubiarkan mataku terbuka lebar
memandangi ujung-ujung langit di lautan
tiada henti ……
yang kulewati saat aku pergi
meninggalkan bayang-bayang rindu
letih rasanya punggungku
ketika kulihat buih-buih ombak bergerak
masih ada yang terlupa ……
tanpa kusadari….
dalam batin kumengucap
selamat tinggal kekasih
jaga dirimu baik-baik
doakan aku kembali lagi …………..

(Selat Sunda, 25 April 2001)

KUTITIPKAN CINTAKU

Bila telah tiba waktunya untuk berpisah
kita akan sadari semuanya
karena kita mempunyai sedikit perbedaan
biarkanlah cinta itu tetap ada selamanya …….
membasuh seluruh duka nestapa
hingga air mata telah membasahi pipi
kutitip cinta dalam langkahmu ………………….

(Bengkulu, 07 Mei 2001)

KEMBALI

Telah lama aku menanti
batas waktu perjalanan ini
melalui relung kehidupan fana
membawa beban yang harus kupikul sendiri
melewati lorong-lorong masa
meskipun terasa amat berat
kelelahan tetap harus kulumat
karena aku telah tersirat

(Bengkulu, 10 Mei 2001)

ALAM KEKAL

Pondokku kah ini ?
yang datar terbaring kelam
Pijar lapar menjilat lepas
terlampau di tinggi pagar
terpagut dan hanyut
Tangan-tanganmu yang panjang
menyuruk jiwa tanpa raga
tiada terpanggil ………………

(Jakarta, April 1980)

PESAN BUAT SAHABAT

Setelah langit mulai biru kembali
dihapus mega hitam nan pekat
kau harus mencoba untuk berdiri tegar
berjalan kembali menyusuri pantai
arungi samudra nan sarat prahara
jelang hidup kemauan hati
menuju pulau harapan cinta
dan kau kelak akan terima pesan asaku
janganlah kau menyerah ………..
jalani hidupmu dengan tenang
hadapi semua rintangan yang ada
nikmatilah apa yang telah kita raih
karena itu datangnya dari Allah
panjatkan syukur kepada Nya
agar nantinya kau mendapatkan kemudahan
mudah-mudahan …………………..
aku selalu dapat menerangi harimu

(Bengkulu, 13 April 2001)

TAKDIR

Aku melangkah menuju kata hati
berjalan dari barat sampai ke utara
lewati waktu ……………………..
menikmati panorama indah
ketika peluh mulai mengalir
aku berhenti sebentar di persimpangan
mengatur napas di sisi jalan
melepas dahaga ………………….
menikmati perjalanan hidup
wajarnya siang yang cerah karena mentari
saat kusandarkan diri di balik pondok
terdengar suara lembut tawamu lepas
memanggil hati yang sedang lelah

(Bengkulu, 08 April 2001)

AKUPUN TURUT

Bumi yang menua
dan hembusan anginmu
setengah fana…
kembali kuketuk angkasa
tanganmu padaku meraba jiwa
mega yang pucat, begitu reda hujan
dan bulan bergerak perlahan
pada untaian kabut sinarmu hilang …..
Akupun turut
seperti lampu mengiringi bayang-bayang padam

(Jakarta, Mei 1980)

KASIH

Gempa jiwaku yang telah kau rasakan
selama ini ….
adalah getaran hati kecil yang selalu merindu
dikala senja menjelang
tak mungkin bisa kau tepis
jangan coba memaksaku untuk melupakanmu
maafkan aku ……

(Bengkulu, 11 Mei 2001)

A K H I R

Jasad tualangpun pasti remuk
juga ruh yang malang
pasti lumat ……
bila telunjukMu sudah memerah
Entah kapan
Yang kuharap
janganlah terbujur di sini ……………


(Jakarta, April 1980)

MAAFKAN AKU

Setiap pertemuan nan elok
tak pasti menjadi perpisahan yang indah
hidup kita sangat penuh pilihan
seperti berjalan dari perempatan jalan
entah kemana kita harus melangkah
berat rasanya mengatakan ini
maafkan aku ……………….
tak ada maksud untuk melukai
mestinya kita tidak bertemu
namun takkan kubiarkan kau menangis
dan tak seharusnya kita berpisah
karena aku masih butuh kamu
maafkan aku ……………….
kita harus menerima kenyataan
walau nantinya akan berat menahan rindu
janganlah selalu larut bersedih
karena aku mencintaimu
karena kau tidak dapat mencintaiku
karena aku terlalu dalam masuk di jiwamu
karena kau nantinya akan merasa kehilanganku
karena aku telah mendua
karena kau nantinya tak sanggup melupakanku
maafkan aku ………………..

(Bengkulu, 11 April 2001)

B I A R

Biarkan kumbang itu pergi
dengungnya berderu
sengatnya mengeletar
takkan rontokkan bunga

Biarkan burung itu hinggap
sayapnya bergetar
cakarnya cuma seujung ranting
takkan patahkan dahan

peneduhnya selembar daun
biar …………………………..

(Bengkulu, 04 April 2001)

SAHABAT SEJATI

Sahabatku, pernahkah kau merenungkan …
kesendirianmu?
kelemahan yang membelenggu jiwamu?
bila belum tak perlu lagi kau lakukan
karena akan sia-sia ………..
Sahabatku, pernahkah kau memikirkan ….
kenapa kita harus berjumpa
sekaligus berpisah pada waktu yang sama?
jangan pernah pikirkan
karena pasti kau takkan sanggup ….
Sahabatku, pernahkah kau bermimpi indah
tentang kita …..?
tentang masa depan yang sakinah?
jangan sampai kau terbuai …..
karena hari-hari tidak akan sama
pasti dapat berubah
membuat dirimu kian cerah
demi aku percayalah ……
walau tanpa diriku
sejauh apapun aku darimu
takkan ada yang dapat memisahkan kita

(Bengkulu, 11 Mei 2001)

N A Z A R

Aku mencoba melangkahkan kakiku yang lemah menuju ke seberang jalan
saat itu aku dalam keadaan sadar
kutahu apa yang kulakukan
takkan mungkin mengulang kembali
kejadian yang membuat dirimu sangat letih
kuingin kau meraih kembali
apa yang telah sirna
kuingin kau bahagia selalu
entah bagaimana caranya
mengobati luka yang amat dalam
Insya Allah ……………………..
jadilah kau sebagai kau, aku sebagai aku
apapun yang terjadi ……………..
kucarikan kau jalan yang lurus
telah tersirat dalam jiwaku selamanya

(Bengkulu, 19 April 2001)

SUATU SIANG DITEPI PANTAI PANJANG

Suatu siang di tepi pantai panjang
kau duduk sendiri pada tunggul pohon usang
memandang ombak lautan yang selalu menepi
tak pernah berhenti …………………..
sementara mentari tertawa lebar memancar
panasnya terbawa angin sejuk dari seberang
lalu aku dekati saat waktu jeda
kusapa kau hanya merunduk kelu
tak pernah ada kata-kata ……………
tak jauh dari tempat kuberdiri
telingaku terusik suara ramai
anak-anak sedang bermain pasir
mereka semua telanjang badan
seketika aku langsung duduk bersanding
menikmati pemandangan indah itu
juga tanpa kata-kata …………………….

(Bengkulu, 18 April 2001)

DI LORONG-LORONG TEPI LAUT

Di lorong-lorong tepi laut
ada…………
dahaga, cinta dan gairah
Semuanya keras bagai rumah kerang
yang bisa kau genggam di tangan

Di lorong-lorong tepi laut
setiap hari kutatap matamu
dan tak juga kukenal kau
kaupun tak mengenalku …………….


(Jakarta, April 1980)

RINDU

Setelah lelah aku berjalan
kududuk di tepi buritan …..
di atas lautan yang amat dalam
kulihat gemercik ombak
membuat hatiku gelisah
hasrat jiwa kembali tumbuh
kubuka pintu lemari hati
kuambil potret nirwana
kutatapi relung wajah
ketika terjaga diriku sadar
jarak antara kita terasa semakin jauh
untuk selama-lamanya …………………..

(Lampung, 05 Mei 2001)

PERASAAN

Perasaan …..
baru kemarin aku menjumpaimu
walau tanpa basa-basi
tiada kata-kata

Perasaan ……
baru sekarang aku menyadari dirimu
meski tanpa rasa hati
tapi dengan sukarela

Perasaan …….
baru besok aku akan menghampirimu
kendati belum tentu pasti
tak ada tanda-tanda ………………….

(Bengkulu, 09 Mei 2001)

MIMPIKU

Sore hari di lingkar barat
ku sambut sukacita amat sangat
menengadah ke sudut langit
di bawah rintik-rintik hujan haru
terlihat jelas lembayung senja
sungguh indah untuk dinikmati
Subhaanallaah ………………
malam hari bulan purnama
kurindukan rasa
pada saat kelam telah larut
kudengar ombak di lautan memanggil

(Bengkulu, 09 April 2001)

L A M P U

Semenjak sayup-sayup sunyi ditinggal sepi
kaulah yang jadi coretan
puisi baris-baris koyak
apapun yang terjadi tak bisa menolak
semuanya akan pergi
diintai mentari pagi

(Jakarta, Maret 1980)

HIKMAH COBAAN

Sebuah noktah hitam yang kau lihat
nan berada dari kejauhan
tanpa kau sadari ………..
perlahan-lahan datang menghampirimu
sementara waktu tidak pernah mau berhenti
berpacu dengan perputaran bumi
bila tiba saatnya jelas nyata bagimu
karena titik kecil merupakan lingkaran besar
yang dapat menelan dirimu
jika kau tak siap menghalau
jika kau tak dapat menghindar
jika kau tak dapat menahan
terlalu pasrah menerima kenyataan …….
namun tiada kata terlambat untuk melawan
tegakkanlah dirimu
kuatkan hatimu
teguhkan imanmu
Insya Allah akan mudah kau menghapusnya
dengan kerelaan jiwa putihmu ……….

(Bengkulu, 15 April 2001)

SELAMAT TINGGAL DUKA

Kau tersirat di garis-garis lelangit
tertulis dalam mata yang kucinta
dan bukan sepenuhnya kemiskinan
tapi kau begitu ramah
Sementara ………..
kau meninggalkan diriku
aku berdoa kepada Tuhan
berbahagialah kau bersama angin
yang terakhir kuucapkan
Selamat tinggal duka…………….

(Jakarta, Januari 1980)

KENANGAN

Jabatlah tanganku erat-erat
mungkin ini hanya sekali
hapuslah pula airmata haru
yang terakhir kali …………
walau ada banyak benang-benang
namun hati ini tak dapat diikat
waktu ini hanya sebentar
besok aku akan pergi jauh
mengembara kembali ikuti putaran bumi melaksanakan jalan hidupku
tak ada niatku untuk menghianati
aku ingin apa adanya
dan berharap kita kan bahagia selamanya

(Bengkulu, 14 April 2001)

P R A S A N G K A

Malam ini kulihat kembali langit
warnanya begitu pekat
tak ada bintang maupun bulan
gelap gulita tanpa bias cahya
tiada batas yang dapat kutentukan
tiada terdengar suara desing angin
aku mulai resah tatkala udara mulai hampa
lampu di rumahpun terlihat redup
yang ada hanya bayangan hitam
menghantuiku hingga larut mendesak
lalu aku masuk keperaduan
ingin kututup semua pintu jiwa
berbaring sendiri di atas tilam putih ……..
tersentak kumendengar rintik hujan di luar
anginpun datang menerpa kalbu
ketika kuintip dari balik jendela
ternyata bintangku yang sirna telah kembali
walau samar kulihat sinarmu……..

(Bengkulu, 22 April 2001)

W A J A H

……….kemudian hari-hari kututupi puisi
sejauh jalan dengan kembara
seakan-akan nazar hidup
hanya kuhirup dari pintu gerbang
kususuri wajah
tanpa kumasuki rumah ………

(Jakarta, April 1980)

SEANDAINYA

Seandainya aku dapat terbang tinggi
akan ku hampiri gunung yang indah itu
bertengger tepat di atas puncaknya
dan akan aku tancapkan jiwaku
lalu akan aku hangati dengan apiku
sehingga kebekuan yang menyelimuti
dapat mencair serta mengalir di tubuhku selamanya……

(Bengkulu, 16 April 2001)

HARAPANKU

Malam ini kulihat bintang
begitu banyak dilangit kelam
ada yang terang berbinar
ada yang redup nyaris sirna
tak hingga selesai kuhitung jumlahnya
karena aku lebih tertarik satu cahaya
rembulanku ……….
purnama indah dikitari biasnya
tempat berlabuh dikala senja
sejenak kukerutkan dahi
memikirkan kehendak hati
Insya Allah …………….
aku akan menghampirinya
memberikan sedikit cahaya bagi yang gelap
sebelum aku kembali …………..

(Bengkulu, 12 April 2001)

KOTA KENANGAN

Tanpa sengaja aku datang ke kotamu
berbakti melaksanakan kewajiban hidup
kota semarak yang damai nian
penuh dengan banyak gejolak
panasnya memberiku kehangatan
hujannya membuatku kedinginan
gempanya menimbulkan hikmah keteguhan
nikmat dunia yang tiada habisnya
Alhamdulillahirabbila’lamin …..
sungguh telah aku syukuri
walau cuma sekejap aku bertemu denganmu
kota Bengkulu, kan kuingat selalu ………

(Bengkulu, 08 Mei 2001)

MERANTAU

Aku terbang tinggi ke angkasa
melayang mencoba merangkai awan
nan amat indah ………
mengisi kehampaan sunyi
melukis langit biru dengan jiwaku
mengusik keheningan senyap
meninggalkan kota kelahiranku
untuk singgah sebentar di kotamu
atas ijinMu …………………….

(Jakarta, 04 Mei 2001)

KEPADA KOTA BENGKULU

Negeri semarak nan damai
hijau membentang panjang
kota puspa Rafflesia yang indah
ramah nian …..
walau kadang kerap kali bergetar
panas membakar ……
anginnya sejuk menusuk kalbu
Kenapa kau campakkan
sahabatku …………………….

(Bengkulu, 04 April 2001)

AKU, KAU DAN KITA

Saat ini………………………
aku selamanya adalah aku..........
seperti apa yang kau lihat
entah beberapa waktu yang lampau

Dan mungkin……...
atau barangkali

Kau selamanya adalah kau……….
dari yang pertama yang telah kutemui
aku akan tahu itu……………………..

Selanjutnya………………………
apakah kita selamamya adalah kita?

(Jakarta, 20 Oktober 1981)

Jumat, 28 Desember 2007

GEMPA 4

Getaran gempa dahsyat……………..
yang kau kirim pada bulan Juni
mengisyaratkan kata-kata cinta
hingga kita saling gelisah
lalu kita sama-sama letih
terdiam duduk di tepi pantai
termenung memandang gulungan-gulungan ombak
di lautan luas yang penuh badai
yang kerap kembali menyirami
menghapus jejak-jejak kaki kita

(Bengkulu, 04 Agustus 2001)

GEMPA 3

Setelah senja yang kulewati sore ini
sirna perlahan-lahan ……
langit jingga diselimuti awan hitam
sementara angin berhenti bertiup
peluh membuat kita terjaga
ketika malam mulai merekam keruntuhan
gempa yang pernah kubayangkan
kembali datang menggetar dahsyat
mampir ketempatku
menciptakan kegalauan hati
hingga larut melewati dini
walau ditutup dengan hujan badai yang deras
mataku tetap tak dapat dipejamkan
namun hatiku telah tertidur
hingga waktu subuh tiba
setelah menghadap Sang Pencipta
saat fajar mulai menyingsing
aku termenung memandang samudera
jikalau gempa itu adalah pintu untukku……
pasti akan aku buka dan masuk ke dalam getarannya”

(Bengkulu, 04 Juli 2001)

GEMPA 2

Pagi hari indah kota Semarak
langitnya terang membiru cerah
sang surya mulai memancarkan sinarnya
udaranya segar menyejukkan jiwa
daun-daun pepohonan basah bergairah
unggaspun bernyanyi riang
ada banyak keindahan disini……

Siang harinya terik mentari sedikit menyengat
terlihat jelas langit mulai tampak tegas
biru dihiasi mega-mega putih
angin bertiup sepoi-sepoi membelai lembut
burung-burung terbang bebas lepas
hingga senja jingga menjelang
ada banyak kedamaian disini………

Namun saat malam hari itu datang
tak kulihat bintang-bintang
langit bahkan mendung menghitam pekat
rembulanpun ditelan awan gelap
ketika suasana mulai sunyi senyap…
tiba-tiba bumi menggoncang dahsyat
bergetar sebentar-sebentar
mengejutkan seluruh jiwa
sunyipun menjadi gemuruh
semua orang berhamburan keluar
jeritan tangis terdengar ramai
gema doapun mengaung dimana-mana
hingga hujan turun dengan lebatnya
yang sedikit memberi ketenangan semu
ada banyak kegelisahan disini…………

Semuanya kehendak yang Kuasa
tak harus ada tanda-tanda……………

(Bengkulu, 04 Juni 2001)

GEMPA

(dalam tidurku…)
mentari tenggelam di lautan jingga
rembulan kerap sembunyi di balik awan
angin menerpa bumi
badai membelah laut kelam

(saat terjaga….)
mentari merangkak di hutan hijau
rembulan bulat bergerak perlahan
angin meniup lembut
badai membelah jiwa

jantungku berdebar deras………………..

(Bengkulu, 04 April 2001)

Sabtu, 22 Desember 2007

SENJA

Kereta yang kutumpangi melaju perlahan
di atas rel yang berkerut kedinginan
karena hujannya semalam
Kereta yang kutumpangi menuju Jakarta
di depan sana
ada cahaya jingga
perlahan-perlahan
senjapun tiba ……….

(Jakarta, Juli 1979)

WAJAH

……….kemudian hari-hari kututupi puisi
sejauh jalan dengan kembara
seakan-akan nazar hidup
hanya kuhirup dari pintu gerbang
kususuri wajah
tanpa kumasuki rumah ………

(Jakarta, April 1980)

DIA DATANG

Tengah malam di kala hujan turun merintik
Dia datang mengetuk pintu jiwaku
Sementara angin mengusap wajahku
Berat rasanya kelopak mataku
Sesudah itu tak lagi kusibak apapun
Semua lenyap apapun
Bahkan ingatanpun runtuh
Bagai ayunan dalam gua kelam
Terlepas dari segalanya
“Dengan nama Engkaulah ya Allah aku hidup dan aku mati”
Pada akhirnya lelaplah sudah jiwa ini

(Jakarta, 1979)

PERTEMUAN

Ditempat ini kita bertemu
melepas segala rindu
kita ciptakan semua
seperti mentari melukiskan pelangi

Hari demi hari
berlalu ……….

Berdua kita menyusun hari-hari
pegang tanganku erat-erat
kita kan lacak …..
menuju batas angan-angan

(Jakarta, Maret 1980)

KEPADA JIWA RAGAKU

Kesengsaraan yang hinggap
mesti kupanggul sendiri
di atas punggung kering
yang kian bongkok
digerogoti sepi
dari hari ke hari ……

(Jakarta, 1979)

CERITA CINTA DI SMU ST. CAROLUS

Suasana di SMU St. Carolus - Bengkulu hari ini tidak seperti biasanya. Pada jam belajar terlihat anak-anak kelas III IPA berpestapora. Karena ada dua jam pelajaran kosong. Pelajaran matematika, guru pengajarnya tidak hadir. Mereka ada yang nongkrong di kantin sekolah, ngegosip, ada juga yang asyik berseliweran di selasar kelas yang sepi. Tentu saja sambil ngintip-ngintip dan meledek anak-anak lain yang sedang belajar. Tapi itu mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Soalnya bila diketahui oleh kepala sekolah atau salah satu guru saja, mereka harus rela melepaskan jam kosongnya.
“Rahmat ! Gimana tuh kelincimu ? Katanya sakit ?” Teriak Nisa
“Sudah sehat tuh ! Kamu naksir, ya ? Cepetan aja deh ! Nanti keduluan kucing tetanggaku, lho !” selorohku.
“Enak aja kau ngomong ! Gini, Mat. Kalau kau rela, si Sayidi anak kelas II B mau pinjam piaraanmu itu untuk penelitian.”
“Hah ! Itu sih bukan dipinjam lagi. Tapi pembunuhan yang sangat direncanakan !”
“Hey, Susi !! Kembalikan buku itu !” Tiba-tiba Biyan berteriak.
“Sebentar dong, Bi ! Aku cuma mau meresensi puisi-puisimu, koq”
“Sus cepat dong ! Ngapain sih buka-buka rahasia orang ?!”
“Indahnya cita putih ……….” Susi mulai beraksi dengan gayanya. “Bagaikan bunga Kamboja yang tumbuh di kuburan bibiku…..hih ! Koq, seram amat sih, Bi ?!” Susi bergidik.
“Makanya…kembalikan !”
“Pengumuman…! Pengumuman…!”
Sunaryo mulai berkoar di depan kelas. Semua yang ada di dalam pada pasang kuping kanan kiri dengan sigap.
“Berhubung kita sekarang ini berstatus penganggur, bagaimana kalau kita merayakan ulang tahun Andri yang dua bulan lagi genap delapan belas tahun !”
Anak-anak bersorak tanda setuju dan segera merubung Andri yang gelagapan dan shock berat. Tetapi mendadak suasana menjadi sepi dan kaku, karena secara tiba-tiba Pak Jemi muncul dengan garangnya.
“Kenapa diam !” tantang Pak Jemi dengan mata melotot. “Begitukah tingkah para calon mahasiswa ? Seperti tak punya perasaan dan sopan santun saja ! Kalian ini orang terpelajar, tahu nggak ! Seharusnya peka dengan keadaan sekitarnya. Coba lihat ! Sebelah kelas kalian sekarang sedang ulangan ! Apakah kalian tidak kasihan ?!” Pak Jemi menatap seisi kelas satu demi satu.
“Jam pelajaran siapa sekarang ?”
“Pak Yuliarso, pak !” aku memberanikan diri untuk menjawab.
“Cepat lapor guru piket dan minta tugas !”
Pak Jemi langsung kembali menuju kelas sebelah dengan muka merah padam. Dan dapat ditebak, anak-anak mulai saling menyalahkan dan merasa paling benar sendiri.
“Rahmat !”, ada yang berteriak memanggilku saat bubaran sekolah. Ternyata Novi tetanggaku anak kelas I A.
“Mat, pulang sama-sama ya ?”
“Lho ! Mas Yoyok nggak jemput ?”
“Nggak ! Dia kuliah”
“Oke lah ! Tapi ikut muter-muter nggak apa-apa kan ?”
“Kemana ?”
“Biasa…..ngurus bisnis”
“Iya deh…! Tapi kalau aku dimarahin ibu, kamu yang tanggung jawab lho !”
“Gampang ! Pokoknya aku kan nggak menculik kamu !”
“Ye ! Siapa tahu kamu bersekongkol dengan penculik liar”
“Salah kamu sendiri. Kenapa mau ikut ?”
“Curang kamu !” Novi mencubitku dengan gemasnya. Aku menjerit-jerit kesakitan.
“Mat…..! Aku semalam didatangi pemuda namanya Jumali” Novi membuka pembicaraan saat kami beristirahat membeli es campur di tempat Uni Yanti.
“Terus…kenapa ?”
“Orangnya sih cakep and ganteng lagi. Dia kukenal waktu ada Festival Tabot 2001 yang lalu”.
“Kamu suka ?”, aku memancing. Novi meratapku aneh dan menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ? Koq aneh ?”, tanyaku. “Dia kan ganteng !”
“Nggak, Mat ! Bukan itu yang kucari……”
“Lalu apa maksudmu cerita ke aku ?”
“Aku……aku, eh nggak usah saja. Aku nggak berani mengatakannya”
“Kamu ingin minta pendapatku tentang itu ?” Novi menggeleng menggelengkan kepalanya. Aku jadi curiga dengan perubahan sikapnya. Ada apa ini !
“Kamu sudah punya pacar, Mat !” Tiba-tiba kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Novi.
“Memangnya kenapa ?”
“Boleh kan, aku tanya itu ?”
“Kalau nggak boleh, bagaimana ?”
Novi sedikit kecewa. Mukanya merah padam menahan malu.
“Oke deh ! Koq, jadi serius begini sih !”, aku tersenyum, kemudian menyeruput es campur-ku sebentar.
“Begini, Novi ! Aku memang punya teman yang sangat dekat. Bolehlah dikatakan pacar. Karena aku memang membutuhkannya dan dia juga membutuhkanku. Tapi dia sekarang tidak ada di sini. Dia sedang berada di Jakarta, besok mungkin sudah kembali.
“Siapa dia, Mat !” Ada nada kecewa dalam suara Novi.
“Ita ! Kenapa ?”, tanyaku penuh curiga.
“Nggak apa-apa” Novi menunduk. Aku menjadi tahu apa yang dia rasakan sebenarnya. Tetapi aku diam saja, tak ada baiknya itu dikatakan.
“Yuk ! Kita pulang !”, ajakku.

**********

Sudah menjadi kebiasaanku, pagi-pagi aku selalu mampir dulu ke kantin sekolah Ibu Kardiono, sebelum masuk kelas. Sekedar sarapan saja. Habisnya nggak ada seninya kalau sarapan di rumah. Paling-paling nasi goreng lagi yang disediakan.
Di meja sebelahku ada Indah yang memandangi aku terus. Anak kelas II C ini sejak nongol di sekolah ini selalu ada perhatian ke aku. Ge-eR ! Tapi nyatanya juga begitu. Dan aku selalu tetap bersikap biasa-biasa saja padanya. Tapi risih juga kalau dilihatin terus.
“Koq, sendiri saja, Indah ?”, tanyaku sambil menenteng gelas dan piring penuh nasi santan plus empal.
“Iya nih nggak ada yang nemenin”. Dia tersenyum manis sekali.
“Beruntung ya, aku bisa nemenin”. Lagi-lagi Indah tersipu.
“Koq, GR sih ?”
“Nggak GR koq, cuma bangga !”, aku ngikik.
“O iya, kamu nanti mau masuk jurusan apa ?”
“Kalau bisa sih, IPA dong !”
“Wah ! Koq ngikut jejakku ?”
“Iya ! Biar kompak selalu sama Mas Rahmat”, Indah tersenyum malu.
“Ye…! Sebentar lagi kan aku sudah mau lulus”
“O iya, lupa !”, ganti Indah yang ngikik. Jelek amat dia kalau begitu.
Kemudian kami saling diam. Indah menyeruput teh hangatnya. Aku makan nasiku yang masih munjung dengan cueknya. Tak peduli tatapan Indah yang tanpa berkedip.
“Mas Rahmat koq sombong sih sekarang ?”. Tiba-tiba suara Indah mengganggu kenikmatanku.
“Sombong apaan sih ?”, sahutku setelah menelan satu sendok terakhirku.
“Kemarin sore, Indah panggil-panggil, Mas diam saja”
“Dimana ?”
“Di Simpang Sekip !”
“O…itu, koq aku nggak dengar kamu panggil-panggil tuh !”
“Benar-benar nggak dengar, apa pura-pura nggak dengar ?!”, Indah meledek.
“Benar koq, Indah ! Sorry deh ya”
“Itu yang kamu bonceng siapa sih ?”, tanya Indah ingin tahu.
“O…itu, adikku. Rahmasari namanya”
Raut muka Indah kelihatan lega.
“Koq setia banget sih sama adiknya ?”
“Iya dong ! Adik satu-satunya kan perlu disayang”
“Enak ya punya kakak Mas Rahmat. Setia banget”
“Memangnya kakakmu bagaimana ?”
“Indah nggak punya kakak, Mas !”
“Adik ?”
“Nggak juga”
“Jadi anak tunggal, ya ?”
“Iya”
“Kalau begitu, dimanja dong ! Apa-apa pasti dituruti ?”
“Nggak enak juga, Mas. Sepi !”
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Anak-anak pasti dibuat keki berat dengan bunyi bel yang sok disiplin itu.
“Masuk, yuk !”, aku berdiri.
“Eh, sebentar dulu, Mas. Indah mau ngomong sedikit”. Indah ikut berdiri. “Begini ! Mas Rahmat nggak marah kan kalau Indah mengatakan sesuatu ?”
“Sebatas itu masih bisa kuterima, aku nggak akan marah”
“Benar ?!”
“Swerr”
“Sebenarnya…sebenarnya Indah…Indah suka sama Mas Rahmat”. Indah langsung kabur menuju kelasnya setelah mengatakan itu. Aku melonggo.
Pusing-pusing !!! Betul-betul aku nggak bisa konsentrasi dengan pelajaran pagi ini. Omongan Indah tadi ternyata sangat mengganggu pikiranku. Sebenarnya sudah jauh-jauh hari aku mengetahui hal itu dari teman-teman Indah sendiri. Tetapi setelah itu terjawab pasti, justru aku menjadi tak percaya diriku sendiri. Apakah aku masih bisa mempertahankan kesetiaanku ?
“Mat ! Ada surat nih ! Dari Novi”. Lisa menyerahkan lipatan kertas kepadaku.
“Terima kasih ya !”, jawabku. “Eh, Lisa ! Kamu mau tolongin aku nggak ?”
“Ngapain ?”
“Tolong kasih tahu Suryana, nanti sore aku nggak bisa ikut rapat. Karena ada keperluan penting, begitu”
“Oke Boss ! Tapi ada bonusnya kan ?”
“Beres !!”
Lisa segera keluar dari kelasku. Di dalam kelas sekarang cuma ada beberapa gelintir siswa saja. Memang kalau pas istirahat pertama begini, anak-anak lebih senang keluar kelas. Kubuka surat Novi dengan malas, isinya sudah dapat diduga. Tapi tetap penasaran juga hati ini.
Bengkulu, 12 Mei 2001
Rahmat ! Sebenarnya kemarin aku ingin terus terang sama kamu. Tapi aku malu. Dihadapanmu rasanya aku koq rendah banget. Tapi aku harus ngomong Mat ! Untuk mengeluarkan uneg-uneg ini.
Sudah lama sebenarnya perasaan ini kupendam. Aku mencintai kamu Mat ! Namun sekarang aku tak bisa berharap, kamu jangan memandang sinis padaku ya ? Anggap saja semua ini tidak pernah terjadi. Nggak usah dipikirkan kata-kataku dalam surat ini. Aku akan tetap menjaga perasaan kamu, juga perasaan Ita.
Terima kasih ya !
Novi / I A
Kulipat lagi kertas itu dan aku keluar menuju kelas II C.
“Indah ada ?”, tanyaku kepada cewek yang berada dekat pintu kelas.
“Tadi ada di perputakaan ! Cari saja disana !”
Tak banyak basa-basi aku langsung menuju Perpustakaan. Dan ternyata Irma memang ada disitu.
“Indah ! Keluar sebentar yuk !”. Indah kaget setengah mati dan menuruti ajakanku. Di tempat yang tidak begitu ramai, aku mulai membuka percakapan.
“Indah ! Tentang omonganmu tadi pagi membuatku kaget. Suprise banget ! Dan sempat membuatku ragu dalam mengambil keputusan. Aku memang tertarik padamu, Indah ! Tapi aku tak bisa menerimamu, karena aku sudah punya pacar”.
“Siapa ?” Indah menatapku berkaca-kaca.
“Ita ! Anak II D, kamu nggak tahu itu ?” Indah menggeleng. “Sekarang dia memang lagi nggak ada disini. Sudah sebulan yang lalu berada di Jakarta. Dan siang ini mungkin sudah kembali ke sini”.
Suasana menjadi kaku. Sama sekali tidak enak.
“Maafkan Indah, Mas ! Indah telah lancang !”
“Nggak apa-apa, Indah. Aku juga minta maaf. Aku maklum. Adakalanya kejujuran memang perlu. Walau kadang mendatangkan kekecewaan. Aku masih menghargaimu, Indah !”
“Terima kasih, Mas !”, suara Indah bergetar.
Lagi-lagi bel berbunyi tiga kali. Anak-anak tak dapat berbuat lain kecuali masuk kelasnya masing-masing.
“Indah masuk dulu ya, Mas !”
“Ya !” Aku tersenyum, juga Indah. Namun sinar kekecewaan masih tertangkap jelas dari bola matanya.

**********

Setelah bubaran sekolah aku langsung menuju ke rumah Ita. Disana aku telah ditunggu oleh Bang Wasta, kakak sepupunya Ita. Untuk menjemput Ita di bandara Padang Kemiling. Bersamaan dengan tibanya kami di bandara, pesawat dari Jakartapun telah mendarat dengan selamat. Aku langsung menuju ke ruang ‘Kedatangan’ di gedung bandara yang kebetulan saat itu sedang dalam pelaksanaan renovasi dan rehabilitasi. Oleh karena itu keadaannya terlihat sangat darurat. Dan konon menurut Pemerintah Daerah setempat, nama bandara Padang Kemiling ini nantinya akan diganti menjadi bandara Fatmawati. Sehingga aku pikir renovasi bangunan gedung tersebut, selain dalam rangka untuk pengembangan bandara guna meningkatkan pelayanannya, mungkin juga sekaligus untuk peresmian nama barunya itu. Mudah-mudahan dapat terlaksana.
Ketika aku sudah masuk ke dalam ruang tunggu, tak lama kemudian kulihat para penumpang mulai keluar menuruni tangga. Ita telah melambaikan tangan duluan ketika dia nongol dari badan pesawat.
“Brengsek kamu ! Aku sudah melambai-lambai dengan manisnya, kamu tetap bengong saja !”, omel Ita ketika dia telah berada di depan mataku.
“Sorry, non ! Habisnya kamu kelihatan kecil banget sih, dibanding dengan penumpang yang lainnya”
“Hu….! Dasar !”, Ita mencoba menjewer telingaku, tapi dapat kuhindari.
“Lho ! Ayah Ibumu mana ?”, tanyaku penasaran.
“Masih di sana. Ada keperluan yang lebih penting lagi”
“Untung kamu cepat pulang !”
“Memangnya kenapa ?”
“Aku nggak betah lama-lama nungguin kamu ! Banyak godaan !!”
“Tuh…kan ! Genitnya nggak hilang juga !”
“Lho ! Pokoknya aku tetap sama kamu !”
“Iya deh…!”, Ita mencibir.
“Eh, tuh Bang Wasta sudah nungguin dari tadi !”
Kami berlari-lari menuju mobil Kijang Super, sambil sesekali bercanda melepas rindu.
Siang ini kelihatan begitu cerah. Secerah wajahku menyambut Ita. Memang hanya perasaan yang dapat mewujudkan langkahku dengan pasti, bahwa aku benar-benar mencintai Ita.

Bengkulu, 16 Juli 2001
( Cerita pendek ini kupersembahkan khusus kepada YPKB - Bengkulu dan SMU St. Carolus - Bengkulu )
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.

SEBUAH KEPUTUSAN

Senja telah mulai sirna ketika udarapun tidak begitu bersahabat. Hujan turun dari mulai rintik-rintik hingga menjadi lebat bercampur badai. Mencekam sekali rasanya, apalagi listrik padam pada saat itu. Sehingga dapat dibayangkan betapa gelapnya keadaan kota Bengkulu malam itu. Dan cukup lama keadaan tersebut baru mulai berubah. Setelah agak reda Nunil mengangkat pesawat telepon di rumahnya. Dan ia langsung menekan nomor telepon yang sudah dihapal diluar kepalanya dengan cepat. Kemudian di tempat lain yang dituju ada yang mengangkat telepon yang berdering.
“Hallo… !”
“Ya, hallo…… !”
“Assalamu’alakum”
“Waalaikumsalam…..”
“Bisa bicara dengan Edri ?”
“Ya, saya sendiri !”
“Hey, Dri! Aku Nunil masih ingat ?”
“Hey, kamu rupanya ! Tumben baru telepon lagi ? Apa kabarnya nih ?”
“Baik-baik Dri, kamu bagaimana ?”
“Sama, cuma sedikit pusing karena cuaca agak buruk ya ? Ada kabar apa nih?”
“Dri, malam ini kamu sibuk nggak?”
“Nggak tuh, kenapa?”
“Bisa terima pengaduan nggak?”
Edri tertawa mendengarnya. Ia jadi teringat kalau sahabatnya yang satu ini - Nunil - memang selalu suka meminjam istilah-istilah lucu. Seperti pengaduan tadi misalnya. Pengaduan bagi Nunil artinya bahwa dia lagi punya uneg-uneg yang akan dibaginya dengan Edri.
“Bisa, glek saja langsung !”
Nunil gantian ketawa. Ia merasa cukup terhibur. Setelah seharian tadi kepalanya mumet dan merasa nyaris pecah gara-gara pertempuran dengan Adi, cowoknya.
“Begini Dri, kayanya aku nggak bisa langgeng sama Adi …..”
Nunil mulai melaporkan pengaduannya. Lalu ceritanya segara meluncur seperti sebuah cerpen.

**********

“Kalau mau bubaran, ya bubar saja Mas ! Kita nggak usah bertele-tele”.
Siang itu kemarahan Nunil sudah sampai ke ubun-ubun. Ditendangnya batu kecil yang ada di jalanan yang dilewatinya berdua Adi.
“Kamu itu bicara apa ?”
“Bicarain kita, Mas kira sekuat apa aku menahan kesal yang sudah menumpuk sejak lama ?”
“Kamu kesal sama saya ?”
“Sama semuanya ! Tapi yang penting sama kelakuan Mas. Mas selalu mau menang sendiri. Selalu menyalahkan aku, sementara kalau Mas yang salah, Mas nggak merasa bersalah. Seolah-olah Mas nggak pernah bersalah terhadapku”.
Adi mengerutkan keningnya.
“Bisa kamu sebutkan ?”
“Bisa, banyak sekali !”, sambar Nunil cepat
“Yang paling gres seminggu yang lalu. Mas menyalahkan aku ketika aku pergi dengan teman-temanku dan melarang aku untuk pergi dengan orang lain ! Sementara kemarin, Mas ngobrol sama cewek dengan seenaknya. Seolah-olah aku dianggap nggak ada”.
“Kapan ? Saya nggak merasa seperti yang kamu tuduhkan ! Sayang saya tak berkurang kan ? Kamu saja yang lagi senang marahin saya !”
“Aku nggak mau dengar rayuan Mas lagi, pokoknya aku ingin kita bubaran !”
“Lho ! Itu kan maumu, keinginan sepihak. Berarti kamu memaksa saya ?”
“Pokoknya bubar !”
“Nunil, kita kan sudah lama bersama. Hampir satu setengah tahun. Bukan saatnya lagi kita ribut-ribut kayak begini dan ingin bubar lagi. Pasti ada solusinya, kita bisa bicarakan baik-baik”.
“Justru karena sudah lama aku sudah mencoba berdiam diri, biar Mas merasa. Tapi nyatanya Mas masih nggak mengerti juga !”.
“Kamu marah, Nil ?”
“Marah sekali !”

**********

“Terus, terus ……..”, Edri mendengarkan cerita Nunil dengan tekun. Cewek memang suka begitu kalau marah ledakannya sungguh hebat !
“Terus, terus. Memangnya cerita bersambung ?”, Nunil kesal. “Kayaknya kamu lagi nanggapin aku deh, Dri”.
“Bukan begitu, Nil. Kalau kamu ceritakan semuanya nanti bisa plong. Aku kan cuma ingin kamu baik-baik saja”.
“Aku baik-baik aja, koq. Sudah lega dan senang bisa cerita sama kamu. Ya, begitu deh, kalau pacaran sama Adi. Dia mau menang sendiri. Adi itu merasa benar terus. Semua cowok sifatnya begitu, ya ?”
“Nil ….”, Edri mengingatkan. “Aku juga cowok, lho.”
“Sorry, deh ! Soalnya si Adi menyebalkan sih….”
“Kamu itu mestinya membuat kepalamu dingin dulu, Nil. Jangan memutuskan sesuatu dengan keadaan emosi. Hasilnya pasti kurang baik”.
“O, iya ?”
“Iya, coba deh tenang dulu. Kalau besok atau nanti ketemu Adi, bicara baik-baik. Kamu pikirkan yang lebih dalam lagi”.

**********

Keesokan harinya dengan berbekal nasehat dari Edri, Nunil pergi untuk menemui Adi dengan hati yang senang. Maksudnya, dia berusaha mengusir rasa sebal dan segala sumpah serapahnya buat Adi.
Namun setelah tiba di rumahnya Adi, ternyata dia belum pulang sejak kemarin. Ia pergi entah kemana. Dengan perasaan kecewa Nunil menitipkan pesannya. Dia berusaha habis-habisan untuk bertemu Adi. Sejam, dua jam, sehari, tiga hari …………. …………
Lama-lama Nunil heran dan mulai kesal lagi karena tidak ada kabar tentang Adi.
“Aku jadi nggak sabaran deh, Dri. Diharapkan ada, malah nggak ada. Dikangenin malah nggak mau tahu. Aku benar-benar kesal, nih !”
“Wah, kamu saja yang suka emosi, Nil. Mungkin dia sedang sibuk atau kamu hanya selisih jalan sama dia”.
“Nggak mungkin, Dri. Aku sudah ke rumahnya, koq. Barangkali dia menghindar dari aku, ya !”
“Tuh, kan mulai lagi deh kamu berprasangka buruk. Itu nggak baik”.
“Soalnya Adi dikangenin nggak mau. Kamu tahu aku kan ? Kalau aku rindu dan orang yang aku rindu nggak ada, aku selalu mengubur rinduku itu. Makin lama waktunya lewat, akau makin nggak mau membicarakannya lagi. Aku anggap sudah nggak ada rindu lagi”.
“Kamu harus makin sering menyabarkan hatimu, Nil. Orang sabar itu selalu dikasihani Allah…..”.

**********

Ketika Adi datang ke rumah Nunil seminggu kemudian, setelah Nunil menelepon Edri, perasaan Nunil buat Adi biasa-biasa saja. Dia nggak kesal, dan nggak kangen sama Adi.
“Kamu nggak kangen saya, Nil ?”
“Sudah nggak, tuh !”
“Koq, bisa begitu ?”
“Entah, ya. Itu diluar kehendakku”
“Oh, Nunilku. Kamu pasti masih mendidik marah pada saya, ya ?”
“Nggak tuh !”
“Saya kangen kamu, Nil ! Saya sayang kamu”
Lalu Adi menggandeng tangan Nunil. Cepat-cepat Nunil menepiskan tangan kokoh itu.
“Aku tahu…”
Malam harinya Nunil menelepon Edri lagi.
“Bayangkan, Dri…. Aku sudah nggak punya kangen lagi. Pun ketika ia muncul di depanku. Boro-boro kangen, digandeng saja aku nggak mau !”
“Kamu nggak boleh begitu, Nil. Kamu terlalu dihantui oleh perasaan kamu sendiri. Koq, sulit amat buat memaafkan kesalahan orang. Coba pikirkan lagi deh. Adi kan bukan orang lain buat kamu”.
“Justru itu ! Aku nggak enak dong, kalau cuma pura-pura sayang sama dia”.
“Cuma karena begitu, kamu jadi nggak sayang lagi ?”
“Pokoknya aku telah kehilangan segala rasa sayangku pada Adi, Dri. Aku sudah lelah……….”.
Hening di seberang sana. Edri menunggu kelanjutan pembicaraan Nunil.
“Edri, apa benar ya, kalau kita kehilangan rasa kangen itu artinya kita sudah nggak sayang lagi sama orang yang kita cintai ?”
“Entah ya, Nil. Aku kan belum pernah mengalami seperti kamu itu”.
“Aku telah membohongi Adi, Dri. Sebenarnya sudah lama rasa sayangku itu habis. Sejak dia mulai tidak memperdulikan aku lagi”.
“Nunil, apapun yang akan kamu putuskan, kamu harus yakin benar akan semua tindakan itu, nggak cuma karena emosi. Itu saja. Rasanya aku sudah pernah bilang tentang hal ini kan ?”
“Sudah, terima kasih ya, Dri”.

**********

Gadis itu melangkah buru-buru dari pelataran pertokoan ‘Puncak’ di jalan Suprapto, menuju wartel di seberang jalan. Dengan langkah-langkah panjang dia menyeberang bersama penyeberang jalan lainnya di atas zebracross pada saat keadaan sudah aman. Ketika posisi Nunil masih tepat di median, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
“Nunil ! Nunil ! “
Adi dari arah seberang melambaikan tangannya. Setelah melihat siapa yang memanggilnya Nunilpun membalas lambaian Adi.
“Kamu mau kemana, Nil ?”
“Ke wartel, Mas !”
“Mari aku antar”
Adi langsung menggandeng Nunil pergi menuju wartel yang tidak begitu jauh dari tempat mereka bertemu.
“Mau telepon siapa ?”
“Pertama mau menelepon Arief, terus mau nge-fax formulir lomba cerpen dan puisi ke Edri. Aku sudah janji”
Meski sedikit kaku gara-gara ingat pembicaraan dua minggu yang lalu tentang perasaannya terhadap Adi, Nunil mencoba menikmati saat-saat dia jalan bersama Adi.
Setibanya di wartel, Nunil langsung masuk ke ruang telepon yang kosong. Sementara Adi menunggu di ruang tunggu yang tersedia di wartel tersebut. Kemudian setelah Nunil selesai menelepon dan ketika hendak keluar, ia melihat Adi sedang terlibat dalam pembicaraan dengan dua orang gadis yang tidak ia kenal. Nunil tidak peduli. Dan langsung menuju meja operator menyerahkan formulir untuk di fax ke Edri. Agak lama proses faksimili tersebut, namun Adi masih tidak bergerak dari tempatnya, sepertinya ia lupa kalau telah pergi bersama Nunil. Namun Nunil tetap tenang. Dan setelah proses fax-nya selesai, Nunil tidak beranjak dari tempat ia berdiri dan ia memanggil Adi untuk pamit.
“Mas, aku duluan ya !”
“Eh, Nunil ! Tunggu !!!”
Secepat kilat gadis itu keluar dan berlari meninggalkan Adi yang juga tidak sempat bilang apa-apa untuk menghalangi Nunil pergi.

**********

“Selamat malam……..”, Nunil menyapa setelah dia mengangkat telepon.
“Malam, ini Nunil, ya ?”
“Oh, kamu Mas”, Nunil segera mengenali suara Adi di seberang sana.
“Ada apa ?”
“Saya ingin menjelaskan kejadian siang tadi”
“Ah, nggak perlu koq, Mas. Semuanya sudah jelas bagiku……”
“Dengar dulu, Nil……”
“Nggak mau, aku tahu pasti Mas akan bilang adalah sulit bagi seseorang buat mengubah pandangannya tentang sesuatu yang sudah biasa dialaminya. Aku kenal betul siapa Mas !”
“Nunil…..”
“Biar kamu tahu, Mas ! Aku sejak dari awal sayang sama Mas, tapi bukan dengan kelakuanmu yang tidak terpuji itu”
Kata Nunil tegas sambil menahan gejolak emosinya.
“Saya tahu”, Adi menghela napasnya. “Maafkan saya, Nil. Kalau cemburu saya sudah kelewatan. Dan kelakuan saya yang menurutmu tidak adil terhadapmu”
Nunil diam sejenak. Dia harus tegas dalam mengambil keputusan.
“Sekarang saya mengerti semuanya, Nil”, Adi mencoba sabar. “Bagaimana kalau kita coba lagi, Nil ?”
“Nggak perlu. Aku sudah lelah”, Nunil memegang dahinya. “Aku sudah terlalu lelah. Aku ingin semuanya berakhir………”.
Tanpa menunggu kalimat Adi, Nunil memutuskan hubungan teleponnya. Tak lama kemudian, ia menekan nomor telepon Edri.
“Ternyata aku benar, Dri. Aku langsung kehilangan kangen, itu berarti aku sudah nggak sayang lagi sama orang yang seharusnya aku kangenin………”
“Kamu ngomong apa sih, Nil….. ?”
“Aku sudah resmi bubaran sama Adi barusan, Dri. Besok aku telepon kamu lagi ya ? Sekarang aku sangat lelah…..”.
“Halo, halo………..” , Edri masih memanggil-manggil waktu Nunil buru-buru meletakkan gagang teleponnya.
Gadis berambut pendek itu langsung membaringkan dirinya di atas kasur. Setelah selesai menelepon Edri sahabatnya yang paling baik saat ini. Pandangannya bertatapan sama foto Adi yang tersenyum di dekat lampu tidur sudut kamar. Ia mengingat-ingat kembali saat pertama kali bertemu dengan Adi.
Sementara udara di luar rumah menjadi sangat dingin dan hujan yang sejak sore tadi turun merintik, saat ini menjadi deras ditambah tiupan angin yang agak kencang.
Nunil memejamkan matanya. Mencoba tidur sampai terlelap ke ujung mimpi. Adi masih tersenyum dalam bingkai foto.

Bengkulu, 24 Mei 2001
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Yennie Agustin, Bengkulu)
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.

SAJAK BUAT EVIE

…….Ketika mentari di atas ubun-ubun
debu bertebaran di tiup bayu
dua ekor burung gereja berkejar-kejaran
mengusik resah di siang hening.

……Seorang gadis berpakaian putih abu-abu
duduk sendiri di teras sekolah
kedua tangannya memegang sebuah buku
memebuang-buang waktu……


Sambil menunggu Hendra, aku menyusuri teras sekolah yang membujur sepanjang kelas. Hari itu aku tidak langsung pulang kerumah. Walaupun pada pelajaran kelima, murid kelas III BG2 sudah keluar semua.
Ketika di depan kantor tata-usaha, kulihat Evi duduk sendiri di ruang tamu sekolah, asyik dengan buku ceritanya. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!
“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja kau”, Evi tersenyum mengurut dada.
“Koq belum pulang, nunggu jemputan ya?”, tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Ya. Kau ngapain?”, dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Hendra nih!”.
“Ada urusan penting ya! Koq tumben sampai ditunggu segala”.
“Ah, nggak begitu penting, dari pada nganggur. Eh, buku apaan tuh?”
“A dream from the night”.
“Wah hebat! Aku menggumi pengagum B. Cartland”.
“Hmmmm….”Evi Cuma tersenyum manis.
Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!
“Hari ini panas sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, gerahnya bukan main” Evi mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita minum es cendol?”
“O…. ide yang bagus. Yuk…!” Evi tersenyum.
Kami berdua berjalan menuju cafeteria di belakang sekolah. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.
“O, iya kapan sih Kejuaraan Basket Jakarta Timur itu?”
“Mungkin dua minggu lagi. Ini baru mau di urus sama Hendra. Evi ikut ya!”
“Nggak ah, Evi nonton aja deh” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Evi termasuk team inti sekolah kami. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama melenyapkan dahaga karena panasnya hari itu.
“Eh, aku kemarin baca puisimu di majalah HAI yang baru”
“O, iya”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata Joko kau sering nulis puisi di majalah-majalah”.
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Joko. Lalu kau percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi bener kan?”
“Hmmmm..., kalau bener, lantas kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Gimana sih caranya bikin puisi? Ajarin Evi dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajarin juga bisa”
“Untuk sukses mesti diajarin dulu sama yang udah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya mudah sekali” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Evi mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepasin dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E.... iya… iya begini, ya. Pokok utama Evi mesti pilih mau nulis apa. Mau nulis tentang anjing kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Nulis pohon, rumah, bintang dan nulis apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Evi pada saat Evi mau menulisnya” kataku sambil meminum cendolku.
“Lalu?” Evi tak sabar.
“Kalau udah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Diam dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru” Evi tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen ditasku. Setelah itu baru aku menulis ;

……Siang hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas es cendol ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-

Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..

“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Evi sudah menyemprot.
“Aa…..ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho,kan sekedar contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau Evi merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Evi jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Evi memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan. Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar es pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di samping sekolah Evi bilang:
“Nanti mau nggak buatin puisi untuk Evi?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatin puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Evi, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis muka Evi merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Evi nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan Evi bilang cinta. Hmmm, enak aja” Evi mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Evi sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda” aku menangkap lengannya.
“Habis kamu jahat sih”
“Iya deh. Aku sayang sama Evi” kembali aku menggoda. Evi diam saja. Seperti orang bisu. Akhirnya kami sampai di ruang tamu sekolah lagi. Evi duduk di tempat semula. Akupun juga. Kami berdua sama-sama membisu.
“Evi marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Evi tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Evi tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Evi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak” dia menggelengkan kepalanya.
“Bener…..”
“Bener, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau Evi benar-benar pingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari dulu aku buat, khusus untuk Evi” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran folio. Kertas itu sudah lama menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau Evi itu suka koleksi puisi-puisi” Evi menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih temanku yang baik. Kau terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kau Vi” Evi menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya besok akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Evi seneng deh kalau kau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Dan sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam tas yang dipegangnya. Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa bel tanda bubar di sekolah kami berbunyi dan bersamaan dengan itu sebuah Corola warna merah jingga berhenti di halaman depan. Evi bangkit.
“Yuk pulang, kamu ikut?”
“Nanti deh lain waktu saja, aku kan mau urus basket ini dulu”
“Oke deh! Evi duluan ya, nanti datang lho! Jangan sampai nggak” aku mengangguk. Evi tersenyum manis sekali, sambil menuju ke mobil. Di dalam mobil ia melambaikan tangannya. Akupun membalasnya.
“Daaagg…..daaag”
“Daaaagg…..daaaag!!!”
Akhirnya deru mobil itupun meninggalkan halaman sekolah. Hanya terlihat debu berterbangan ditiup angin. Aku merasa bahagia sekali pada hari itu walaupun panasnya bukan main. Setelah kutemui Hendra, aku pergi bersamanya meninggalkan sekolah dan juga meninggalkan kenangan yang indah itu.

...........Selamat tinggal kenangan
kau muncul sekejap
membuat kuingat setiap saat
yang kini hasilnya menghasilkan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya

Aku katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………

Jakarta, 15 Juli 1979
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Anak-anak STM Pembangunan Jakarta terutama kelas III BG2)
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.

Jumat, 21 Desember 2007

G E M P A

Di kota semarak yang hijau, indah dan damai, aku melaksanakan tugas bekerjaku diluar kota yang kesekian-kalinya. Tanpa terasa sudah tujuh bulan aku berada di sini. Sejak aku mulai menginjakkan kakiku di kota Bengkulu itu, pada akhir bulan Nopember 2000 sudah berkesan sekali. Dan tidak sesuai dengan bayanganku sebelumnya. Aku telah mengenal kota Bengkulu dari berita-berita surat kabar di Jakarta. Kota tersebut telah porak-poranda akibat gempa tektonik yang terjadi pada tanggal 04 Juni 2000 yang lalu. Tetapi ternyata tidak terlalu seperti yang digambarkan oleh berita-berita itu. Walaupun memang banyak bangunan-bangunan yang rusak akibat gempa tersebut. Dan tidak sedikit korban-korban yang menderita karenanya. Tak ada yang dapat mengelak terjadinya peristiwa itu.
Ketika aku mulai melaksanakan tugasku di kota itu, pernah terbayang dalam benakku seperti apa sebenarnya kejadian gempa yang dahsyat itu ?!
Dan ternyata akupun benar-benar mengalaminya, yaitu pada tanggal 16 Januari 2001 malam hari tepatnya jam delapan lewat tiga puluh menit telah terjadi gempa yang terus menerus sebanyak delapan kali dengan kekuatan enam koma lima scala richter. Dan dengan durasi yang agak panjang. Ada yang lebih dari satu menit, tidak seperti yang pernah aku alami sebelumya. Pada saat kejadian kulihat tetangga-tetangga disekitarku lari berhamburan keluar rumah. Sementara pada gempa yang pertama aku hanya terpana dan belum beranjak dari tempat tinggalku. Ketika sadar aku langsung lari keluar sambil berdoa. Getarannya sangat luar biasa dan aku benar-benar telah mengalaminya bukan bermimpi. Sehingga aku sempat terkejut dan rasanya tidak dapat kulukiskan. Kata orang-orang disini rasanya seperti dunia akan kiamat. Pengalaman pertamaku yang sungguh luar biasa. Subhannallah !
Peristiwa tersebut membuat warga kota Bengkulu dan sekitarnya menjadi trauma. Itu terlihat dari banyaknya orang-orang yang tidak mau masuk kedalam rumahnya masing-masing sebelum keadaan sudah benar-benar aman. Mereka membuka tenda di luar rumah atau lapangan. Gempa tersebut baru mulai menghilang setelah jam dua belas malam lewat tiga puluh menit, bersamaan dengan turunnya hujan lebat pada waktu itu.
Tanpa sadar akupun telah melupakan semua kejadian yang mengerikan itu dan terus bekerja melaksanakan tugasku sambil berdoa semoga kita semua selalu dilindungi oleh Allah SWT. Amin !
Pada saat senggang setiap seminggu sekali aku suka berjalan-jalan ke Pusat keramaian di Kota Bengkulu. Kadang pergi ke Pasar Minggu, Pusat Pertokoan di jalan Suprapto, Pasar Panorama, Baru Koto, Lapangan Tugu, dan ke Danau Dendam Tak Sudah. Atau aku pernah melihat-lihat museum rumah tempat kediaman mantan Presiden RI Pertama, almarhum Bung Karno selama masa pengasingan serta tak lupa pula aku mampir ke meseum rumah kediaman mantan Ibu Negara, almarhumah Ibu Fatmawati. Dan yang lebih menarik lagi, aku pernah menyaksikan Festival Tabot 2001, yaitu suatu acara festival kesenian dan kebudayaan khas Bengkulu yang selalu diadakan setahun sekali tepatnya setiap tanggal satu sampai dengan sepuluh Muharam. Dan acara tersebut selalu dipusatkan di Lapangan Tugu, dekat Gedung Daerah. Kebetulan acara Festival Tabot 2001 kali ini menurut orang-orang di Bengkulu merupakan acara yang paling meriah dari festival-festival sebelumnya. Karena pada acara Festival Tabot 2001 itu dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Ibu Megawati Sukarno Putri. Aku sangat berkesan sekali melihat acara festival itu. Disamping baru pertama kali menyaksikannya, juga aku menganggap acara khas kota ini merupakan suatu kebanggaan masyarakat Bengkulu khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Maka aku pikir sudah selayaknya acara Festival Tabot tersebut yang merupakan aset kesenian dan kebudayaan bangsa Indonesia itu perlu dilestarikan, dibudayakan, dan diperkenalkan kepada dunia. Sehingga Propinsi Bengkulu tidak hanya terkenal karena gempa-nya saja, tapi juga terkenal karena kesenian dan kebudayaannya yang sangat khas.
Aku juga pernah melihat-lihat lokasi tempat bunga Rafflesia di Cagar Alam Taba Penanjung. Namun sayang hingga saat ini aku belum pernah melihat bunga itu mekar. Padahal biasanya menurut orang-orang di sini bunga Rafflesia tersebut selalu ada yang mekar setiap pertengahan tahun. Aku berharap mudah-mudahan masih dapat menyaksikan indahnya puspa langka mekar, bunga kebanggaan Propinsi Bengkulu itu sebelum aku pulang.
Dan pernah ketika musim buah durian pada bulan Pebruari/Maret 2001 aku pergi rekreasi bersama rekan-rekan sekerja, sambil membeli durian ke daerah Bengkulu Utara, atau Taba Penanjung, Kepahyang dan Curup serta ke Bengkulu Selatan, Manna dan Bintuhan. Semuanya sangat menyenangkan dan aku sungguh telah menikmatinya. Sehingga dapat menghilangkan rasa jenuhku selama ini. Dan juga telah melupakan kejadian gempa yang dahsyat itu.
Namun pada awal bulan Pebruari 2001, ketika itu aku sedang berjalan-jalan di dalam Pertokoan Barata jalan KZ. Abidin, aku dikejutkan oleh benturan yang lumayan keras menimpa diriku. Kupikir ada gempa lagi disini, karena memang aku juga agak sedikit trauma dengan gempa. Setelah sadar terrnyata yang terjadi bukanlah gempa. Tetapi seorang gadis telah menabrakku dengan tidak sengaja sehingga kami berdua terjatuh di lantai. Kulihat dia meringis kesakitan dalam jatuhnya sambil memegangi kakinya yang sebelah kanan. Sementara aku tidak merasakan sakit apapun pada tubuhku. Aku tidak mengerti kenapa tabrakan itu bisa terjadi. Yang jelas memang pada waktu itu aku sedang berjalan sambil melihat-lihat pakaian yang dipajang di dalam pertokoan. Dan konsentrasiku saat itu tidak tertuju pada gadis yang sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Aku pikir gadis itupun pasti tidak melihatku. Sehingga peristiwa itu terjadi dan tak terelakkan lagi. Setelah terjatuh aku langsung berdiri dan menghampiri gadis itu.
“Oh, maafkan aku, dik !”, kataku tanpa sadar sambil memegangi kedua lengannya berusaha membantu dia untuk bangun dari jatuhnya. “Apa ada yang sakit atau terluka ?” tanyaku kemudian.
“Nggak apa-apa koq, mas ! saya yang salah, jalannya tidak hati-hati”, jawabnya masih mengusap-usap kakinya. Tak lama kemudian petugas Satpampun datang dengan membawa kotak P3K dan langsung merawat gadis itu. Aku juga ikut membantunya.
Kemudian setelah gadis itu sudah agak sembuh dan mulai bisa berjalan kembali walau sedikit agak pincang ketika berjalan, aku masih tetap menemaninya. Lama kami berdua saling berbincang, seperti sudah saling mengenal sebelumnya. Sehingga kami berduapun saling berkenalan.
“O, iya nama saya Edy !”, kataku memperkenalkan diri sambil menyodorkan tanganku. Lalu dia menyambutnya dengan tersenyum.
“Saya Putri !”, jawabnya pendek sambil menyalamiku.
Putri ?! Wah ! Nama yang tidak asing lagi bagiku ! Tetapi aku tak ingat Putri yang mana yang kumaksud. Aku merenung sejenak, mencoba mengingat-ingatnya. Tak lama kemudian aku sadar bahwa namanya sama persis seperti nama pemain utama sinetron Harga Diri di televisi swasta yang selama ini aku ikuti. Sejak aku bertugas di Bengkulu ini aku jadi gemar menonton televisi khususnya acara sinetron. Karena memang cuma itu hiburan satu-satunya yang dapat aku nikmati pada malam hari sebelum beristirahat tidur. Padahal kalau di Jakarta, belum pernah aku mengikutinya sampai tuntas semua acara-acara televisi. Kecuali Siaran Berita, Siaran Langsung Pertandingan Sepak Bola, Tinju, Balap Mobil Formula 1 atau Motor Grand Prix dan Siaran Olahraga lainnya, serta Film Lepas Barat yang bagus tentunya.
“Kalau Mas Edy tinggal dimana ?”, tanyanya membuat kuterusik dari lamunanku.
“Oh, di Jalan Kapuas 4/52 Lingkar Barat ! Kalau kamu dimana?”, aku balik bertanya.
“Di Jalan Sudirman II Pintu Batu No. 15 !”
“Di daerah mana ?”
“Disitu, nggak jauh koq dari sini !”
“Kalau begitu, boleh aku mengantarmu sekarang”
“Tentu saja boleh, ayo !”
Akhirnya akupun langsung mengantar Putri kerumahnya. Lega rasanya hati ini setelah tadinya aku pikir justru dia akan marah dan tidak senang denganku atas kejadian itu. Aneh !
Kejadian tersebut sepertinya biasa-biasa saja, tetapi menurutku tidak demikian. Aku telah mencoba berpikir keras tentang peristiwa yang telah terjadi pada diriku. Tanpa sengaja aku bisa bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis manis periang, berperangai ceria dan lembut. Aku ingat tangannya terasa lembut namun sedikit dingin seperti es, ketika aku menyalaminya. Kelihatannya ia begitu gembira menyambutku. Sering kudengar suara tawanya yang lepas saat bersenda gurau. Dan kulihat seperti ada sesuatu yang tersembunyi di bola matanya yang indah pada saat pertama kali bertemu. Kemudian waktupun tetap berlalu dan dunia tetap berputar seperti biasanya…………
Setelah kejadian itu, akhirnya kamipun sering bertemu dan saling bersahabat. Peristiwa tersebut rasanya takkan mungkin dapat kulupakan. Sejak pertama kali bertemu pada awal bulan Pebruari 2001 lalu sampai dengan saat ini, kurasakan sangat berkesan. Sangat menyenangkan hatiku. Belum pernah aku mengalami peristiwa aneh seperti itu. Sungguh sangat menarik ! Rasanya bagaikan menemukan sebuah batu permata yang sangat besar dan perlu pemikiran khusus untuk memecahkannya. Mungkinkah ini sudah menjadi takdirku ?!
Pada suatu hari aku pernah mengunjungi rumah Putri. Sebelumnya aku berjanji dahulu melalui telepon untuk datang kerumahnya setelah pulang kerja. Namun ketika aku sudah tiba di depan rumahnya, kulihat keadaan rumah tersebut tidak seperti biasanya. Sepi !
“Assalamu’alaikum….”, aku mengetuk pintu rumahnya yang berwarna hijau cerah.
“Waalaikumsalam….”, terdengar jawaban suara seorang pemuda dari dalam rumah yang kemudian membukakan pintu buatku.
“Putri ada, dik?”, tanyaku
“Oom siapa ya?”, katanya tanpa menjawab dulu pertanyaanku.
“O,iya perkenalkan saya Edy! Adik siapa?”
“Saya Arief, Oom! Adiknya Putri. Mari silahkan masuk!”
“Terima kasih! Saya mau bertemu sama Putri, ada?”, kataku hanya berdiri di depan pintu.
“Oh…Mbak, belum pulang Oom”, jawabnya.
“Kalau begitu tolong sampaikan saja bahwa saya sudah datang dan mungkin nanti saya akan meneleponnya, terima kasih !”, kataku langsung melangkahkan kakiku.
Aku pulang dengan perasaan gelisah dan tidak berusaha untuk mencari di tempat kerjanya. Karena kupikir sebelumnya dia sudah mengiakan untuk bertemu di rumahnya. Jam tujuh lewat tiga puluh malam aku meneleponnya, tapi tidak ada jawaban. Dan kuulangi sampai beberapa kali hingga jam sepuluh lewat, namun tetap tidak ada di tempat. Perasaanku menjadi resah dan matakupun tidak dapat dipejamkan. Aku tiada berdaya.
“Permainan telah dimulai”, gumamku.
Namun keesokan harinya aku telah berhasil menguasai diriku kembali. Tidak terpengaruh oleh kejadian kemarin, sehingga aku tetap dapat melaksanakan tugas-tugasku dengan baik. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dengan diriku.
Beberapa hari kemudian Putri menemuiku dan minta maaf atas kesalahannya karena tidak memberitahuku kalau ia ada keperluan yang mendadak waktu itu. Aku langsung memaafkannya dan tak mau membahasnya lebih panjang lagi. Karena bagiku yang penting dapat bertemu dengannya. Itu saja cukup. Lalu kamipun terlibat dalam perbincangan yang sedikit serius. Memang setiap berjumpa aku selalu mendiskusikan tentang apa saja. Kadang dia mengeluarkan uneg-uneg dan aku dengan senang hati langsung membahasnya santai tapi serius. Kulihat Putri sangat menyukainya. Karena setiap terjadi dialog dia selalu bersemangat, berharap mendapatkan solusi dari hasil pembicaraan itu. Lalu tanpa sadar ia telah mulai membicarakan problem dirinya sendiri. Akupun jadi tambah respek, sehingga akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Sudah dua tahun, mas ! Putri nggak pernah punya sahabat laki-laki !”
“Jadi sekarang aku ini orang pertama ?” Dia mengangguk lemah. Akupun terharu mendengarnya. Bagaimana tidak ! Karena ternyata kekasihnya telah menghianati cintanya dan pergi dengan wanita lain yang ternyata wanita itu adalah sahabat dekatnya sendiri. Kurang ajar !
Kejadian-kejadian tentang kedukaan, kesedihan, keharuan, kegembiraan dan kebingungannya, yang kuterima selama ini akan aku simpan baik-baik dalam file-ku, karena semua itu bagiku sangatlah bermanfaat. Aku telah berpikir keras mencari solusi tentang masalah Putri. Sangat sulit memang, tapi aku yakin pasti dapat dipecahkan. Bukankah semua itu akan bisa karena biasa ?
Semuanya berjalan dengan cepat dan aku baru sadar akan semua ini. Karena tidak dinyana kenapa bisa terjadi pada diriku. Belum pernah terpikirkan olehku untuk menginginkannya setelah pertemuan itu. Namun entah kenapa diriku ini. Setiap melihat dia atau mendengar suaranya selalu merasakan gempa dalam jantungku. Apalagi bila dia menatapku. Mungkinkah ini terjadi karena gempa dahsyat yang telah kualami ?
Berkali-kali kucoba berusaha untuk menutup pintu hatiku ini. Tapi bila kembali bertemu atau mendengar suaranya lagi perasaan itupun selalu menghantuai dan mengejar diriku. Sampai-sampai aku nyaris gagal menahan emosiku dan berupaya keras untuk meredam semua gejolak jiwa ini. Gila !
Pernah pada suatu hari libur sekitar pertengahan bulan April 2001, aku pergi ke Pantai Panjang bersama Putri. Berjalan santai berdua di pesisir pantai yang agak ramai waktu itu. Lalu akhirnya duduk ditepi pada batang pohon yang telah usang. Melihat ombak yang selalu menderu. Mengamati anak-anak kecil yang sedang mandi dan bermain di pantai. Tetapi setelah itu aku benar-benar benci dengan diriku sendiri. Karena ketika itu aku hanya diam saja dan membisu serta tak dapat bicara di depan Putri. Sudah terlambat !
Selama dekat dengannya belum pernah aku membicarakan masalahku. Namun ketika aku tahu kalau Putri sangat menyukai puisi. Aku langsung menulisnya sekaligus menuangkan perasaanku. Hampir setiap hari aku menyempatkan diri menggoreskan penaku membuat kata-kata indah untuknya. Secara bertahap kulihat adanya perubahan pada dirinya setelah membaca puisi-puisiku itu. Dan kalau tidak salah sudah empat puluh puisi yang telah kuberikan padanya. Luar biasa ! Hebat !
Tiba pada waktunya Putripun mengetahui tentang diriku. Lalu ia langsung memberi pernyataan kepadaku.
“Mas, Putri ingin kita hanya bersahabat saja, anggap saja aku adikmu dan tentunya mas, kakakku. Oke!”
Katanya dengan tegas, ketika menjelaskan tentang perasaanku itu di rumahnya. Aku hanya mengangguk tenang, padahal aku sendiri sangat heran dengan pernyataan itu. Karena aku belum pernah mengatakan secara khusus bahwa aku telah mencintainya. Aneh !
“Biarlah hubungan kita ini sebatas sahabat yang dapat saling berbagi suka dan duka. Bukankah demikian, mas ?” Begitu pula katanya dalam surat yang telah aku terima pada akhir bulan April 2001.
“Kalau memang itu yang kamu rasakan selama ini, aku pikir kamu nggak perlu khawatir, dik! Karena bila ternyata aku ini mencintaimu bukan berarti aku harus memilikimu!” Kataku tegas mengomentari pernyataannya itu. Entah, aku tidak mengerti kenapa begitu lancar mengucapkannya. Dan ternyata itu membuat Putri terharu.
Tetapi aku tidak mau memperdebatkan masalah tersebut, karena disamping aku masih bingung dengan diriku sendiri, juga aku telah berjanji untuk membantu keadaannya yang sebenarnya sangat memprihatinkan, sehingga dengan tenang aku berusaha melaksanakan terapi bagi dirinya.
Sebenarnya secara tidak langsung terapi tersebut sudah aku lakukan sejak pertama kali aku mengenalnya. Yaitu aku mulai mengalihkan perasaan trauma yang selalu membayangi Putri sebelumnya, dengan menguasai dirinya dan melindunginya. Seolah-olah aku telah masuk kedalam jiwanya. Mengisi kepribadian yang suci, dengan kejujuran, kebenaran, dan tujuan hidup. Dan ternyata secara tidak langsung pula terapi itu direspon dengan baik oleh Putri, sehingga kuanggap sudah sesuai harapanku.
Dari hari ke hari aku selalu mengamati proses perubahan-perubahan yang terjadi. Air mukanya yang cerah dalam minggu ini telah menghapus semua kekhawatiranku. Ternyata kamu telah benar-benar berubah. Alhamdulillah !
“Mas, aku tadi habis potong rambut ! Nggak apa-apa kan? Cantik koq, mas!”, katanya ketika aku menelepon ke rumahnya. Aku telah menikmati rasa kegembiraannya yang bukan semu lagi.
Justru perubahan inilah sesungguhnya yang menyebabkan aku nyaris tidak dapat menahan diri. Gempa yang terjadi pada diriku semakin menjadi-jadi, seakan tidak pernah mau berhenti. Apalagi bila mengingat kata-katanya yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku.
“Mas, kenapa kita baru bertemu sekarang ya ?”
Katanya dengan perasaan haru setelah dia mengetahui diriku yang sebenarnya. Serasa terbang kumendengarnya. Dan waktu itu aku hanya menggelengkan kepala sambil mengangkat kedua bahuku. Tetapi kemudian dengan besar hati aku mengomentari pertanyaan Putri.
“Biarkanlah semua itu, dik ! Mungkin sudah Takdir ! Dan kita nggak boleh memaksakan kehendak ! Berdoalah agar kita selalu dilindungi oleh Allah SWT”.
Lalu kulihat Putri hanya menunduk diam setelah itu.
Akhirnya perasaanku kini baru mulai reda setelah aku mendengar bisikan lembut dalam mimpiku yang menurutku sangatlah kejam tapi secara logika amat bijaksana. Emosi tidak boleh menguasai diriku. Aku harus berusaha mengantisipasi semuanya. Agar tidak merasa selalu dikejar-kejar, dihantui, dan diganggu terus menerus. Aku tidak boleh membencinya, merasa kecewa, kesal dan sakit hati karenanya. Secara perlahan-lahan harus menjauhinya, memberi kesempatan pada yang lain. Aku harus merasa trauma bila kerumahnya, atau trauma bila menghubunginya lewat telepon, apalagi menemuinya langsung. Dan Putri tidak boleh mengetahui tentang ini. Mampuslah aku !
Kemudian setelah melalui pertimbangan yang matang aku memutuskan untuk mencoba melaksanakan puasa selama satu minggu. Aku berusaha untuk melupakannya untuk selama-lamanya. Ternyata cukup berhasil !
Pada akhir bulan Mei 2001, aku memutuskan untuk kembali melaksanakan terapi, namun kali ini untuk diriku sendiri. Awalnya kumulai dengan mengingat-ingat beberapa kejadian ketika bersama Putri. Lalu secara perlahan aku berusaha untuk menyadarkan diriku dari perasaan-perasaan yang tidak logika. Sejak saat itu aku selalu menjaga jarak dengan Putri. Sehingga akhirnya rasa gempa dalam jiwakupun mulai menghilang. Semuanya hanya akan menjadi kenangan yang indah dan menakjubkan. Lahaulawalakuwataillabillah !
Setelah semuanya aku jalani dengan apa adanya. Ternyata mempunyai kenikmatan tersendiri. Dan aku telah mendapatkan semuanya itu di kota ini. Dari terjadinya gempa yang mendatangkan kesengsaraan hingga gempa yang membuatku menjadi bahagia karena bisa saling berbagi suka dan duka terhadap sesamanya. Ternyata dengan terjalinnya persahabatan tersebut aku dapat melaksanakan tugas-tugasku dengan baik. Sekaligus aku dapat melupakan kejadian gempa yang benar-benar dahsyat dan mengerikan itu.
Kini aku mulai mengerti semua hikmah yang aku alami. Bila semua ini karena takdir, dan kenapa terjadi pada diri kita ? Jawabannya adalah karena Allah SWT sangat sayang kepada kita. Sudah dapat dipastikan bahwa semua kejadian di dalam kehidupan ini selalu ada hikmahnya. Dan kita harus selalu ingat bahwa sesungguhnya kita tidak dapat mengelak apa yang akan terjadi pada diri kita. Maka alangkah baiknya kita nikmati saja semuanya itu. Karena dengan begitu dapat memberikan keyakinan bahwa Allah SWT selalu melindungi kita. Hanya kepada Tuhanlah kita memohon dan mengharap. Dan selama kita masih dapat memberikan pertolongan terhadap sesamanya dengan kemampuan yang ada tentunya , kita harus melaksanakan nya dengan tulus dan ikhlas.
Akhirnya aku telah mengikhlaskan semuanya dan perasaan gempa dalam jantungku saat ini benar-benar sudah tidak ada lagi. Kamipun berdua saling memaafkan. Putri juga sudah merasa plong hatinya. Walaupun merasa sedih hatinya karena sahabatnya akan segera meninggalkan dirinya.
Setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Tentunya kali ini perpisahan yang sangat indah. Karena akan selalu terkenang seumur hidupku. Akupun berdoa kepada Allah SWT agar kita tidak mengalami gempa yang lebih dahsyat lagi, dan semoga amal ibadah kita selalu diterima oleh Allah SWT. Serta melindungi perjalanan pulangku ke Jakarta untuk kembali menemui keluargaku yang sangat aku sayangi dan cintai disana. Amin !
Selamat tinggal Gempa ! Selamat tinggal Sahabatku !
Aku titip cinta untukmu
Bila telah tiba waktunya untuk berpisah
kita akan sadari semuanya
karena kita mempunyai sedikit perbedaan
biarkanlah cinta itu tetap ada selamanya ……….
membasuh seluruh duka nestapa
hingga air mata telah membasahi pipi
kutitip cinta dalam langkahmu ……………………………….

Bengkulu, 04 Juni 2001
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Yennie Agustien, Bengkulu)
Cerita ini sengaja dibuat dalam rangka memperingati satu tahun gempa di Bengkulu semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian dalam cerita ini hanya kebetulan saja.

PRASANGKA

Pusing! Pusing! Sudah dua hari ini, Yanti bikin penasaran. Kemarin siang waktu kujemput sekolah, wajahnya sudah distel macam Dewi Jepang lagi ngambek. Suram, nggak ada senyum sedikitpun! Semua pertanyaanku cuma dijawab dengan isyarat atau cuma dengan kata sepatah. Gombal!

************

Dan tadi siang waktu kujemput lagi, penasaran itupuin masih nongkrong juga dibenakku, malah makin seru. Aku jadi betul-betul bingung. Soalnya nggak merasa bikin dosa sih. Apalagi setelah melihat mama di rumah rasanya jadi tambah bingung sendiri. Bilang, jangan! Bilang, jangan! Mau bilang, tapi rasanya lidah jadi kelu. Waduh, gimana nih caranya buat ngomong?
Aku nggak mau kalau mama jadi sedih. Dan aku paling takut kalau mama sedih. Soalnya bisa-bisa mama jadi sakit. Apalagi mama punya penyakit jantung. Wah ini bisa berabe. Gimana aku nggak bingung terus? Bayangin aja!

************

Hari Rabu yang lalu, aku pergi sama Yanti ke Duta Merlin.
“Eh, bukankah itu papamu?” Yanti menyentuh lenganku. Ya, memang aku melihat papa keluar dari tempat parker sambil menggandeng mesra seorang cewek bertubuh semampai dengan rambut terurai sampai bahu. Mana cantik lagi. Gila!
“Siapa dia?” tanya Yanti lagi.
“Ooh, itu…… saudara sepupuku.”
Padahal aku juga lagi bingung mikir, siapa cewek yang digandeng papa itu. Sebab setahuku nggak ada saudara sepupuku yang punya model kayak begitu.
“Yuk, …..kita kesana,” Yanti menarik tanganku
“Lho, ngapain?”
“Aku mau kenal dengan sepupumu itu.”
“Ala, nggak usah ah! Kapan-kapan aja deh.”
“Aah, ayo dong sekarang aja,” Yanti mendesak.
“Jangan ah, kan jadi nggak enak nanti.”
“Kenapa jadi nggak enak? Itu kan papamu sendiri”
“Nggak ah, nanti aja. Besok kan bisa! Kalau sekarang nanti filmnya keburu main,” aku masih bertahan mencari alasan.
“Sebentar aja deh!”
“Nggak mau aha, yuk kita nonton!” aku tetap bertahan.
“Kau ini kenapa sih. Tumben-tumbenan. Biasanya aku minta apa aja, kau turuti. Sekarang mau ketemu papamu aja nggak mau. Kalau begini aku nggak jadi nonton ah. Aku mau ngambek aja deh.”
“Eh, eh…..kenapa jadi begitu. Kayak anak kecil aja. Ini kan di jalan, malu dong sama orang-orang.”
Dan celakanya. Yanti benar-benar ngambek, bagaimana aku nggak pusing melihat dia kecewa.
“Oke deh, yuk kita kesana.”
“Nggak usah!”
“Tadi kan ngajakin?”
“Nggak. Aku udah ngerti sekarang!”
“Ngerti?”
“Ya…..!”
Lalu ngambeknya itu masih berlangsung sampai sekarang. Ditambah lagi, aku kalau lihat papa, uh…..rasanya keqi separuh mampus!

************

Hari sudah hampir jam lima sore. Untung nggak ada pekerjaan apa-apa. Aku harus bicara sama Yanti. Nggak bisa begini terus menerus. Harus cepat-cepat diselesaikan. Kalau nggak aku bisa bengong dimalam minggu nanti. Selesai mandi dan rapi-rapi, kukebut motor ke rumahnya. Diteras samping Yanti lagi baca A Dream from the night nya Barbara Cartland
“Yanti……….”
“Oh?”
Ya ampun……. Itu tampang masih juga macam Dewi Jepang lagi ngambek.
“Aku mau ngomong sama kamu, boleh kan?”
“Hmmm…..”
“Kenapa sih, kamu koq beberapa hari ini jadi dingin, tak acuh sama aku?”
Yanti tak menjawab. Ia malah seperti tak mendengar. Diam.
“Kenapa?”
Buset! Masih diam juga nih cewek.
“Bilang dong, kalau ada yang salah. Jangan suka ngambek-ngambekan. Kita kan bukan anak kecil lagi. Nah, katakan…. Kenapa?”
“Aku nggak suka ngomong sama pembohong,” katanya mulai membuka suara.
“Pembohong?”
“Ya….!”
“Jadi…..jadi kau menuduhku tukang bohong?”
“Lho!”
“Lho!Lho!? Nggak usah pura-pura deh. Aku sudah tahu siapa gadis yang dibawa papamu kemarin dulu”
“Itu kan sepupuku,” jawabku tenang
“Bukan! Kau tahu pasti itu. Dasar laki-laki punya sifat buaya!”
Astaga…..gawat nih! Kalau Dewi Jepang sudah meradang berkeluarlah tabungan kata-kata mutiaranya.
“Baiklah. Kalau memang itu bukan sepupuku, buat apa kita ributkan urusan orang lain?” sahutku kalem saja. Ini memang sudah sifatku. Sabar, tenang saja meski apapun yang terjadi.
“Aaaapa…..?!!! Orang lain? Itu papamu! Dan jelas bukan orang lain, tolol!!!”
Mati aku! Aku segede gini ditolol-tololin sama gadis seperti ini. Wah! Ini baru kejutan namanya.
“Iya…..ya…..Kamu memang betul, tapi kenapa kau memusuhiku?”
Dan akhirnya bola matanya yang bening dari gadis yang galak itupun berkaca-kaca.
“Habis……Aku takut.”
“Takut? Takut apa?” aku jadi tambah bingung saja.
“Takut kalau kamu juga nantinya jadi begitu”
Ooo…..rupanya itu yang membebani pikirannya selama ini. Manisku, kamu memang betul-betul gadisku yang polos dan hijau. Aku bangkit dan duduk ditepi kursinya. Lembut kupegang bahunya. Kutarik dalam pelukanku. Buku yang dipegangnya jatuh….dan dia tersendu dalam dekapanku.
“Dengarkan baik-baik sayang! Memang betul beliau adalah papaku. Tapi itu tidak berarti bahwa aku juga harus seperti beliau kan? Aku tetap akan mencintaimu sampai kapanpun, bahkan sampai akhir hayatku”
“Juga kalau aku nanti sudah jadi nenek-nenek?” tanyanya masih dalam tangis.
“Iya…..aku sayang kamu sehidup semati”
“Betul?”
“Ya, Yantiku. Sayangku padamu tetap abadi. Ia akan kubawa mati”
“Betulkah itu?”
“Betul.”
“Sumpah?”
“Ya, sumpah.”
Secerah senyum yang manis kembali terlukis diwajah itu. Kukecup bibir itu lembut. Awan mendung telah sirna terbawa angin yang lewat sore itu. Dewi Jepang yang ngambek itupunkembali menjelma jadi simungilku yang manis, manja dan lembut.
Yantiku! Kau harus tahu bahwa aku ini laki-laki. Aku tahu tanggung jawabku pada keluargaku cukup besar. Kini aku sedang berpikir, jalan mana yang paling baik kutempuh. Sudahlah, kamu tak perlu ikut-ikutan akan hal ini, juga jangan kau pikirkan. Biar aku sendiri yang memecahkannya. Nanti aku akan bicara baik-baik sama papaku di rumah. Nah aku pulang dulu….. besok kau kujemput.-

Jakarta, 27 Agustus 1979
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Rahmayanti)
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.

L I A

Seperti biasanya setelah kupulang sekolah, aku main-main ke TIM (Taman Ismail Marzuki) membantu temanku membersihkan alat-alat lukisannya. Memang aku selalu membantunya. Apalagi dalam waktu dekat ini dia akan mengikuti pameran. Jadi ia tidak begitu repot bila aku membantunya. Lagi pula daripada iseng di rumah kan lebih baik cari pengalaman di luar. Siapa tahu aku bisa jadi seniman terkenal! Lumayan, asal jangan jadi senewen saja!
Sore itu ketika sedang asyik-asyiknya mengaduk cat tiba-tiba aku tertarik dengan seorang gadis, kira-kira baru berumur duapuluhan, bertubuh langsing agak pendek sedang duduk disudut dekat pintu masuk tempat latihan menari, sambil membaca majalah GADIS nya. Sejak tadi ia kulihat selalu memperhatikanku. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang.Wajahnya cukup cantik menurut penilaianku. Aku tersenyum memandangnya. Lalu iapun ikut tersenyum
“Ah! Suatu kesempatan yang baik,” kataku dalam hati. Perlahan-lahan kuhampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakin dekat. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah! Entahlah!
“Mengganggu nih! Boleh saya pinjam majalahnya?” kataku mulai bersandiwara.
“O, silahkan. Saya senang bila anda mau menemani saya” sahutnya lembut sambil menyodorkan majalahnya. Aku menerimanya dan langsung duduk disebelahnya.
“Oiya kenalan dulu saya Eko”, kataku menyodorkan tangan.
“Lia”, ia menyambutnya. Oh, begitu lembutnya! Ingin rasanya kupegang lebih lama lagi.
“Sedang menunggu yang menari ya?”, tanyaku sambil membuka halaman majalah tadi.
“Koq, tahu sih?”
“Ya tahu dong, biasanya bila ada yang duduk disini pasti deh, kalau nggak menjemput ya nungguin temannya”, kataku menjelaskan. Lia tersenyum. Manis sekali. Aku jadi gregetan melihatnya.
“Lho, Eko disini juga sedang nunggu dong?” tanyanya sambil tersenyum.
“Iya”
“Nungguin siapa?”
“Nungguin Lia kan!” sahutku. Lia tersenyum lagi. Sementara hatiku deg-degan nggak keruan.
“Ah, bisa saja Eko. O,iya Eko sekolah disini ya?” tanyanya kemudian.
“Nggak, Eko sekolah di Rawamangun” , sahutku
“Lalu, disini sedang latihan?”
“Ah, nggak juga, cuma bantuin teman saja koq”
“Wah rajin nih!” katanya memujiku. Aku Cuma tersenyum saja mendengarkannya.
“Lia tinggal dimana?” tanyaku setelah agak lama membisu.
“O, Lia tinggal di Grogol di jalan Tawakal Raya 15 !” sahutnya agak lemah.
“Jauh juga ya, boleh nggak Eko main-main ke rumah Lia?”
“Boleh. Kalau Eko tinggal dimana?” dia balik bertanya.
“Eko sih dekat dari sini”, kataku sambil menunjuk arah yang kumaksud, “Di jalan Cikini 87”
“Pantesan mainnya kesini, dekat sih”. Aku tertawa. Liapun ikut tertawa. Tak lama kamipun berdua sama-sama membisu. Aku membuka-buka majalah. Dan Lia membetulkan tasnya.
“O,iya Lia! Eko boleh nggak sih datang ke rumah Lia?”, tanyaku memecah kesunyian, “Soalnya nanti kalau Eko datang nggak diterima deh!”
“Akh, boleh koq! Pokoknya kalau Eko mau datang ke rumah, pasti deh Lia terima dengan senang hati, tapi jangan dihina ya, rumah Lia kecil…”
“Ya nggak dong”.
“O,iya sebelumnya Lia minta maaf ya Eko ya! Eko nggak usah deketin Lia deh, bukannya ngusir lho”.
“Lho! Memangnya kenapa?” tanyaku agak heran, “Sudah punya pacar ya? Jangan takut deh, Eko nggak bakal mengganggu deh!”
“Ah, bukan itu maksud Lia. Kalau pacar sih udah nggak punya lagi”.
“Habis kenapa?” tanyaku serius. Sementara hatiku masih saja deg-degan. Tetapi Lia diam saja tidak menjawab. Bersamaan dengan itu anak-anak yang belajar menari sejak siang tadi sudah mulai bubar.
“Wah, sudah bubaran tuh!” kata Lia sambil menunjuk anak-anak yang baru keluar, “Yuk, Lia pulang dulu ya!”
“Lho, nanti dulu dong! Kan Lia belum menjawab pertanyaan Eko tadi!” kataku penasaran.
“Sebenarnya begini……..”, belum sempat Lia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba datanglah seorang anak kecil perempuan yang mukanya mirip Lia, berlarian menuju Lia.
“Mah, mamah…..Yanti haus mah, minta minum dong mah?” katanya sambil memegang tangan Lia. Aku baru mengerti sekarang, apa yang Lia maksudkan tadi. Aku jadi lemas rasanya.
“Eh, Yanti. Kenalkan dulu sama Oom Eko” katanya sambil menyodorkan tangan anaknya. Mau nggak mau aku ikut menyambutnya. Setelah memberi minum Yanti, Lia bangkit dari duduknya dan pamit pulang. Aku mengantarnya sampai pintu gerbang TIM. Di depan pintu gerbang tersebut Lia berkata :
“Eko kamu jadi nggak ke rumahku?” Aku hanya mengangguk lemah. Lia menyetop taxi, merekapun naik ke mobil.
“Daag……..daag, Oom Eko, daag…..!!!” Kulihat Yanti melambaikan tangannya sebelum taxi itu menghilang dari mukaku. Liapun tersenyum. Aku membalasnya lemah. Hatiku yang tadinya deg-degan itu kini menjadi lemas. Oh, Lia ! Tak kusangka kau secantik itu sudah dikaruniai seorang anak.
Oh, Lia…..Oh, Lia. Hanya kata-kata itulah yang selalu kuingat, terkenang dihatiku sampai sekarang ini. Lia………


Jakarta, 27 Pebruari 1980
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Sahabatku dimana saja berada terutama di III BG2 - STM Pembangunan – Jakarta Timur)
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.