Kamis, 03 November 2011

SAJAK BUAT DEWA

Cerpen : Edy Priyatna

…….Ketika rembulan bertengger di atas gunung
bintang-bintang mulai bertebaran di langit terang
dua ekor burung senja berkejar-kejaran
mengusik rasa di malam hening.

……Seorang gadis berpakaian batik merah muda
duduk sendiri di pos ronda desa
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……

Sambil menunggu Rizal, aku menyusuri teras Villa Lacitra yang membujur sepanjang kamar-kamar. Hari itu aku baru saja selesai membantu dekorasi di Aula Serba Guna persiapan Hari Ulang Tahun Desa Rangkat. Teman-teman yang ikut membantu menuju kekamarnya masing-masing, sedangkan aku keluar kea rah depan menanti kedatangan sahabatku yang lain. Ketika melewati taman samping dekat kolam ikan, kulihat Dewa, salah satu kembang desa, duduk sendiri di pos ronda desa, asyik dengan buku ceritanya. Namanya sangat unik tapi orangnya berwajah manis dan ayu. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!

“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja mas,” Dewa tersenyum mengurut dada.
“Koq tumben ada disini, bukannya membantu bunda Yanti di dapur umum?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Sudah selesai. Mas ngapain?” dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Rizal nih!”
“Ada urusan penting ya! Koq sampai ditunggu segala.”
“Dia yang minta aku tunggu di pintu gerbang, katanya takut nyasar. Eh, buku apaan tuh?”
“Perawan Desa.”
“Wah hebat! Itu buku cerita pendek lama. Aku menggumi pengagum Putu Wijaya.”
“Hmmmm….”Dewa Cuma tersenyum manis.

Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!

“Hari ini dingin sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, padahal aku sudah pakai baju tebal dua rangkap, lho,” Dewa mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita bandrek bajigur, sambil menunggu Rizal datang?”
“O…. ide yang bagus, tuh. Yuk…!” Dewa tersenyum.

Kami berdua berjalan menuju cafeteria di depan Villa. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.

“O, iya kapan sih Festival Prosa Kolaborasi di Desa Rangkat dimulai?”
“Mungkin seminggu lagi. Ini baru mau di urus sama Rizal. Dewa ikut ya!”
“Nggak ah, Dewa baca aja deh,” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.

Sebenarnya aku sudah tahu kalau Dewa pernah ikut Festival Fiksi Kolaborasi. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama menghangatkan badan karena dinginnya udara malam itu.

“Eh, aku kemarin baca puisimu di Kompasiana.”
“O, iya.”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering,” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata mas Lala, mas Relly sering nulis puisi di majalah-majalah.”
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Lala. Lalu kamu percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi benar kan?”
“Hmmmm…, kalau benar, lalu kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Bagaimana sih caranya bikin puisi? Ajari aku dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajari juga bisa.”
“Untuk sukses mesti diajari dulu sama yang sudah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya sangat mudah sekali,” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja gitu sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Dewa mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepaskan dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E…. iya… iya begini, ya. Pokok utama kamu mesti pilih mau menulis apa. Mau menulis tentang kelinci kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Menulis pohon, rumah, bintang dan apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Dewa pada saat kamu mau menulisnya,” kataku sambil meminum bandrekku.
“Lalu?” Dewa tak sabar.
“Kalau sudah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Tunggu dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru,” Dewa tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal,” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen di tas pinggang ku. Setelah itu baru aku menulis ;

……Malam hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas bandrek bajigur ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-

Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..

“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Dewa sudah menyemprot.
“Aa…..ini sih ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho, kan cuma contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau kamu merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Dewa jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Dewa memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan.

Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar bandrek bajigur pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di pintu gerbang Villa Dewa bilang:

“Nanti mau nggak buatkan puisi untuk Dewa?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatkan puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Dewa, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis mukamu merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Dewa nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan aku bilang cinta. Hmmm, enak aja,” Dewa mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Dewa sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda,” aku menangkap lengannya.
“Habis mas jahat sih…”
“Iya deh. Aku sayang sama Dewa,” kembali aku menggoda. Dewa diam saja. Seperti orang bisu. Akhirnya kami duduk di pos ronda dekat pintu gerbang Villa. Kami berdua sama-sama membisu.
“Kamu marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Dewa tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Dewa tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Tapi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak,” dia menggelengkan kepalanya.
“Benar…..”
“Benar, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun, mas?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau kamu benar-benar ingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari semalam aku buat, khusus untukmu,” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran A4. Kertas itu sudah semalam menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau kamu itu suka koleksi puisi-puisi” Dewa menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih sahabatku yang baik. Mas Relly terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kamu Dewa,” Dewa menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya nanti akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Aku senang deh kalau mas mau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam sakunya.

Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa tiba-tiba datang sebuah angkot warna kuning berhenti di depan pintu gerbang.

“Itu pasti Rizal.”
“Iya, benar…tuh mulai nampak kacamatanya,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Halo, Relly!…Eh ini siapa?” sapa Rizal menyalamiku. Sementara Dewa tersenyum lebar.
“Aku Dewa mas Rizal…” Dewa menyalami Rizal.
“Oh, Dewa….akhirnya kita bisa bertemu juga. Apa kabarnya?” tanya Rizal sambil menyalami Dewa.
“Alhamdulillah, baik mas Rizal,” sahut Dewa. Aku hanya tersenyum diam.
“Jadi kalian berdua sengaja menungguku disini ya?” tanya Rizal.
“Lho, katanya minta ditunggu di depan, karena aku nggak ada teman, aku minta ditemani Dewa saja….” sahutku kemudian.
“Wah, sesuatu bangetz nih…..” Kami berdua tertawa lepas mendengar pernyataan Rizal tersebut.

Akhirnya kamipun masuk kedalam Villa menuju kamar tempat kami menginap. Saat itu di langit terlihat banyak bintang-bintang berkelap-kelip diterangi cahaya rembulan. Aku merasa bahagia sekali pada malam itu. Walaupun rasa dingin telah menusuk jantungku, namun hatiku tetap terasa hangat. Malam itu aku langsung membuat kenangan yang indah dalam puisi di Ulang Tahun Desa Rangkat.

………..Selamat datang kenangan
kau muncul dalam sekejap
membuat kuingat setiap saat
kini kau ciptakan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya

Aku ingin jujur padamu
aku ingin katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………

Pondok Petir, 24 Oktober 2011
(Cerpen : Edy Priyatna)