Seperti biasanya setelah kupulang sekolah, aku main-main ke TIM (Taman Ismail Marzuki) membantu temanku membersihkan alat-alat lukisannya. Memang aku selalu membantunya. Apalagi dalam waktu dekat ini dia akan mengikuti pameran. Jadi ia tidak begitu repot bila aku membantunya. Lagi pula daripada iseng di rumah kan lebih baik cari pengalaman di luar. Siapa tahu aku bisa jadi seniman terkenal! Lumayan, asal jangan jadi senewen saja!
Sore itu ketika sedang asyik-asyiknya mengaduk cat tiba-tiba aku tertarik dengan seorang gadis, kira-kira baru berumur duapuluhan, bertubuh langsing agak pendek sedang duduk disudut dekat pintu masuk tempat latihan menari, sambil membaca majalah GADIS nya. Sejak tadi ia kulihat selalu memperhatikanku. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang.Wajahnya cukup cantik menurut penilaianku. Aku tersenyum memandangnya. Lalu iapun ikut tersenyum
“Ah! Suatu kesempatan yang baik,” kataku dalam hati. Perlahan-lahan kuhampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakin dekat. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah! Entahlah!
“Mengganggu nih! Boleh saya pinjam majalahnya?” kataku mulai bersandiwara.
“O, silahkan. Saya senang bila anda mau menemani saya” sahutnya lembut sambil menyodorkan majalahnya. Aku menerimanya dan langsung duduk disebelahnya.
“Oiya kenalan dulu saya Eko”, kataku menyodorkan tangan.
“Lia”, ia menyambutnya. Oh, begitu lembutnya! Ingin rasanya kupegang lebih lama lagi.
“Sedang menunggu yang menari ya?”, tanyaku sambil membuka halaman majalah tadi.
“Koq, tahu sih?”
“Ya tahu dong, biasanya bila ada yang duduk disini pasti deh, kalau nggak menjemput ya nungguin temannya”, kataku menjelaskan. Lia tersenyum. Manis sekali. Aku jadi gregetan melihatnya.
“Lho, Eko disini juga sedang nunggu dong?” tanyanya sambil tersenyum.
“Iya”
“Nungguin siapa?”
“Nungguin Lia kan!” sahutku. Lia tersenyum lagi. Sementara hatiku deg-degan nggak keruan.
“Ah, bisa saja Eko. O,iya Eko sekolah disini ya?” tanyanya kemudian.
“Nggak, Eko sekolah di Rawamangun” , sahutku
“Lalu, disini sedang latihan?”
“Ah, nggak juga, cuma bantuin teman saja koq”
“Wah rajin nih!” katanya memujiku. Aku Cuma tersenyum saja mendengarkannya.
“Lia tinggal dimana?” tanyaku setelah agak lama membisu.
“O, Lia tinggal di Grogol di jalan Tawakal Raya 15 !” sahutnya agak lemah.
“Jauh juga ya, boleh nggak Eko main-main ke rumah Lia?”
“Boleh. Kalau Eko tinggal dimana?” dia balik bertanya.
“Eko sih dekat dari sini”, kataku sambil menunjuk arah yang kumaksud, “Di jalan Cikini 87”
“Pantesan mainnya kesini, dekat sih”. Aku tertawa. Liapun ikut tertawa. Tak lama kamipun berdua sama-sama membisu. Aku membuka-buka majalah. Dan Lia membetulkan tasnya.
“O,iya Lia! Eko boleh nggak sih datang ke rumah Lia?”, tanyaku memecah kesunyian, “Soalnya nanti kalau Eko datang nggak diterima deh!”
“Akh, boleh koq! Pokoknya kalau Eko mau datang ke rumah, pasti deh Lia terima dengan senang hati, tapi jangan dihina ya, rumah Lia kecil…”
“Ya nggak dong”.
“O,iya sebelumnya Lia minta maaf ya Eko ya! Eko nggak usah deketin Lia deh, bukannya ngusir lho”.
“Lho! Memangnya kenapa?” tanyaku agak heran, “Sudah punya pacar ya? Jangan takut deh, Eko nggak bakal mengganggu deh!”
“Ah, bukan itu maksud Lia. Kalau pacar sih udah nggak punya lagi”.
“Habis kenapa?” tanyaku serius. Sementara hatiku masih saja deg-degan. Tetapi Lia diam saja tidak menjawab. Bersamaan dengan itu anak-anak yang belajar menari sejak siang tadi sudah mulai bubar.
“Wah, sudah bubaran tuh!” kata Lia sambil menunjuk anak-anak yang baru keluar, “Yuk, Lia pulang dulu ya!”
“Lho, nanti dulu dong! Kan Lia belum menjawab pertanyaan Eko tadi!” kataku penasaran.
“Sebenarnya begini……..”, belum sempat Lia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba datanglah seorang anak kecil perempuan yang mukanya mirip Lia, berlarian menuju Lia.
“Mah, mamah…..Yanti haus mah, minta minum dong mah?” katanya sambil memegang tangan Lia. Aku baru mengerti sekarang, apa yang Lia maksudkan tadi. Aku jadi lemas rasanya.
“Eh, Yanti. Kenalkan dulu sama Oom Eko” katanya sambil menyodorkan tangan anaknya. Mau nggak mau aku ikut menyambutnya. Setelah memberi minum Yanti, Lia bangkit dari duduknya dan pamit pulang. Aku mengantarnya sampai pintu gerbang TIM. Di depan pintu gerbang tersebut Lia berkata :
“Eko kamu jadi nggak ke rumahku?” Aku hanya mengangguk lemah. Lia menyetop taxi, merekapun naik ke mobil.
“Daag……..daag, Oom Eko, daag…..!!!” Kulihat Yanti melambaikan tangannya sebelum taxi itu menghilang dari mukaku. Liapun tersenyum. Aku membalasnya lemah. Hatiku yang tadinya deg-degan itu kini menjadi lemas. Oh, Lia ! Tak kusangka kau secantik itu sudah dikaruniai seorang anak.
Oh, Lia…..Oh, Lia. Hanya kata-kata itulah yang selalu kuingat, terkenang dihatiku sampai sekarang ini. Lia………
Jakarta, 27 Pebruari 1980
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Sahabatku dimana saja berada terutama di III BG2 - STM Pembangunan – Jakarta Timur)
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.
Sore itu ketika sedang asyik-asyiknya mengaduk cat tiba-tiba aku tertarik dengan seorang gadis, kira-kira baru berumur duapuluhan, bertubuh langsing agak pendek sedang duduk disudut dekat pintu masuk tempat latihan menari, sambil membaca majalah GADIS nya. Sejak tadi ia kulihat selalu memperhatikanku. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang.Wajahnya cukup cantik menurut penilaianku. Aku tersenyum memandangnya. Lalu iapun ikut tersenyum
“Ah! Suatu kesempatan yang baik,” kataku dalam hati. Perlahan-lahan kuhampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakin dekat. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah! Entahlah!
“Mengganggu nih! Boleh saya pinjam majalahnya?” kataku mulai bersandiwara.
“O, silahkan. Saya senang bila anda mau menemani saya” sahutnya lembut sambil menyodorkan majalahnya. Aku menerimanya dan langsung duduk disebelahnya.
“Oiya kenalan dulu saya Eko”, kataku menyodorkan tangan.
“Lia”, ia menyambutnya. Oh, begitu lembutnya! Ingin rasanya kupegang lebih lama lagi.
“Sedang menunggu yang menari ya?”, tanyaku sambil membuka halaman majalah tadi.
“Koq, tahu sih?”
“Ya tahu dong, biasanya bila ada yang duduk disini pasti deh, kalau nggak menjemput ya nungguin temannya”, kataku menjelaskan. Lia tersenyum. Manis sekali. Aku jadi gregetan melihatnya.
“Lho, Eko disini juga sedang nunggu dong?” tanyanya sambil tersenyum.
“Iya”
“Nungguin siapa?”
“Nungguin Lia kan!” sahutku. Lia tersenyum lagi. Sementara hatiku deg-degan nggak keruan.
“Ah, bisa saja Eko. O,iya Eko sekolah disini ya?” tanyanya kemudian.
“Nggak, Eko sekolah di Rawamangun” , sahutku
“Lalu, disini sedang latihan?”
“Ah, nggak juga, cuma bantuin teman saja koq”
“Wah rajin nih!” katanya memujiku. Aku Cuma tersenyum saja mendengarkannya.
“Lia tinggal dimana?” tanyaku setelah agak lama membisu.
“O, Lia tinggal di Grogol di jalan Tawakal Raya 15 !” sahutnya agak lemah.
“Jauh juga ya, boleh nggak Eko main-main ke rumah Lia?”
“Boleh. Kalau Eko tinggal dimana?” dia balik bertanya.
“Eko sih dekat dari sini”, kataku sambil menunjuk arah yang kumaksud, “Di jalan Cikini 87”
“Pantesan mainnya kesini, dekat sih”. Aku tertawa. Liapun ikut tertawa. Tak lama kamipun berdua sama-sama membisu. Aku membuka-buka majalah. Dan Lia membetulkan tasnya.
“O,iya Lia! Eko boleh nggak sih datang ke rumah Lia?”, tanyaku memecah kesunyian, “Soalnya nanti kalau Eko datang nggak diterima deh!”
“Akh, boleh koq! Pokoknya kalau Eko mau datang ke rumah, pasti deh Lia terima dengan senang hati, tapi jangan dihina ya, rumah Lia kecil…”
“Ya nggak dong”.
“O,iya sebelumnya Lia minta maaf ya Eko ya! Eko nggak usah deketin Lia deh, bukannya ngusir lho”.
“Lho! Memangnya kenapa?” tanyaku agak heran, “Sudah punya pacar ya? Jangan takut deh, Eko nggak bakal mengganggu deh!”
“Ah, bukan itu maksud Lia. Kalau pacar sih udah nggak punya lagi”.
“Habis kenapa?” tanyaku serius. Sementara hatiku masih saja deg-degan. Tetapi Lia diam saja tidak menjawab. Bersamaan dengan itu anak-anak yang belajar menari sejak siang tadi sudah mulai bubar.
“Wah, sudah bubaran tuh!” kata Lia sambil menunjuk anak-anak yang baru keluar, “Yuk, Lia pulang dulu ya!”
“Lho, nanti dulu dong! Kan Lia belum menjawab pertanyaan Eko tadi!” kataku penasaran.
“Sebenarnya begini……..”, belum sempat Lia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba datanglah seorang anak kecil perempuan yang mukanya mirip Lia, berlarian menuju Lia.
“Mah, mamah…..Yanti haus mah, minta minum dong mah?” katanya sambil memegang tangan Lia. Aku baru mengerti sekarang, apa yang Lia maksudkan tadi. Aku jadi lemas rasanya.
“Eh, Yanti. Kenalkan dulu sama Oom Eko” katanya sambil menyodorkan tangan anaknya. Mau nggak mau aku ikut menyambutnya. Setelah memberi minum Yanti, Lia bangkit dari duduknya dan pamit pulang. Aku mengantarnya sampai pintu gerbang TIM. Di depan pintu gerbang tersebut Lia berkata :
“Eko kamu jadi nggak ke rumahku?” Aku hanya mengangguk lemah. Lia menyetop taxi, merekapun naik ke mobil.
“Daag……..daag, Oom Eko, daag…..!!!” Kulihat Yanti melambaikan tangannya sebelum taxi itu menghilang dari mukaku. Liapun tersenyum. Aku membalasnya lemah. Hatiku yang tadinya deg-degan itu kini menjadi lemas. Oh, Lia ! Tak kusangka kau secantik itu sudah dikaruniai seorang anak.
Oh, Lia…..Oh, Lia. Hanya kata-kata itulah yang selalu kuingat, terkenang dihatiku sampai sekarang ini. Lia………
Jakarta, 27 Pebruari 1980
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat : Sahabatku dimana saja berada terutama di III BG2 - STM Pembangunan – Jakarta Timur)
Semua kejadian dalam isi cerita ini hanya karangan belaka apabila ada kesamaan dengan kejadian pembaca, itu hanya kebetulan saja.
2 komentar:
ed, tks ys kasih kenang 2 an cerpen untuk kita anak stm pembangunan bg 2.
Wah.....ini ceritanya si Eko Sujono anak Cikini. Dulu kita pernah nongkrong N belajar bersama di rumahnya di sebelah SMPN 1 Cikini Raya. Ingat nggak ?!
Posting Komentar