Jennifer seorang mahasiswi semester satu, baru saja duduk di bangku sebuah Perguruan Tinggi di Bandung mengirimkan surat kepada kedua orang tuanya di Desa Rangkat, sebuah desa terpencil di Indonesia :”Bapak dan Ibu, alhamdulillah, saat ini saya sudah mulai kuliah di Bandung. Kuliahnya dari pagi sampai sore. Teman-temanku di sini baik-baik semua, malah banyak juga yang berasal dari Desa Rangkat. Saya juga sudah kost, biayanya agak mahal sedikit enam ratus ribu rupiah per bulan. Oh ya, Bapak dan Ibu, nilai IP saya semester satu ini sudah keluar, yaitu 3,8. Doakan saya semoga kerasan tinggal di Bandung.”
—————
Sebulan kemudian, Jennifer menerima balasan surat dari orangtuanya :”Anakku, alhamdulillah kamu sudah mulai kuliah. Kami berdua mengharapkan kau cepat lulus dan membantu menyekolahkan adik-adikmu. Mohon maaf bila bulan depan uang kiriman kami agak telat, soalnya harga gabah sedang turun, kata orang-orang desa akibat Indonesia import beras dari luar negeri.Cuma kami agak sedikit kecewa melihat nilai kamu. Waktu di Ibtidaiyah, Tsanawiyah hingga Aliyah, nilai kamu kan tidak pernah di bawah 8, malah sering 9. Kok sekarang cuma 3,8 ? Ayo nak, rajin-rajinlah belajar. Jangan-jangan ini karena kamu tidak fokus ke kuliahmu ya ? Mungkin karena kamu ikut-ikutan kost yang bayarnya mahal itu ? Makanya nak, jangan diikuti semua, kalo mau kuliah ya kuliah, kost ya kost, jangan dua-duanya….”