Puisi : Edy Priyatna
Hujan belum mau jatuh ke bumi
ketika aku melangkahkan kaki kecil
meski kabut senja membuat samar mata memandang
jauh di depan masih ada seberkas sinar
namun keyakinan masih diserang keraguan kalbu
Bias pada lendir kelemayar memberi petunjuk
jalan berliku kian sarat kelelahan
mengikis habis sedikit demi sedikit
setubuh daya raga memberi pilihan
patah atau semangat yang hinggap
dalam hati yang selalu ada keluh
mengganggu benak untuk berperang
setelah habis mengasah pikiran
jejak-jejak dapat tertapak
meninggalkan rasa sia-sia
Cerah pada langit mulai bergerak
menandai lubang-lubang hitam
kendati angin badai membelai jiwa putih
menghempas memperpanjang waktu
untuk tiba disudut ruang baru
mengabadikan air kesedihan
dan gelas kegembiraan
pada dinding yang melukiskan angan
tempat membuat cinta dan cita
untuk dipersembahkan Sang Pencipta
dengan harap terhingga pada kelemahan hati
Cahaya itu akan datang
disetiap tarikan hembusan nafas
disetiap detak-detak jantung
akhir sebuah keyakinan kiranya takkan sia-sia
(Pondok Petir, 03 Nopember 2011)
Kamis, 03 November 2011
BUKU SURAT CINTA KOMPASIANER
Hari ini aku mendapatkan sebuah paket dari Yogyakarta. Sebelum aku membuka paket itu aku langsung menebak kalau isi paket itu adalah sebuah buku. Aku jadi ingat dua bulan yang lalu tepatnya tanggal 13-14 Agustus 2011, ada sebuah event fiksi yang unik yang diselenggarakan oleh group facebook MPK (Malam Prosa Kolaborasi) yang saat ini namanya berubah menjadi Fiksiana Community, yaitu Fiksi Surat Cinta (FSC).
Event ini baru pertama kali diadakan di Kompasiana, karena sudah beberapa kali event-event fiksi diadakan seperti FFK (Festival Fiksi Kolaborasi) sebuah event penulisan secara kolaborasi tentang prosa, cerpen dan puisi, kemudian MPK (Malam Prosa Kolaborasi) yang isinya hampir sama. FSC justru lain dari pada yang lain, yakni membuat tulisan berupa surat cinta yang ditujukan untuk orang yang dicintai. Untuk pasangan imajinasi atau maya, maupun untuk pasangan sungguhan. Disamping itu juga boleh buat Ibu, Ayah, Kakak dan Adik serta siapapun itu atau bahkan bagi orang yang sudah tiada. Tentunya fiksi surat cinta ini harus berbentuk prosa maupun puisi atau perpaduan keduanya. Oleh karenanya aku sangat tertarik dengan event ini dan langsung mendukung sekali FSC dilaksanakan pada waktu itu.
Setelah kubuka isi paket itu ternyata memang benar adalah sebuah buku Antologi Karya, ‘Fiksi Surat Cinta’, oleh Kompasianer Peserta FSC, Agustus 2011. Buku tersebut diterbitkan oleh : Penerbit Shofia masih untuk kalangan sendiri. Banyak surat cinta yang menarik terdapat didalam buku itu. Terselenggaranya penerbitan buku ini bermula dari usulan para peserta termasuk aku sendiri dengan alasan bahwa MPK bisa kenapa FSC tidak? Sebelumnya MPK berhasil membukukan hasil karya event tersebut. Namun dari hasil event FSC yang sebenarnya telah menghasilkan lebih kurang 300 surat cinta dengan sekitar 258 peserta kompasianer yang tersebar di penjuru dunia, hanya 50 karya yang baru dibukukan. Mudah-mudahan akan ada buku FSC selanjutnya.
Dalam buku ‘Fiksi Surat Cinta’ ada salah satu karya kompasianer yang berhasil menjadi satu-satunya HL pada event tersebut yaitu surat cinta : ‘Sayang, Surat Ini Tak Mungkin Sampai Padamu’ (halaman 114 s/d 118), buah karya Miss Rochma, yang menggambarkan sebuah surat cinta dari seorang suami buat istrinya yang sangat romantis.
Buku yang berisi sebanyak 176 halaman dengan 50 karya, antara lain terdapat surat cinta ‘Suratku, Tragedi 1998, 13 Tahun Silam…’ (halaman pertama) oleh Langit, ‘Surat Cinta Kepada Ma Jingga’ (halaman 40) oleh Bowo bagus, ‘Dear My Airen’ (halaman 97) oleh Moussycha, ‘Untuk Gadis Berpesona Purnama’ (halaman 101) oleh Granito Ibrahim, ‘Tak Berhenti Mencintaimu’ (halaman 125) oleh Selsa, dan ‘Untuk Belahan Jiwaku’ (halaman 146) oleh Nenny Silvana dsb. Surat-surat cinta tersebut sangat asyik untuk dibaca.
Kemudian ‘Aku Selalu Rindu’ (halaman 83 s/d 87) adalah karyaku sendiri dengan tampilan yang agak berbeda dari yang lainnya (pada postingan kompasiana), merupakan perpaduan antara prosa dan puisi yang lumayan menariknya.
Buku ‘Fiksi Surat Cinta’ disusun secara apik dan menarik oleh : Mbak Langit, sebagai Koordinator Tim, Mbak Dyah Restiyani sebagai Penata Letak, Granito Ibrahim sebagai Desain Sampul. Ketika buku ini dikirim ke masing-masing kompasianer yang memesan, Fiksiana Community baru saja melakasanakan event Festival Puisi Kolaborasi (FPK) yang telah diikuti oleh lebih kurang 252 peserta. Dari event-event yang telah dilaksanakan terlihat selalu ada peningkatan. Dengan telah terbitnya buku FSC tersebut diharapkan akan selalu ada lagi event-event fiksi lainnya dan tentunya akan lebih menarik lagi sehingga Fiksiana Kompasiana akan selalu ramai dengan karya-karya yang gemilang. Semangat berkarya. Salam Fiksiana.-
(Pondok Petir, 02 Nopember 2011)
DIPERKOSA PUISI
Puisi : Edy Priyatna
Sosok seksi bertubuh padat
penuh coretan hitam
terurai panjang menggemaskan
tergambar jelas dilembar daun kuning nan kering
terlihat membentang merangsang
tiada terbalut sehelai benang
tampak buah yang ranum menantang telanjang
meronta-ronta mengelak menggelinjang
ketika kelopak keriput dibelai puisi
lalu tangan-tangan menyusuri kembang
bunga di taman merekah disiram
tanpa perduli pena tajam mengancam
(Pondok Petir, 02 Nopember 2011)
Sosok seksi bertubuh padat
penuh coretan hitam
terurai panjang menggemaskan
tergambar jelas dilembar daun kuning nan kering
terlihat membentang merangsang
tiada terbalut sehelai benang
tampak buah yang ranum menantang telanjang
meronta-ronta mengelak menggelinjang
ketika kelopak keriput dibelai puisi
lalu tangan-tangan menyusuri kembang
bunga di taman merekah disiram
tanpa perduli pena tajam mengancam
(Pondok Petir, 02 Nopember 2011)
[FF] JENNIFER, JANGAN DUA-DUANYA
Cermin : Edy Priyatna
(Pondok Petir, 31 Oktober 2011)
Jennifer seorang mahasiswi semester satu, baru saja duduk di bangku sebuah Perguruan Tinggi di Bandung mengirimkan surat kepada kedua orang tuanya di Desa Rangkat, sebuah desa terpencil di Indonesia :”Bapak dan Ibu, alhamdulillah, saat ini saya sudah mulai kuliah di Bandung. Kuliahnya dari pagi sampai sore. Teman-temanku di sini baik-baik semua, malah banyak juga yang berasal dari Desa Rangkat. Saya juga sudah kost, biayanya agak mahal sedikit enam ratus ribu rupiah per bulan. Oh ya, Bapak dan Ibu, nilai IP saya semester satu ini sudah keluar, yaitu 3,8. Doakan saya semoga kerasan tinggal di Bandung.”
—————
Sebulan kemudian, Jennifer menerima balasan surat dari orangtuanya :”Anakku, alhamdulillah kamu sudah mulai kuliah. Kami berdua mengharapkan kau cepat lulus dan membantu menyekolahkan adik-adikmu. Mohon maaf bila bulan depan uang kiriman kami agak telat, soalnya harga gabah sedang turun, kata orang-orang desa akibat Indonesia import beras dari luar negeri.Cuma kami agak sedikit kecewa melihat nilai kamu. Waktu di Ibtidaiyah, Tsanawiyah hingga Aliyah, nilai kamu kan tidak pernah di bawah 8, malah sering 9. Kok sekarang cuma 3,8 ? Ayo nak, rajin-rajinlah belajar. Jangan-jangan ini karena kamu tidak fokus ke kuliahmu ya ? Mungkin karena kamu ikut-ikutan kost yang bayarnya mahal itu ? Makanya nak, jangan diikuti semua, kalo mau kuliah ya kuliah, kost ya kost, jangan dua-duanya….”
PADA HUJAN DIAWAL NOPEMBER
Puisi : Edy Priyatna
Saat kutatap matamu
tergambar ada cinta tertahan
menanti indikasi luapan mendung
tanpa terucap peluklah daku
leburkan aku dalam hujanmu
sebuah kebimbangan di depan pintu hati
yang masih terkunci rapat
ketika kita memegang lilin
kolaborasi akhir Oktober lalu
Saat itu aku tahu kau tak tahu
telah datang rintik-rintik kesejukan
yang terbaring diatas mega kelabu
tertahan turun oleh kegalauan
dalam benak nan kacau
sebuah ketidaktahuan yang mendebarkan
yang membuat sirna rasa sakit
lama membenam tahun-tahun lalu
sebelum pertemuan itu tiba kemarin
Saat akhirnya titik-titik air berjatuhan
terasa deras hati ini tersiram
ketenangan telah menyelimuti
jiwa yang terbanjiri kehangatan
oleh tujuh pasang mata nan indah
sebuah kenangan cinta abadi
takkan terlupakan selama-lamanya
tercatat pada langit biru
pada hujan diawal Nopember
(Pondok Petir, 01 Nopember 2011)
Saat kutatap matamu
tergambar ada cinta tertahan
menanti indikasi luapan mendung
tanpa terucap peluklah daku
leburkan aku dalam hujanmu
sebuah kebimbangan di depan pintu hati
yang masih terkunci rapat
ketika kita memegang lilin
kolaborasi akhir Oktober lalu
Saat itu aku tahu kau tak tahu
telah datang rintik-rintik kesejukan
yang terbaring diatas mega kelabu
tertahan turun oleh kegalauan
dalam benak nan kacau
sebuah ketidaktahuan yang mendebarkan
yang membuat sirna rasa sakit
lama membenam tahun-tahun lalu
sebelum pertemuan itu tiba kemarin
Saat akhirnya titik-titik air berjatuhan
terasa deras hati ini tersiram
ketenangan telah menyelimuti
jiwa yang terbanjiri kehangatan
oleh tujuh pasang mata nan indah
sebuah kenangan cinta abadi
takkan terlupakan selama-lamanya
tercatat pada langit biru
pada hujan diawal Nopember
(Pondok Petir, 01 Nopember 2011)
KEPADA PEMUDA PEMUDI BANGSA
Oleh : Edy Priyatna + Febi Mutia (No.34)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
KEPADA PEMUDA PEMUDI BANGSA
Oleh : Edy Priyatna + Febi Mutia (No.34)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
KISAH CINTA LADANG KENANGAN
Oleh : Edy Priyatna + Selsa Rengganis (No.250)
Masih ingatkah kau kekasihku
saat kita cengkrama di ladang tebu selepas sore
riang temani gelak canda
berpadu dalam pendar kemilau jingga
syahdu tersibak kuncup bunga tebu yang melambai
sang senja merambat menemui cintanya pada malam
dan rembulan hadir memayungi kita
dirimu mendekapku dalam rengkuhan gelora
membaur bersama pacu detak rindu
berpagut dalam buaian purnama yang mulai menyembul
semesta menjadi saksi ikrar penyatuan rasa……..
Dimanakah kini kau kekasihku
saat ini aku sedang berada di ladang tebu itu
sendiri hanya ditemani senja
yang mulai redup dalam sirnanya matahari
melenyapkan bunga-bunga yang telah layu
ditelan secara perlahan oleh pekat kegelapan
membuat langit berubah deras menyaksikanku
menulis kisah tentang kita……..
(Pondok Petir – Temanggung, 28 Oktober 2011)
Masih ingatkah kau kekasihku
saat kita cengkrama di ladang tebu selepas sore
riang temani gelak canda
berpadu dalam pendar kemilau jingga
syahdu tersibak kuncup bunga tebu yang melambai
sang senja merambat menemui cintanya pada malam
dan rembulan hadir memayungi kita
dirimu mendekapku dalam rengkuhan gelora
membaur bersama pacu detak rindu
berpagut dalam buaian purnama yang mulai menyembul
semesta menjadi saksi ikrar penyatuan rasa……..
Dimanakah kini kau kekasihku
saat ini aku sedang berada di ladang tebu itu
sendiri hanya ditemani senja
yang mulai redup dalam sirnanya matahari
melenyapkan bunga-bunga yang telah layu
ditelan secara perlahan oleh pekat kegelapan
membuat langit berubah deras menyaksikanku
menulis kisah tentang kita……..
(Pondok Petir – Temanggung, 28 Oktober 2011)
MAAFKAN KAMI WAHAI PEMIMPIN BANGSA
Oleh : Edy Priyatna + Ina (No.99)
Maafkan kami…..
hari ini kami hampr lupa dasar negara
karena tiada nampak lagi dalam kehidupan bangsa
yang keadilannya telah sirna
hingga sumpah bangsapun tak ingat pula
apalah daya……..
Maafkan kami…..
kami hanya ingat ketuhanan yang maha esa
walaupun banyak perbedaan
kami ingat sedikit kemanusiaan
kendati masih belum adil dan beradab
kami juga ingat persatuan
tetapi masih banyak yang bercerai berai
kami tidak mengerti kerakyatan
yang kini dipimpin oleh wakilnya
kami mulai benci keadilan sosial
hingga kini telah hilang satu demi satu
Maafkan kami…..
kemarin mungkin kami terlalu senang
maklum……..
karena terlalu lama bersedih
selama 45 tahun
kami telah lupa arti
kami telah lupa diri
terbuai mimpi-mimpi reformasi
Maafkan kami…..
besok mungkin kami tak dapat bernyanyi
gita perkasa burung negara
karena jarang terdengar lagi
begitu pula bagimu negeri
ingat lagunya lupa syairnya
Maafkan kami…..
dulu kami tahu telah diajarkan
bahkan kami telah dicekoki
apa arti dasar negara
dengan gita semangat juang
pada lagu pekik merdeka
namun tak pernah merasakanya
Maafkan kami…..
sekarang kami tidak mengeluh
sekarang kami bukan merengek
karena kami tak ingin hidup sia-sia
perkenankanlah kami mencari kembali
tanah tumpah darahku
yang telah tercecer dipelosok nusantara
agar ingat lagi semua yang sirna
agar merasa telah merdeka
agar sadar dasar negara
agar kami ingat telah berjanji
bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu
Indonesia
(Pondok Petir - Hongkong, 28 Oktober 2011)
Maafkan kami…..
hari ini kami hampr lupa dasar negara
karena tiada nampak lagi dalam kehidupan bangsa
yang keadilannya telah sirna
hingga sumpah bangsapun tak ingat pula
apalah daya……..
Maafkan kami…..
kami hanya ingat ketuhanan yang maha esa
walaupun banyak perbedaan
kami ingat sedikit kemanusiaan
kendati masih belum adil dan beradab
kami juga ingat persatuan
tetapi masih banyak yang bercerai berai
kami tidak mengerti kerakyatan
yang kini dipimpin oleh wakilnya
kami mulai benci keadilan sosial
hingga kini telah hilang satu demi satu
Maafkan kami…..
kemarin mungkin kami terlalu senang
maklum……..
karena terlalu lama bersedih
selama 45 tahun
kami telah lupa arti
kami telah lupa diri
terbuai mimpi-mimpi reformasi
Maafkan kami…..
besok mungkin kami tak dapat bernyanyi
gita perkasa burung negara
karena jarang terdengar lagi
begitu pula bagimu negeri
ingat lagunya lupa syairnya
Maafkan kami…..
dulu kami tahu telah diajarkan
bahkan kami telah dicekoki
apa arti dasar negara
dengan gita semangat juang
pada lagu pekik merdeka
namun tak pernah merasakanya
Maafkan kami…..
sekarang kami tidak mengeluh
sekarang kami bukan merengek
karena kami tak ingin hidup sia-sia
perkenankanlah kami mencari kembali
tanah tumpah darahku
yang telah tercecer dipelosok nusantara
agar ingat lagi semua yang sirna
agar merasa telah merdeka
agar sadar dasar negara
agar kami ingat telah berjanji
bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu
Indonesia
(Pondok Petir - Hongkong, 28 Oktober 2011)
SESUAI PORSI
Oleh: Edy Priyatna + Nyi Pede (No.248)
selembar senyum perih ditanam
dari kabar orang-orang di sawah
sungai kerontang kelam menghitam
langit cerah terlihat tiada ingin tumpah
pencuri datang mengoyak-ngoyak
melihat padi yang mulai tumbuh
petani memburu jejak-jejak pijak
mempertahankan hasil panen nan utuh
hari ini aku pergi ke desa
membawa pesan dari sahabat
kabar indah dari semesta
air jatuh membawa nasihat
Jagung-jagung milik petani
subur dihujani terik mentari
sementara kulihat tikus-tikus mati
mereka telah diracun bumi
Tuhan senantiasa membagi sesuai porsi
dengan modal kebersamaan hati
saling memberi dan berbagi
agar tercipta kerukunan abadi
bila ada sepetak harap
inginku tanam kebahagiaan
agar anak cucu dapat mencecap
indahnya keselarasan dari Tuhan
(Pondok Petir - Denpasar, 28 Oktober 2011)
selembar senyum perih ditanam
dari kabar orang-orang di sawah
sungai kerontang kelam menghitam
langit cerah terlihat tiada ingin tumpah
pencuri datang mengoyak-ngoyak
melihat padi yang mulai tumbuh
petani memburu jejak-jejak pijak
mempertahankan hasil panen nan utuh
hari ini aku pergi ke desa
membawa pesan dari sahabat
kabar indah dari semesta
air jatuh membawa nasihat
Jagung-jagung milik petani
subur dihujani terik mentari
sementara kulihat tikus-tikus mati
mereka telah diracun bumi
Tuhan senantiasa membagi sesuai porsi
dengan modal kebersamaan hati
saling memberi dan berbagi
agar tercipta kerukunan abadi
bila ada sepetak harap
inginku tanam kebahagiaan
agar anak cucu dapat mencecap
indahnya keselarasan dari Tuhan
(Pondok Petir - Denpasar, 28 Oktober 2011)
SUMPAHKU
Edy Priyatna + Ningwang Rozi (No.102)
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Pemuda dan pemudi itu bersumpah demi persatuan, demi lahirnya sebuah bangsa dan demi sebuah kemerdekaan walaupun nyawa taruhannya.
Seingatku sumpah pemuda pada hingga kini sudah 83 tahun berlalu dan sumpah itu masih tetap berbunyi ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Sehingga sekarang aku jadi tahu bahwa ; Angin semakin deras menderu tak ada cara lain untuk mewujudkannya. Aku harus membuat pemuda bersatu. Aku harus menghilangkan rasa ego dihati, demi sebuah sumpah persatuan. Sumpah Pemuda untuk Indonesia senantiasa tetap bersatu.
(Bondowoso - Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Pemuda dan pemudi itu bersumpah demi persatuan, demi lahirnya sebuah bangsa dan demi sebuah kemerdekaan walaupun nyawa taruhannya.
Seingatku sumpah pemuda pada hingga kini sudah 83 tahun berlalu dan sumpah itu masih tetap berbunyi ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Sehingga sekarang aku jadi tahu bahwa ; Angin semakin deras menderu tak ada cara lain untuk mewujudkannya. Aku harus membuat pemuda bersatu. Aku harus menghilangkan rasa ego dihati, demi sebuah sumpah persatuan. Sumpah Pemuda untuk Indonesia senantiasa tetap bersatu.
(Bondowoso - Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
SEPOTONG KEBISUAN CINTA [FPK]
Oleh : Tanti Sri Hartantie + Edy Priyatna (No.32)
*
Perempuan……..
Kau pasti tahu betapa sakitnya cinta dalam diam
dawai-dawai indah cinta yang terbalut dalam bungkam
diam yang berarti emas tidak berlaku disini
bagi cinta, diamnya adalah neraka
Kembaliku tersungkur di sudut-sudut perih
mengebiri rindu yang terbungkus sepi
sunyi… sunyi sendiri aku bosan
bagaimana mungkin aku melewati setiap duri kehidupan ini
sedang penantianku telah ditelanjangi oleh waktu
Detak jantungku selalu mengejar waktu
Tatkala jalanku tidak searah lagi
Mengingat kalbu telah tertitip jauh
Benakku kini sudah hampir penuh bayang-bayang rasa
Mestinya keheningan tak membuatku sepi
Bukankah di setiap mata lelaki itu mengandung binar liar serigala
dan di setiap lekuk tubuh wanita mampu meliarkannya
aliran meridian energi yang semakin membahana
untukmu yang selalu diam mencintaiku
*
(Cilacap – Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
*
Perempuan……..
Kau pasti tahu betapa sakitnya cinta dalam diam
dawai-dawai indah cinta yang terbalut dalam bungkam
diam yang berarti emas tidak berlaku disini
bagi cinta, diamnya adalah neraka
Kembaliku tersungkur di sudut-sudut perih
mengebiri rindu yang terbungkus sepi
sunyi… sunyi sendiri aku bosan
bagaimana mungkin aku melewati setiap duri kehidupan ini
sedang penantianku telah ditelanjangi oleh waktu
Detak jantungku selalu mengejar waktu
Tatkala jalanku tidak searah lagi
Mengingat kalbu telah tertitip jauh
Benakku kini sudah hampir penuh bayang-bayang rasa
Mestinya keheningan tak membuatku sepi
Bukankah di setiap mata lelaki itu mengandung binar liar serigala
dan di setiap lekuk tubuh wanita mampu meliarkannya
aliran meridian energi yang semakin membahana
untukmu yang selalu diam mencintaiku
*
(Cilacap – Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
AKU ADALAH OKTOBER [FPK]
Oleh : Rieya MissRochma + Edy Priyatna (No.240)
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur dadaku. Agar kita mampu bercumbu.
Mesra, tanpa paksa.
Cintailah aku.
Walau hanya sekejap waktuku dan waktumu.
Di pagiku dan pagimu. Di siangku dan siangmu. Di malamku dan malammu.
Sebab nanti akan selamanya : berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Sembari menulis diujung daun yang mulai menghijau karena rengekan langit.
Aku pun menulis dengan ujung pena di ujung senyum hatimu.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan indah.
Sejuk.
Siap menangkapmu dengan titik-titik lelehan es yang jatuh memberi kedamaian jiwa.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan damai.
Meski berkelabatlah jasadku bagai halilitar menggelegar.
Tapi tangkap sinar yang terpancar dari jasadku,
Untuk menemanimu terlelap dengan pelukan gelap yang pekat.
Bahwa ;
Diriku, Oktober tiada gersang.
Maka jadilah kemarau hujanku. Atau hujan kemarauku.
Uaplah embun dan terangi panas. Atau lepaslah panas dan siram airmu.
Hembuskan badai yang deras. Leburlah diriku dengan gunturmu,
Hingga mendidih dan meluap. Meletus hebat.
Bahwa :
Diriku, Oktober. Yang masih tetap Oktober di tepian tahun.
Maka jadilah takdirku.
Sedialah engkau, rekatkan aku dipunggungmu. Tariklah dengan kencang tali yang menjulur di sela-sela kulit kasarku.
Lumatlah diriku dengan irama-irama,
Bagaikan alu-alu menari diatas lesung. Menari bersama padi kedamaian.
Cintailah aku.
Seperti gunung yang menumpahkan kasihnya pada petani pasir.
Seperti mati yang ditunggu pemuja Tuhan karena takut tersandung duniawi.
Seperti hidup yang meringis karena kelaparan memenuhi koran-koran harian.
Seperti tsunami yang berlari-lari menjemput bibir pantai yang seksi.
Seperti bangun dari lumpur kubangan,
kemudian hujan deras menusuk kelopak batas.
Memukul punggung kalbu, mengerang kenikmatan jiwa.
Cintailah aku.
Entah bagaimana maumu. Dan aku yakin itulah maumu.
Karena malu tak kan menyakitimu. Karena takut tak kan menjatuhkanmu.
Dan ragu tak kan menyesakkanmu.
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur jiwaku.
Cintailah aku, walau hanya sebentar.
Pagi siang malam. Sebab nantinya akan abadi.
Berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berabad-abad.
Cintailah aku.
Dengan kesucian. Dengan keindahan. Dengan kesejukan. Dengan kedamaian. Dengan kelembutan.
Dan bukalah hatimu.
Lalu belahlah dadaku. Raihlah hati yang telanjang.
Agar dapat bersanggama.
Karena aku telah mencintaimu,
Berwaktu-waktu lamanya.
(Gresik-Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur dadaku. Agar kita mampu bercumbu.
Mesra, tanpa paksa.
Cintailah aku.
Walau hanya sekejap waktuku dan waktumu.
Di pagiku dan pagimu. Di siangku dan siangmu. Di malamku dan malammu.
Sebab nanti akan selamanya : berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Sembari menulis diujung daun yang mulai menghijau karena rengekan langit.
Aku pun menulis dengan ujung pena di ujung senyum hatimu.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan indah.
Sejuk.
Siap menangkapmu dengan titik-titik lelehan es yang jatuh memberi kedamaian jiwa.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan damai.
Meski berkelabatlah jasadku bagai halilitar menggelegar.
Tapi tangkap sinar yang terpancar dari jasadku,
Untuk menemanimu terlelap dengan pelukan gelap yang pekat.
Bahwa ;
Diriku, Oktober tiada gersang.
Maka jadilah kemarau hujanku. Atau hujan kemarauku.
Uaplah embun dan terangi panas. Atau lepaslah panas dan siram airmu.
Hembuskan badai yang deras. Leburlah diriku dengan gunturmu,
Hingga mendidih dan meluap. Meletus hebat.
Bahwa :
Diriku, Oktober. Yang masih tetap Oktober di tepian tahun.
Maka jadilah takdirku.
Sedialah engkau, rekatkan aku dipunggungmu. Tariklah dengan kencang tali yang menjulur di sela-sela kulit kasarku.
Lumatlah diriku dengan irama-irama,
Bagaikan alu-alu menari diatas lesung. Menari bersama padi kedamaian.
Cintailah aku.
Seperti gunung yang menumpahkan kasihnya pada petani pasir.
Seperti mati yang ditunggu pemuja Tuhan karena takut tersandung duniawi.
Seperti hidup yang meringis karena kelaparan memenuhi koran-koran harian.
Seperti tsunami yang berlari-lari menjemput bibir pantai yang seksi.
Seperti bangun dari lumpur kubangan,
kemudian hujan deras menusuk kelopak batas.
Memukul punggung kalbu, mengerang kenikmatan jiwa.
Cintailah aku.
Entah bagaimana maumu. Dan aku yakin itulah maumu.
Karena malu tak kan menyakitimu. Karena takut tak kan menjatuhkanmu.
Dan ragu tak kan menyesakkanmu.
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur jiwaku.
Cintailah aku, walau hanya sebentar.
Pagi siang malam. Sebab nantinya akan abadi.
Berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berabad-abad.
Cintailah aku.
Dengan kesucian. Dengan keindahan. Dengan kesejukan. Dengan kedamaian. Dengan kelembutan.
Dan bukalah hatimu.
Lalu belahlah dadaku. Raihlah hati yang telanjang.
Agar dapat bersanggama.
Karena aku telah mencintaimu,
Berwaktu-waktu lamanya.
(Gresik-Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
KEPADA PEMUDA BANGSA
Yang dulu telah berjuang
yang kemudian menjadi pahlawan
yang kini telah mewarisi
janji sumpah yang senantiasa bergema
tiada henti di seluruh penjuru nusantara
kami putra dan putri Indonesia berjanji,
akan menjaga untuk tetap bersatu
akan mengabadikan lentera nusantaramu
akan melebur semangat 28 Oktober menjadi pedang yang tajam
untuk selalu menjaga Sumpah Pemuda tetap bergema
kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia
sampai mentari tenggelam di seberang timur……..
(Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
yang kemudian menjadi pahlawan
yang kini telah mewarisi
janji sumpah yang senantiasa bergema
tiada henti di seluruh penjuru nusantara
kami putra dan putri Indonesia berjanji,
akan menjaga untuk tetap bersatu
akan mengabadikan lentera nusantaramu
akan melebur semangat 28 Oktober menjadi pedang yang tajam
untuk selalu menjaga Sumpah Pemuda tetap bergema
kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia
sampai mentari tenggelam di seberang timur……..
(Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
WAKTUKU
Puisi : Edy Priyatna
(…..jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
Kulihat selalu putaran itu
geraknya begitu cepat
padahal belum sempat berkata maaf
pada mereka semua……..
orang tuaku
keluargaku
saudaraku
sahabatku
atas kesalahan yang melimpah dalam hidup
Berhentilah sebentar!
aku ingin menyampaikan……..
aku akan mengatakan sesuatu
“ampunilah dosa-dosaku ya Allah”
“ampunilah dosa-dosaku ibu…..”
“ampunilah dosa-dosaku ayah……”
“ampunilah dosa-dosaku istriku, anakku…….”
“ampunilah dosa-dosaku adik-adikku, kakak-kakakku……..”
“ampunilah dosa-dosaku saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku………”
Dapatkah menunggu barang sejenak?
mengapa kau tak menjawab pertanyaanku……..?
(..…jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
(Pondok Petir, 27 Oktober 2011)
(…..jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
Kulihat selalu putaran itu
geraknya begitu cepat
padahal belum sempat berkata maaf
pada mereka semua……..
orang tuaku
keluargaku
saudaraku
sahabatku
atas kesalahan yang melimpah dalam hidup
Berhentilah sebentar!
aku ingin menyampaikan……..
aku akan mengatakan sesuatu
“ampunilah dosa-dosaku ya Allah”
“ampunilah dosa-dosaku ibu…..”
“ampunilah dosa-dosaku ayah……”
“ampunilah dosa-dosaku istriku, anakku…….”
“ampunilah dosa-dosaku adik-adikku, kakak-kakakku……..”
“ampunilah dosa-dosaku saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku………”
Dapatkah menunggu barang sejenak?
mengapa kau tak menjawab pertanyaanku……..?
(..…jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
(Pondok Petir, 27 Oktober 2011)
SAJAK BUAT DEWA
Cerpen : Edy Priyatna
…….Ketika rembulan bertengger di atas gunung
bintang-bintang mulai bertebaran di langit terang
dua ekor burung senja berkejar-kejaran
mengusik rasa di malam hening.
……Seorang gadis berpakaian batik merah muda
duduk sendiri di pos ronda desa
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……
Sambil menunggu Rizal, aku menyusuri teras Villa Lacitra yang membujur sepanjang kamar-kamar. Hari itu aku baru saja selesai membantu dekorasi di Aula Serba Guna persiapan Hari Ulang Tahun Desa Rangkat. Teman-teman yang ikut membantu menuju kekamarnya masing-masing, sedangkan aku keluar kea rah depan menanti kedatangan sahabatku yang lain. Ketika melewati taman samping dekat kolam ikan, kulihat Dewa, salah satu kembang desa, duduk sendiri di pos ronda desa, asyik dengan buku ceritanya. Namanya sangat unik tapi orangnya berwajah manis dan ayu. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!
“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja mas,” Dewa tersenyum mengurut dada.
“Koq tumben ada disini, bukannya membantu bunda Yanti di dapur umum?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Sudah selesai. Mas ngapain?” dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Rizal nih!”
“Ada urusan penting ya! Koq sampai ditunggu segala.”
“Dia yang minta aku tunggu di pintu gerbang, katanya takut nyasar. Eh, buku apaan tuh?”
“Perawan Desa.”
“Wah hebat! Itu buku cerita pendek lama. Aku menggumi pengagum Putu Wijaya.”
“Hmmmm….”Dewa Cuma tersenyum manis.
Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!
“Hari ini dingin sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, padahal aku sudah pakai baju tebal dua rangkap, lho,” Dewa mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita bandrek bajigur, sambil menunggu Rizal datang?”
“O…. ide yang bagus, tuh. Yuk…!” Dewa tersenyum.
Kami berdua berjalan menuju cafeteria di depan Villa. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.
“O, iya kapan sih Festival Prosa Kolaborasi di Desa Rangkat dimulai?”
“Mungkin seminggu lagi. Ini baru mau di urus sama Rizal. Dewa ikut ya!”
“Nggak ah, Dewa baca aja deh,” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sebenarnya aku sudah tahu kalau Dewa pernah ikut Festival Fiksi Kolaborasi. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama menghangatkan badan karena dinginnya udara malam itu.
“Eh, aku kemarin baca puisimu di Kompasiana.”
“O, iya.”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering,” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata mas Lala, mas Relly sering nulis puisi di majalah-majalah.”
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Lala. Lalu kamu percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi benar kan?”
“Hmmmm…, kalau benar, lalu kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Bagaimana sih caranya bikin puisi? Ajari aku dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajari juga bisa.”
“Untuk sukses mesti diajari dulu sama yang sudah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya sangat mudah sekali,” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja gitu sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Dewa mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepaskan dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E…. iya… iya begini, ya. Pokok utama kamu mesti pilih mau menulis apa. Mau menulis tentang kelinci kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Menulis pohon, rumah, bintang dan apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Dewa pada saat kamu mau menulisnya,” kataku sambil meminum bandrekku.
“Lalu?” Dewa tak sabar.
“Kalau sudah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Tunggu dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru,” Dewa tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal,” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen di tas pinggang ku. Setelah itu baru aku menulis ;
……Malam hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas bandrek bajigur ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-
Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..
“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Dewa sudah menyemprot.
“Aa…..ini sih ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho, kan cuma contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau kamu merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Dewa jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Dewa memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan.
Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar bandrek bajigur pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di pintu gerbang Villa Dewa bilang:
“Nanti mau nggak buatkan puisi untuk Dewa?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatkan puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Dewa, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis mukamu merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Dewa nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan aku bilang cinta. Hmmm, enak aja,” Dewa mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Dewa sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda,” aku menangkap lengannya.
“Habis mas jahat sih…”
“Iya deh. Aku sayang sama Dewa,” kembali aku menggoda. Dewa diam saja. Seperti orang bisu. Akhirnya kami duduk di pos ronda dekat pintu gerbang Villa. Kami berdua sama-sama membisu.
“Kamu marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Dewa tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Dewa tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Tapi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak,” dia menggelengkan kepalanya.
“Benar…..”
“Benar, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun, mas?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau kamu benar-benar ingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari semalam aku buat, khusus untukmu,” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran A4. Kertas itu sudah semalam menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau kamu itu suka koleksi puisi-puisi” Dewa menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih sahabatku yang baik. Mas Relly terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kamu Dewa,” Dewa menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya nanti akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Aku senang deh kalau mas mau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam sakunya.
Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa tiba-tiba datang sebuah angkot warna kuning berhenti di depan pintu gerbang.
“Itu pasti Rizal.”
“Iya, benar…tuh mulai nampak kacamatanya,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Halo, Relly!…Eh ini siapa?” sapa Rizal menyalamiku. Sementara Dewa tersenyum lebar.
“Aku Dewa mas Rizal…” Dewa menyalami Rizal.
“Oh, Dewa….akhirnya kita bisa bertemu juga. Apa kabarnya?” tanya Rizal sambil menyalami Dewa.
“Alhamdulillah, baik mas Rizal,” sahut Dewa. Aku hanya tersenyum diam.
“Jadi kalian berdua sengaja menungguku disini ya?” tanya Rizal.
“Lho, katanya minta ditunggu di depan, karena aku nggak ada teman, aku minta ditemani Dewa saja….” sahutku kemudian.
“Wah, sesuatu bangetz nih…..” Kami berdua tertawa lepas mendengar pernyataan Rizal tersebut.
Akhirnya kamipun masuk kedalam Villa menuju kamar tempat kami menginap. Saat itu di langit terlihat banyak bintang-bintang berkelap-kelip diterangi cahaya rembulan. Aku merasa bahagia sekali pada malam itu. Walaupun rasa dingin telah menusuk jantungku, namun hatiku tetap terasa hangat. Malam itu aku langsung membuat kenangan yang indah dalam puisi di Ulang Tahun Desa Rangkat.
………..Selamat datang kenangan
kau muncul dalam sekejap
membuat kuingat setiap saat
kini kau ciptakan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya
Aku ingin jujur padamu
aku ingin katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………
Pondok Petir, 24 Oktober 2011
(Cerpen : Edy Priyatna)
…….Ketika rembulan bertengger di atas gunung
bintang-bintang mulai bertebaran di langit terang
dua ekor burung senja berkejar-kejaran
mengusik rasa di malam hening.
……Seorang gadis berpakaian batik merah muda
duduk sendiri di pos ronda desa
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……
Sambil menunggu Rizal, aku menyusuri teras Villa Lacitra yang membujur sepanjang kamar-kamar. Hari itu aku baru saja selesai membantu dekorasi di Aula Serba Guna persiapan Hari Ulang Tahun Desa Rangkat. Teman-teman yang ikut membantu menuju kekamarnya masing-masing, sedangkan aku keluar kea rah depan menanti kedatangan sahabatku yang lain. Ketika melewati taman samping dekat kolam ikan, kulihat Dewa, salah satu kembang desa, duduk sendiri di pos ronda desa, asyik dengan buku ceritanya. Namanya sangat unik tapi orangnya berwajah manis dan ayu. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!
“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja mas,” Dewa tersenyum mengurut dada.
“Koq tumben ada disini, bukannya membantu bunda Yanti di dapur umum?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Sudah selesai. Mas ngapain?” dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Rizal nih!”
“Ada urusan penting ya! Koq sampai ditunggu segala.”
“Dia yang minta aku tunggu di pintu gerbang, katanya takut nyasar. Eh, buku apaan tuh?”
“Perawan Desa.”
“Wah hebat! Itu buku cerita pendek lama. Aku menggumi pengagum Putu Wijaya.”
“Hmmmm….”Dewa Cuma tersenyum manis.
Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!
“Hari ini dingin sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, padahal aku sudah pakai baju tebal dua rangkap, lho,” Dewa mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita bandrek bajigur, sambil menunggu Rizal datang?”
“O…. ide yang bagus, tuh. Yuk…!” Dewa tersenyum.
Kami berdua berjalan menuju cafeteria di depan Villa. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.
“O, iya kapan sih Festival Prosa Kolaborasi di Desa Rangkat dimulai?”
“Mungkin seminggu lagi. Ini baru mau di urus sama Rizal. Dewa ikut ya!”
“Nggak ah, Dewa baca aja deh,” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sebenarnya aku sudah tahu kalau Dewa pernah ikut Festival Fiksi Kolaborasi. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama menghangatkan badan karena dinginnya udara malam itu.
“Eh, aku kemarin baca puisimu di Kompasiana.”
“O, iya.”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering,” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata mas Lala, mas Relly sering nulis puisi di majalah-majalah.”
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Lala. Lalu kamu percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi benar kan?”
“Hmmmm…, kalau benar, lalu kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Bagaimana sih caranya bikin puisi? Ajari aku dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajari juga bisa.”
“Untuk sukses mesti diajari dulu sama yang sudah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya sangat mudah sekali,” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja gitu sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Dewa mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepaskan dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E…. iya… iya begini, ya. Pokok utama kamu mesti pilih mau menulis apa. Mau menulis tentang kelinci kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Menulis pohon, rumah, bintang dan apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Dewa pada saat kamu mau menulisnya,” kataku sambil meminum bandrekku.
“Lalu?” Dewa tak sabar.
“Kalau sudah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Tunggu dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru,” Dewa tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal,” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen di tas pinggang ku. Setelah itu baru aku menulis ;
……Malam hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas bandrek bajigur ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-
Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..
“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Dewa sudah menyemprot.
“Aa…..ini sih ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho, kan cuma contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau kamu merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Dewa jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Dewa memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan.
Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar bandrek bajigur pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di pintu gerbang Villa Dewa bilang:
“Nanti mau nggak buatkan puisi untuk Dewa?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatkan puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Dewa, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis mukamu merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Dewa nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan aku bilang cinta. Hmmm, enak aja,” Dewa mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Dewa sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda,” aku menangkap lengannya.
“Habis mas jahat sih…”
“Iya deh. Aku sayang sama Dewa,” kembali aku menggoda. Dewa diam saja. Seperti orang bisu. Akhirnya kami duduk di pos ronda dekat pintu gerbang Villa. Kami berdua sama-sama membisu.
“Kamu marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Dewa tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Dewa tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Tapi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak,” dia menggelengkan kepalanya.
“Benar…..”
“Benar, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun, mas?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau kamu benar-benar ingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari semalam aku buat, khusus untukmu,” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran A4. Kertas itu sudah semalam menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau kamu itu suka koleksi puisi-puisi” Dewa menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih sahabatku yang baik. Mas Relly terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kamu Dewa,” Dewa menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya nanti akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Aku senang deh kalau mas mau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam sakunya.
Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa tiba-tiba datang sebuah angkot warna kuning berhenti di depan pintu gerbang.
“Itu pasti Rizal.”
“Iya, benar…tuh mulai nampak kacamatanya,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Halo, Relly!…Eh ini siapa?” sapa Rizal menyalamiku. Sementara Dewa tersenyum lebar.
“Aku Dewa mas Rizal…” Dewa menyalami Rizal.
“Oh, Dewa….akhirnya kita bisa bertemu juga. Apa kabarnya?” tanya Rizal sambil menyalami Dewa.
“Alhamdulillah, baik mas Rizal,” sahut Dewa. Aku hanya tersenyum diam.
“Jadi kalian berdua sengaja menungguku disini ya?” tanya Rizal.
“Lho, katanya minta ditunggu di depan, karena aku nggak ada teman, aku minta ditemani Dewa saja….” sahutku kemudian.
“Wah, sesuatu bangetz nih…..” Kami berdua tertawa lepas mendengar pernyataan Rizal tersebut.
Akhirnya kamipun masuk kedalam Villa menuju kamar tempat kami menginap. Saat itu di langit terlihat banyak bintang-bintang berkelap-kelip diterangi cahaya rembulan. Aku merasa bahagia sekali pada malam itu. Walaupun rasa dingin telah menusuk jantungku, namun hatiku tetap terasa hangat. Malam itu aku langsung membuat kenangan yang indah dalam puisi di Ulang Tahun Desa Rangkat.
………..Selamat datang kenangan
kau muncul dalam sekejap
membuat kuingat setiap saat
kini kau ciptakan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya
Aku ingin jujur padamu
aku ingin katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………
Pondok Petir, 24 Oktober 2011
(Cerpen : Edy Priyatna)
PESAN BUAT SAHABAT 2
Sahabat……..
hari pertama mulai berkesan
penantian mendebarkan hati
menyentak rasa suka citaku
Sahabat……..
pagi terlihat sangat cerah
embunnya menguap pancarkan sinar
membangunkan jiwa pelangiku
Sahabat
siang datang begitu pesat
serupa terang mentari melayang
menembus batas rinduku
Sahabat……..
malam masih tetap terjaga
bagai gelap yang telah sirna
menghilang dibalik rembulanku
Sahabat……..
goresanmu telah melingkari hati
melepas semua rindu pada malammu
bayangmu biaskan jiwa yang tenggelam
menciptakan mimpi-mimpi indah
Sahabat……..
kenangkan di dada tentang jiwa
teteskan kesejukan dalam damai
torehkan keindahan dalam ramai
hingga tembus dalam ruang dan waktu
dan akan kuterbangkan angan
tentang lukisan senjamu
kunyanyikan kidung-kidung malam
untuk penutup langitmu
lalu kutulis dalam lembar-lembar hati ini
tentang cerita malam serta pesan dan kesan
agar tetap dapat tersimpan semua cita-cita kita
(Pondok petir, 23 Oktober 2011)
hari pertama mulai berkesan
penantian mendebarkan hati
menyentak rasa suka citaku
Sahabat……..
pagi terlihat sangat cerah
embunnya menguap pancarkan sinar
membangunkan jiwa pelangiku
Sahabat
siang datang begitu pesat
serupa terang mentari melayang
menembus batas rinduku
Sahabat……..
malam masih tetap terjaga
bagai gelap yang telah sirna
menghilang dibalik rembulanku
Sahabat……..
goresanmu telah melingkari hati
melepas semua rindu pada malammu
bayangmu biaskan jiwa yang tenggelam
menciptakan mimpi-mimpi indah
Sahabat……..
kenangkan di dada tentang jiwa
teteskan kesejukan dalam damai
torehkan keindahan dalam ramai
hingga tembus dalam ruang dan waktu
dan akan kuterbangkan angan
tentang lukisan senjamu
kunyanyikan kidung-kidung malam
untuk penutup langitmu
lalu kutulis dalam lembar-lembar hati ini
tentang cerita malam serta pesan dan kesan
agar tetap dapat tersimpan semua cita-cita kita
(Pondok petir, 23 Oktober 2011)
MELEPAS SENJA
Raga ini mulai ringkih
setelah melangkahkan kaki
pada malam tak bergairah
kemudian……..
dibiarkannya langit hitam nan kosong
daun-daun tak bersuara
ketika datang hampa udara
menunda turunnya hujan
dibiarkannya lembar goresan beku
dengan setangkai pena kaku
tertulis tajam dalam sajak
menusuk dada yang sesak
dibiarkannya matahari melumat tubuh
memancarkan cahaya sinar
yang melepaskan isi jiwa
sambil menghitung dengan pasti
panggilan yang mampir di ruang diri
padahal kematian bukan sekedar kepindahan
(Pondok Petir, 21 Oktober 2011)
setelah melangkahkan kaki
pada malam tak bergairah
kemudian……..
dibiarkannya langit hitam nan kosong
daun-daun tak bersuara
ketika datang hampa udara
menunda turunnya hujan
dibiarkannya lembar goresan beku
dengan setangkai pena kaku
tertulis tajam dalam sajak
menusuk dada yang sesak
dibiarkannya matahari melumat tubuh
memancarkan cahaya sinar
yang melepaskan isi jiwa
sambil menghitung dengan pasti
panggilan yang mampir di ruang diri
padahal kematian bukan sekedar kepindahan
(Pondok Petir, 21 Oktober 2011)
KEPADA DESA RANGKAT
Bangunlah dengan semangat kebahagiaan
lupakan keresahan-keresahan
bercahayalah dengan keseimbangan
cerahlah dengan senyum matahari
berawan putih di langit biru
berpadi kuning di sawah hijau
di tanah merah berlapis coklat
lapisi abu-abumu dengan jingga
lalu hujanlah untuk melepas segala kerinduan
keindahan hati…..
kesejukan ruang……
kedamaian jiwa…….
keramaian desa……..
Hari-hari telah lewat walau perlahan tapi amat pasti
kenangkan pertemuan-pertemuan
simpanlah dengan rasa kasih
sayangilah dengan cinta suci nan abadi
berkesan indah di dalam sejuk
berpesan damai di dalam ramai
di atas segala bentuk isi jantungmu
kibarkan bendera semangat
lalu beningkan mata airmu untuk kebersamaan
sahabat sehati………
sahabat seruang……….
sahabat sewaktu………..
sahabat sejati…………
Hari ini adalah lembaran baru bagimu
jejak langkah-langkah mulai tertanda lagi
akan ada banyak pelangi yang menghiasi sawahmu
senantiasa memberikan nikmat para petaninya
perkenankanlah aku menuturkan goresan hati
semangat ulang tahun……..
tolong catat dihatimu
aku juga penanam di desamu
(Pondok Petir, 20 Oktober 2011)
lupakan keresahan-keresahan
bercahayalah dengan keseimbangan
cerahlah dengan senyum matahari
berawan putih di langit biru
berpadi kuning di sawah hijau
di tanah merah berlapis coklat
lapisi abu-abumu dengan jingga
lalu hujanlah untuk melepas segala kerinduan
keindahan hati…..
kesejukan ruang……
kedamaian jiwa…….
keramaian desa……..
Hari-hari telah lewat walau perlahan tapi amat pasti
kenangkan pertemuan-pertemuan
simpanlah dengan rasa kasih
sayangilah dengan cinta suci nan abadi
berkesan indah di dalam sejuk
berpesan damai di dalam ramai
di atas segala bentuk isi jantungmu
kibarkan bendera semangat
lalu beningkan mata airmu untuk kebersamaan
sahabat sehati………
sahabat seruang……….
sahabat sewaktu………..
sahabat sejati…………
Hari ini adalah lembaran baru bagimu
jejak langkah-langkah mulai tertanda lagi
akan ada banyak pelangi yang menghiasi sawahmu
senantiasa memberikan nikmat para petaninya
perkenankanlah aku menuturkan goresan hati
semangat ulang tahun……..
tolong catat dihatimu
aku juga penanam di desamu
(Pondok Petir, 20 Oktober 2011)
TANAMAN KORUPSI
Dari akar-akar kemunafikan pada lembaga keserakahan syaitan pasti akan melahirkan tunas kejahatan memberi kesempatan batang berkarat menggantung dahan bergelimang debu tumbuhkan ranting getas nan kotor merangkai tangkai lunglai bergetah membuat daun-daun hijau menjadi hitam kembang-kembang merah menjadi kuning kerap disirami airmata putih insan jelata hingga membiru berbunga dusta menghasilkan buah dosa-dosa.
PULANG KE DESA
Setelah waktu tersisihkan
pada semua kenangan manis
dan semua pahit yang hinggap
kusapa semua sahabat tercinta
hanya karena sahabat aku duduk
menanti di saung sawah yang hijau
menanti semua semangat yang datang
membuatku kembali menulis catatan puisi
Hari ini sengaja aku ungkapkan
pada semua yang selalu menyapa
dan memberikan warna kegembiraan
karena pantas untuk diabadikan
kau sungguh sangat luar biasa
kau telah amat banyak berbagi
kau selalu ingin menemani
sementara aku hanya seorang yang biasa
Setelah waktu itu datang
maafkanlah telah meninggalkanmu
kirimkan doa untuk keselamatan
seperti yang aku lakukan untukmu
ijinkan aku pulang dalam nyata
pada semua yang pergi menyalami
pada semua yang tiba mengasihi
besok aku akan berangkat
pulang ke desaku yang indah
yang penuh kedamaian
yang senantiasa sejuk
yang kini mulai ramai……..
(Pondok Petir, 19 Oktober 2011)
pada semua kenangan manis
dan semua pahit yang hinggap
kusapa semua sahabat tercinta
hanya karena sahabat aku duduk
menanti di saung sawah yang hijau
menanti semua semangat yang datang
membuatku kembali menulis catatan puisi
Hari ini sengaja aku ungkapkan
pada semua yang selalu menyapa
dan memberikan warna kegembiraan
karena pantas untuk diabadikan
kau sungguh sangat luar biasa
kau telah amat banyak berbagi
kau selalu ingin menemani
sementara aku hanya seorang yang biasa
Setelah waktu itu datang
maafkanlah telah meninggalkanmu
kirimkan doa untuk keselamatan
seperti yang aku lakukan untukmu
ijinkan aku pulang dalam nyata
pada semua yang pergi menyalami
pada semua yang tiba mengasihi
besok aku akan berangkat
pulang ke desaku yang indah
yang penuh kedamaian
yang senantiasa sejuk
yang kini mulai ramai……..
(Pondok Petir, 19 Oktober 2011)
SEMU
Kaki telanjangku telah menapak bukit
terjalnya bukit hatimu
matamu memandang seolah mendorongku
untuk terus melangkah
rintangan menghadang trip melelahkan
nan penuh onak dan duri-duri
tekadku tetap semangat
tak akan pernah menyerah
dari manapun…
sampai kapanpun…
walaupun aku tak tegas melampauinya
walaupun kau tak tega menghendakinya
Namun aku tahu bahwa kau telah tahu
datang rasa resah menghantui
sedetik terluput oleh gundah gulana
dalam keraguan kegelisahan kalbu
mulut mulai kelu
gerakan mulai lamban
langkah mulai terhenti
tak sampai niatan hati
karena ada yang tiba dibelakangmu…..
karena ada yang lain menantimu di kaki bukit…..
aku adalah bayang-bayang
kasih sayang semu yang nyata………
(Jakarta, 13 Oktober 2011)
terjalnya bukit hatimu
matamu memandang seolah mendorongku
untuk terus melangkah
rintangan menghadang trip melelahkan
nan penuh onak dan duri-duri
tekadku tetap semangat
tak akan pernah menyerah
dari manapun…
sampai kapanpun…
walaupun aku tak tegas melampauinya
walaupun kau tak tega menghendakinya
Namun aku tahu bahwa kau telah tahu
datang rasa resah menghantui
sedetik terluput oleh gundah gulana
dalam keraguan kegelisahan kalbu
mulut mulai kelu
gerakan mulai lamban
langkah mulai terhenti
tak sampai niatan hati
karena ada yang tiba dibelakangmu…..
karena ada yang lain menantimu di kaki bukit…..
aku adalah bayang-bayang
kasih sayang semu yang nyata………
(Jakarta, 13 Oktober 2011)
BERITA PETANG
Dari belahan bumi paling murni
di lahan tandus tak dendam
di antara partikel-partikel basah
banyak orang kehausan
menanti tibanya sukacita
bagi sebuah kesumat yang tertunaikan
dari darah yang mengalir di ujung timur
Sementara……..
di ujung yang satunya lagi
di lahan subur yang pernah terendam
di antara kesunyian-kesunyian kering
banyak orang berhamburan
karena didatangi gempa lima
dari getaran Sinabang Tapaktuan di baratdaya
Lalu……..
di belahan lainnya
di balik belahan dunia
orang-orang desa mendirikan pagar keresahan
menyusun kerangka kebencian untuk diledakkan
di pusat kota tempat para penggerak daya
Kemudian……..
di belahan lainnya lagi
di balik ujung yang satunya lagi
para penonton terus menoton dan ditonton
menyaksikan perdebatan seru masalah satu kata.
Akhirnya……
di sini
di lapak puisi ini
kita hanya dapat meraba dan membaca saja
namun tak bisa berkaca
(Pondok Petir, 17 Oktober 2011)
di lahan tandus tak dendam
di antara partikel-partikel basah
banyak orang kehausan
menanti tibanya sukacita
bagi sebuah kesumat yang tertunaikan
dari darah yang mengalir di ujung timur
Sementara……..
di ujung yang satunya lagi
di lahan subur yang pernah terendam
di antara kesunyian-kesunyian kering
banyak orang berhamburan
karena didatangi gempa lima
dari getaran Sinabang Tapaktuan di baratdaya
Lalu……..
di belahan lainnya
di balik belahan dunia
orang-orang desa mendirikan pagar keresahan
menyusun kerangka kebencian untuk diledakkan
di pusat kota tempat para penggerak daya
Kemudian……..
di belahan lainnya lagi
di balik ujung yang satunya lagi
para penonton terus menoton dan ditonton
menyaksikan perdebatan seru masalah satu kata.
Akhirnya……
di sini
di lapak puisi ini
kita hanya dapat meraba dan membaca saja
namun tak bisa berkaca
(Pondok Petir, 17 Oktober 2011)
KOMODO
Bersandar pada sebuah nusa putih
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni
Ketika sepi menyanyi warna hitam
munculah dengan melata seekor naga
langkah-langkah tegap menyergap
ombak meriak peluru menghujam
langsung mengusik jantung
Hidup mencari ilmu membawa mayat
dari timur hingga ke barat
langkah-langkah tegap menatap
singgah bersimpuh di kota hujan
pulau keajaiban duniapun telah ditemukan
(Pondok Petir, 15 Oktober 2011)
Ayo kita dukung Pulau Komodo…..Ketik Komodo kirim ke 9818
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni
Ketika sepi menyanyi warna hitam
munculah dengan melata seekor naga
langkah-langkah tegap menyergap
ombak meriak peluru menghujam
langsung mengusik jantung
Hidup mencari ilmu membawa mayat
dari timur hingga ke barat
langkah-langkah tegap menatap
singgah bersimpuh di kota hujan
pulau keajaiban duniapun telah ditemukan
(Pondok Petir, 15 Oktober 2011)
Ayo kita dukung Pulau Komodo…..Ketik Komodo kirim ke 9818
Langganan:
Postingan (Atom)