Oleh : Rieya MissRochma + Edy Priyatna (No.240)
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur dadaku. Agar kita mampu bercumbu.
Mesra, tanpa paksa.
Cintailah aku.
Walau hanya sekejap waktuku dan waktumu.
Di pagiku dan pagimu. Di siangku dan siangmu. Di malamku dan malammu.
Sebab nanti akan selamanya : berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Sembari menulis diujung daun yang mulai menghijau karena rengekan langit.
Aku pun menulis dengan ujung pena di ujung senyum hatimu.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan indah.
Sejuk.
Siap menangkapmu dengan titik-titik lelehan es yang jatuh memberi kedamaian jiwa.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan damai.
Meski berkelabatlah jasadku bagai halilitar menggelegar.
Tapi tangkap sinar yang terpancar dari jasadku,
Untuk menemanimu terlelap dengan pelukan gelap yang pekat.
Bahwa ;
Diriku, Oktober tiada gersang.
Maka jadilah kemarau hujanku. Atau hujan kemarauku.
Uaplah embun dan terangi panas. Atau lepaslah panas dan siram airmu.
Hembuskan badai yang deras. Leburlah diriku dengan gunturmu,
Hingga mendidih dan meluap. Meletus hebat.
Bahwa :
Diriku, Oktober. Yang masih tetap Oktober di tepian tahun.
Maka jadilah takdirku.
Sedialah engkau, rekatkan aku dipunggungmu. Tariklah dengan kencang tali yang menjulur di sela-sela kulit kasarku.
Lumatlah diriku dengan irama-irama,
Bagaikan alu-alu menari diatas lesung. Menari bersama padi kedamaian.
Cintailah aku.
Seperti gunung yang menumpahkan kasihnya pada petani pasir.
Seperti mati yang ditunggu pemuja Tuhan karena takut tersandung duniawi.
Seperti hidup yang meringis karena kelaparan memenuhi koran-koran harian.
Seperti tsunami yang berlari-lari menjemput bibir pantai yang seksi.
Seperti bangun dari lumpur kubangan,
kemudian hujan deras menusuk kelopak batas.
Memukul punggung kalbu, mengerang kenikmatan jiwa.
Cintailah aku.
Entah bagaimana maumu. Dan aku yakin itulah maumu.
Karena malu tak kan menyakitimu. Karena takut tak kan menjatuhkanmu.
Dan ragu tak kan menyesakkanmu.
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur jiwaku.
Cintailah aku, walau hanya sebentar.
Pagi siang malam. Sebab nantinya akan abadi.
Berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berabad-abad.
Cintailah aku.
Dengan kesucian. Dengan keindahan. Dengan kesejukan. Dengan kedamaian. Dengan kelembutan.
Dan bukalah hatimu.
Lalu belahlah dadaku. Raihlah hati yang telanjang.
Agar dapat bersanggama.
Karena aku telah mencintaimu,
Berwaktu-waktu lamanya.
(Gresik-Pondok Petir, 28 Oktober 2011)