Pada pagi hari ini
aku siapkan sebuah anak panah
rasa dukaku yang dalam
untuk dilepaskan keatas langit
setelah kemarin meraih kebahagiaan
yang tak dapat dinilai berapa besarnya
Pada siang harinya
akan aku sampaikan cerita ini
langsung pada matahari
saat angin mulai bergerak
ditengah datangnya kecerahan
hingga membuat diriku merasa lebih lega
Pada malam harinya
aku akan titipkan busur pada bintang
agar mereka menyampaikan
rasa kasihku yang besar
pada rembulan yang telah pergi
agar dapat kembali lagi dengan bulatnya
(Pondok Petir, 04 Nopember 2011)
Sabtu, 24 Desember 2011
Kamis, 03 November 2011
HARAPANKU 3
Puisi : Edy Priyatna
Hujan belum mau jatuh ke bumi
ketika aku melangkahkan kaki kecil
meski kabut senja membuat samar mata memandang
jauh di depan masih ada seberkas sinar
namun keyakinan masih diserang keraguan kalbu
Bias pada lendir kelemayar memberi petunjuk
jalan berliku kian sarat kelelahan
mengikis habis sedikit demi sedikit
setubuh daya raga memberi pilihan
patah atau semangat yang hinggap
dalam hati yang selalu ada keluh
mengganggu benak untuk berperang
setelah habis mengasah pikiran
jejak-jejak dapat tertapak
meninggalkan rasa sia-sia
Cerah pada langit mulai bergerak
menandai lubang-lubang hitam
kendati angin badai membelai jiwa putih
menghempas memperpanjang waktu
untuk tiba disudut ruang baru
mengabadikan air kesedihan
dan gelas kegembiraan
pada dinding yang melukiskan angan
tempat membuat cinta dan cita
untuk dipersembahkan Sang Pencipta
dengan harap terhingga pada kelemahan hati
Cahaya itu akan datang
disetiap tarikan hembusan nafas
disetiap detak-detak jantung
akhir sebuah keyakinan kiranya takkan sia-sia
(Pondok Petir, 03 Nopember 2011)
Hujan belum mau jatuh ke bumi
ketika aku melangkahkan kaki kecil
meski kabut senja membuat samar mata memandang
jauh di depan masih ada seberkas sinar
namun keyakinan masih diserang keraguan kalbu
Bias pada lendir kelemayar memberi petunjuk
jalan berliku kian sarat kelelahan
mengikis habis sedikit demi sedikit
setubuh daya raga memberi pilihan
patah atau semangat yang hinggap
dalam hati yang selalu ada keluh
mengganggu benak untuk berperang
setelah habis mengasah pikiran
jejak-jejak dapat tertapak
meninggalkan rasa sia-sia
Cerah pada langit mulai bergerak
menandai lubang-lubang hitam
kendati angin badai membelai jiwa putih
menghempas memperpanjang waktu
untuk tiba disudut ruang baru
mengabadikan air kesedihan
dan gelas kegembiraan
pada dinding yang melukiskan angan
tempat membuat cinta dan cita
untuk dipersembahkan Sang Pencipta
dengan harap terhingga pada kelemahan hati
Cahaya itu akan datang
disetiap tarikan hembusan nafas
disetiap detak-detak jantung
akhir sebuah keyakinan kiranya takkan sia-sia
(Pondok Petir, 03 Nopember 2011)
BUKU SURAT CINTA KOMPASIANER
Hari ini aku mendapatkan sebuah paket dari Yogyakarta. Sebelum aku membuka paket itu aku langsung menebak kalau isi paket itu adalah sebuah buku. Aku jadi ingat dua bulan yang lalu tepatnya tanggal 13-14 Agustus 2011, ada sebuah event fiksi yang unik yang diselenggarakan oleh group facebook MPK (Malam Prosa Kolaborasi) yang saat ini namanya berubah menjadi Fiksiana Community, yaitu Fiksi Surat Cinta (FSC).
Event ini baru pertama kali diadakan di Kompasiana, karena sudah beberapa kali event-event fiksi diadakan seperti FFK (Festival Fiksi Kolaborasi) sebuah event penulisan secara kolaborasi tentang prosa, cerpen dan puisi, kemudian MPK (Malam Prosa Kolaborasi) yang isinya hampir sama. FSC justru lain dari pada yang lain, yakni membuat tulisan berupa surat cinta yang ditujukan untuk orang yang dicintai. Untuk pasangan imajinasi atau maya, maupun untuk pasangan sungguhan. Disamping itu juga boleh buat Ibu, Ayah, Kakak dan Adik serta siapapun itu atau bahkan bagi orang yang sudah tiada. Tentunya fiksi surat cinta ini harus berbentuk prosa maupun puisi atau perpaduan keduanya. Oleh karenanya aku sangat tertarik dengan event ini dan langsung mendukung sekali FSC dilaksanakan pada waktu itu.
Setelah kubuka isi paket itu ternyata memang benar adalah sebuah buku Antologi Karya, ‘Fiksi Surat Cinta’, oleh Kompasianer Peserta FSC, Agustus 2011. Buku tersebut diterbitkan oleh : Penerbit Shofia masih untuk kalangan sendiri. Banyak surat cinta yang menarik terdapat didalam buku itu. Terselenggaranya penerbitan buku ini bermula dari usulan para peserta termasuk aku sendiri dengan alasan bahwa MPK bisa kenapa FSC tidak? Sebelumnya MPK berhasil membukukan hasil karya event tersebut. Namun dari hasil event FSC yang sebenarnya telah menghasilkan lebih kurang 300 surat cinta dengan sekitar 258 peserta kompasianer yang tersebar di penjuru dunia, hanya 50 karya yang baru dibukukan. Mudah-mudahan akan ada buku FSC selanjutnya.
Dalam buku ‘Fiksi Surat Cinta’ ada salah satu karya kompasianer yang berhasil menjadi satu-satunya HL pada event tersebut yaitu surat cinta : ‘Sayang, Surat Ini Tak Mungkin Sampai Padamu’ (halaman 114 s/d 118), buah karya Miss Rochma, yang menggambarkan sebuah surat cinta dari seorang suami buat istrinya yang sangat romantis.
Buku yang berisi sebanyak 176 halaman dengan 50 karya, antara lain terdapat surat cinta ‘Suratku, Tragedi 1998, 13 Tahun Silam…’ (halaman pertama) oleh Langit, ‘Surat Cinta Kepada Ma Jingga’ (halaman 40) oleh Bowo bagus, ‘Dear My Airen’ (halaman 97) oleh Moussycha, ‘Untuk Gadis Berpesona Purnama’ (halaman 101) oleh Granito Ibrahim, ‘Tak Berhenti Mencintaimu’ (halaman 125) oleh Selsa, dan ‘Untuk Belahan Jiwaku’ (halaman 146) oleh Nenny Silvana dsb. Surat-surat cinta tersebut sangat asyik untuk dibaca.
Kemudian ‘Aku Selalu Rindu’ (halaman 83 s/d 87) adalah karyaku sendiri dengan tampilan yang agak berbeda dari yang lainnya (pada postingan kompasiana), merupakan perpaduan antara prosa dan puisi yang lumayan menariknya.
Buku ‘Fiksi Surat Cinta’ disusun secara apik dan menarik oleh : Mbak Langit, sebagai Koordinator Tim, Mbak Dyah Restiyani sebagai Penata Letak, Granito Ibrahim sebagai Desain Sampul. Ketika buku ini dikirim ke masing-masing kompasianer yang memesan, Fiksiana Community baru saja melakasanakan event Festival Puisi Kolaborasi (FPK) yang telah diikuti oleh lebih kurang 252 peserta. Dari event-event yang telah dilaksanakan terlihat selalu ada peningkatan. Dengan telah terbitnya buku FSC tersebut diharapkan akan selalu ada lagi event-event fiksi lainnya dan tentunya akan lebih menarik lagi sehingga Fiksiana Kompasiana akan selalu ramai dengan karya-karya yang gemilang. Semangat berkarya. Salam Fiksiana.-
(Pondok Petir, 02 Nopember 2011)
DIPERKOSA PUISI
Puisi : Edy Priyatna
Sosok seksi bertubuh padat
penuh coretan hitam
terurai panjang menggemaskan
tergambar jelas dilembar daun kuning nan kering
terlihat membentang merangsang
tiada terbalut sehelai benang
tampak buah yang ranum menantang telanjang
meronta-ronta mengelak menggelinjang
ketika kelopak keriput dibelai puisi
lalu tangan-tangan menyusuri kembang
bunga di taman merekah disiram
tanpa perduli pena tajam mengancam
(Pondok Petir, 02 Nopember 2011)
Sosok seksi bertubuh padat
penuh coretan hitam
terurai panjang menggemaskan
tergambar jelas dilembar daun kuning nan kering
terlihat membentang merangsang
tiada terbalut sehelai benang
tampak buah yang ranum menantang telanjang
meronta-ronta mengelak menggelinjang
ketika kelopak keriput dibelai puisi
lalu tangan-tangan menyusuri kembang
bunga di taman merekah disiram
tanpa perduli pena tajam mengancam
(Pondok Petir, 02 Nopember 2011)
[FF] JENNIFER, JANGAN DUA-DUANYA
Cermin : Edy Priyatna
(Pondok Petir, 31 Oktober 2011)
Jennifer seorang mahasiswi semester satu, baru saja duduk di bangku sebuah Perguruan Tinggi di Bandung mengirimkan surat kepada kedua orang tuanya di Desa Rangkat, sebuah desa terpencil di Indonesia :”Bapak dan Ibu, alhamdulillah, saat ini saya sudah mulai kuliah di Bandung. Kuliahnya dari pagi sampai sore. Teman-temanku di sini baik-baik semua, malah banyak juga yang berasal dari Desa Rangkat. Saya juga sudah kost, biayanya agak mahal sedikit enam ratus ribu rupiah per bulan. Oh ya, Bapak dan Ibu, nilai IP saya semester satu ini sudah keluar, yaitu 3,8. Doakan saya semoga kerasan tinggal di Bandung.”
—————
Sebulan kemudian, Jennifer menerima balasan surat dari orangtuanya :”Anakku, alhamdulillah kamu sudah mulai kuliah. Kami berdua mengharapkan kau cepat lulus dan membantu menyekolahkan adik-adikmu. Mohon maaf bila bulan depan uang kiriman kami agak telat, soalnya harga gabah sedang turun, kata orang-orang desa akibat Indonesia import beras dari luar negeri.Cuma kami agak sedikit kecewa melihat nilai kamu. Waktu di Ibtidaiyah, Tsanawiyah hingga Aliyah, nilai kamu kan tidak pernah di bawah 8, malah sering 9. Kok sekarang cuma 3,8 ? Ayo nak, rajin-rajinlah belajar. Jangan-jangan ini karena kamu tidak fokus ke kuliahmu ya ? Mungkin karena kamu ikut-ikutan kost yang bayarnya mahal itu ? Makanya nak, jangan diikuti semua, kalo mau kuliah ya kuliah, kost ya kost, jangan dua-duanya….”
PADA HUJAN DIAWAL NOPEMBER
Puisi : Edy Priyatna
Saat kutatap matamu
tergambar ada cinta tertahan
menanti indikasi luapan mendung
tanpa terucap peluklah daku
leburkan aku dalam hujanmu
sebuah kebimbangan di depan pintu hati
yang masih terkunci rapat
ketika kita memegang lilin
kolaborasi akhir Oktober lalu
Saat itu aku tahu kau tak tahu
telah datang rintik-rintik kesejukan
yang terbaring diatas mega kelabu
tertahan turun oleh kegalauan
dalam benak nan kacau
sebuah ketidaktahuan yang mendebarkan
yang membuat sirna rasa sakit
lama membenam tahun-tahun lalu
sebelum pertemuan itu tiba kemarin
Saat akhirnya titik-titik air berjatuhan
terasa deras hati ini tersiram
ketenangan telah menyelimuti
jiwa yang terbanjiri kehangatan
oleh tujuh pasang mata nan indah
sebuah kenangan cinta abadi
takkan terlupakan selama-lamanya
tercatat pada langit biru
pada hujan diawal Nopember
(Pondok Petir, 01 Nopember 2011)
Saat kutatap matamu
tergambar ada cinta tertahan
menanti indikasi luapan mendung
tanpa terucap peluklah daku
leburkan aku dalam hujanmu
sebuah kebimbangan di depan pintu hati
yang masih terkunci rapat
ketika kita memegang lilin
kolaborasi akhir Oktober lalu
Saat itu aku tahu kau tak tahu
telah datang rintik-rintik kesejukan
yang terbaring diatas mega kelabu
tertahan turun oleh kegalauan
dalam benak nan kacau
sebuah ketidaktahuan yang mendebarkan
yang membuat sirna rasa sakit
lama membenam tahun-tahun lalu
sebelum pertemuan itu tiba kemarin
Saat akhirnya titik-titik air berjatuhan
terasa deras hati ini tersiram
ketenangan telah menyelimuti
jiwa yang terbanjiri kehangatan
oleh tujuh pasang mata nan indah
sebuah kenangan cinta abadi
takkan terlupakan selama-lamanya
tercatat pada langit biru
pada hujan diawal Nopember
(Pondok Petir, 01 Nopember 2011)
KEPADA PEMUDA PEMUDI BANGSA
Oleh : Edy Priyatna + Febi Mutia (No.34)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
KEPADA PEMUDA PEMUDI BANGSA
Oleh : Edy Priyatna + Febi Mutia (No.34)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
Kawan,
Akan ku kisahkan sebuah cerita
tentang negeriku, negerimu dan negeri kita
Negeri dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
menebus jiwa, hilang
Sadarkah,
Bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani?
Renungkanlah dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Telisiklah…banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan bijaksana perlu kau camkan
Di sini adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
untuk kemajuan bangsa kita
untuk seterang dan menderangnya sang surya
Segeralah bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Bersemangatlah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
jangan pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir-Bandung, 28 Oktober 2011)
KISAH CINTA LADANG KENANGAN
Oleh : Edy Priyatna + Selsa Rengganis (No.250)
Masih ingatkah kau kekasihku
saat kita cengkrama di ladang tebu selepas sore
riang temani gelak canda
berpadu dalam pendar kemilau jingga
syahdu tersibak kuncup bunga tebu yang melambai
sang senja merambat menemui cintanya pada malam
dan rembulan hadir memayungi kita
dirimu mendekapku dalam rengkuhan gelora
membaur bersama pacu detak rindu
berpagut dalam buaian purnama yang mulai menyembul
semesta menjadi saksi ikrar penyatuan rasa……..
Dimanakah kini kau kekasihku
saat ini aku sedang berada di ladang tebu itu
sendiri hanya ditemani senja
yang mulai redup dalam sirnanya matahari
melenyapkan bunga-bunga yang telah layu
ditelan secara perlahan oleh pekat kegelapan
membuat langit berubah deras menyaksikanku
menulis kisah tentang kita……..
(Pondok Petir – Temanggung, 28 Oktober 2011)
Masih ingatkah kau kekasihku
saat kita cengkrama di ladang tebu selepas sore
riang temani gelak canda
berpadu dalam pendar kemilau jingga
syahdu tersibak kuncup bunga tebu yang melambai
sang senja merambat menemui cintanya pada malam
dan rembulan hadir memayungi kita
dirimu mendekapku dalam rengkuhan gelora
membaur bersama pacu detak rindu
berpagut dalam buaian purnama yang mulai menyembul
semesta menjadi saksi ikrar penyatuan rasa……..
Dimanakah kini kau kekasihku
saat ini aku sedang berada di ladang tebu itu
sendiri hanya ditemani senja
yang mulai redup dalam sirnanya matahari
melenyapkan bunga-bunga yang telah layu
ditelan secara perlahan oleh pekat kegelapan
membuat langit berubah deras menyaksikanku
menulis kisah tentang kita……..
(Pondok Petir – Temanggung, 28 Oktober 2011)
MAAFKAN KAMI WAHAI PEMIMPIN BANGSA
Oleh : Edy Priyatna + Ina (No.99)
Maafkan kami…..
hari ini kami hampr lupa dasar negara
karena tiada nampak lagi dalam kehidupan bangsa
yang keadilannya telah sirna
hingga sumpah bangsapun tak ingat pula
apalah daya……..
Maafkan kami…..
kami hanya ingat ketuhanan yang maha esa
walaupun banyak perbedaan
kami ingat sedikit kemanusiaan
kendati masih belum adil dan beradab
kami juga ingat persatuan
tetapi masih banyak yang bercerai berai
kami tidak mengerti kerakyatan
yang kini dipimpin oleh wakilnya
kami mulai benci keadilan sosial
hingga kini telah hilang satu demi satu
Maafkan kami…..
kemarin mungkin kami terlalu senang
maklum……..
karena terlalu lama bersedih
selama 45 tahun
kami telah lupa arti
kami telah lupa diri
terbuai mimpi-mimpi reformasi
Maafkan kami…..
besok mungkin kami tak dapat bernyanyi
gita perkasa burung negara
karena jarang terdengar lagi
begitu pula bagimu negeri
ingat lagunya lupa syairnya
Maafkan kami…..
dulu kami tahu telah diajarkan
bahkan kami telah dicekoki
apa arti dasar negara
dengan gita semangat juang
pada lagu pekik merdeka
namun tak pernah merasakanya
Maafkan kami…..
sekarang kami tidak mengeluh
sekarang kami bukan merengek
karena kami tak ingin hidup sia-sia
perkenankanlah kami mencari kembali
tanah tumpah darahku
yang telah tercecer dipelosok nusantara
agar ingat lagi semua yang sirna
agar merasa telah merdeka
agar sadar dasar negara
agar kami ingat telah berjanji
bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu
Indonesia
(Pondok Petir - Hongkong, 28 Oktober 2011)
Maafkan kami…..
hari ini kami hampr lupa dasar negara
karena tiada nampak lagi dalam kehidupan bangsa
yang keadilannya telah sirna
hingga sumpah bangsapun tak ingat pula
apalah daya……..
Maafkan kami…..
kami hanya ingat ketuhanan yang maha esa
walaupun banyak perbedaan
kami ingat sedikit kemanusiaan
kendati masih belum adil dan beradab
kami juga ingat persatuan
tetapi masih banyak yang bercerai berai
kami tidak mengerti kerakyatan
yang kini dipimpin oleh wakilnya
kami mulai benci keadilan sosial
hingga kini telah hilang satu demi satu
Maafkan kami…..
kemarin mungkin kami terlalu senang
maklum……..
karena terlalu lama bersedih
selama 45 tahun
kami telah lupa arti
kami telah lupa diri
terbuai mimpi-mimpi reformasi
Maafkan kami…..
besok mungkin kami tak dapat bernyanyi
gita perkasa burung negara
karena jarang terdengar lagi
begitu pula bagimu negeri
ingat lagunya lupa syairnya
Maafkan kami…..
dulu kami tahu telah diajarkan
bahkan kami telah dicekoki
apa arti dasar negara
dengan gita semangat juang
pada lagu pekik merdeka
namun tak pernah merasakanya
Maafkan kami…..
sekarang kami tidak mengeluh
sekarang kami bukan merengek
karena kami tak ingin hidup sia-sia
perkenankanlah kami mencari kembali
tanah tumpah darahku
yang telah tercecer dipelosok nusantara
agar ingat lagi semua yang sirna
agar merasa telah merdeka
agar sadar dasar negara
agar kami ingat telah berjanji
bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu
Indonesia
(Pondok Petir - Hongkong, 28 Oktober 2011)
SESUAI PORSI
Oleh: Edy Priyatna + Nyi Pede (No.248)
selembar senyum perih ditanam
dari kabar orang-orang di sawah
sungai kerontang kelam menghitam
langit cerah terlihat tiada ingin tumpah
pencuri datang mengoyak-ngoyak
melihat padi yang mulai tumbuh
petani memburu jejak-jejak pijak
mempertahankan hasil panen nan utuh
hari ini aku pergi ke desa
membawa pesan dari sahabat
kabar indah dari semesta
air jatuh membawa nasihat
Jagung-jagung milik petani
subur dihujani terik mentari
sementara kulihat tikus-tikus mati
mereka telah diracun bumi
Tuhan senantiasa membagi sesuai porsi
dengan modal kebersamaan hati
saling memberi dan berbagi
agar tercipta kerukunan abadi
bila ada sepetak harap
inginku tanam kebahagiaan
agar anak cucu dapat mencecap
indahnya keselarasan dari Tuhan
(Pondok Petir - Denpasar, 28 Oktober 2011)
selembar senyum perih ditanam
dari kabar orang-orang di sawah
sungai kerontang kelam menghitam
langit cerah terlihat tiada ingin tumpah
pencuri datang mengoyak-ngoyak
melihat padi yang mulai tumbuh
petani memburu jejak-jejak pijak
mempertahankan hasil panen nan utuh
hari ini aku pergi ke desa
membawa pesan dari sahabat
kabar indah dari semesta
air jatuh membawa nasihat
Jagung-jagung milik petani
subur dihujani terik mentari
sementara kulihat tikus-tikus mati
mereka telah diracun bumi
Tuhan senantiasa membagi sesuai porsi
dengan modal kebersamaan hati
saling memberi dan berbagi
agar tercipta kerukunan abadi
bila ada sepetak harap
inginku tanam kebahagiaan
agar anak cucu dapat mencecap
indahnya keselarasan dari Tuhan
(Pondok Petir - Denpasar, 28 Oktober 2011)
SUMPAHKU
Edy Priyatna + Ningwang Rozi (No.102)
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Pemuda dan pemudi itu bersumpah demi persatuan, demi lahirnya sebuah bangsa dan demi sebuah kemerdekaan walaupun nyawa taruhannya.
Seingatku sumpah pemuda pada hingga kini sudah 83 tahun berlalu dan sumpah itu masih tetap berbunyi ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Sehingga sekarang aku jadi tahu bahwa ; Angin semakin deras menderu tak ada cara lain untuk mewujudkannya. Aku harus membuat pemuda bersatu. Aku harus menghilangkan rasa ego dihati, demi sebuah sumpah persatuan. Sumpah Pemuda untuk Indonesia senantiasa tetap bersatu.
(Bondowoso - Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Seingatku sumpah pemuda pada waktu itu adalah ; Pemuda dan pemudi itu bersumpah demi persatuan, demi lahirnya sebuah bangsa dan demi sebuah kemerdekaan walaupun nyawa taruhannya.
Seingatku sumpah pemuda pada hingga kini sudah 83 tahun berlalu dan sumpah itu masih tetap berbunyi ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Sehingga sekarang aku jadi tahu bahwa ; Angin semakin deras menderu tak ada cara lain untuk mewujudkannya. Aku harus membuat pemuda bersatu. Aku harus menghilangkan rasa ego dihati, demi sebuah sumpah persatuan. Sumpah Pemuda untuk Indonesia senantiasa tetap bersatu.
(Bondowoso - Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
SEPOTONG KEBISUAN CINTA [FPK]
Oleh : Tanti Sri Hartantie + Edy Priyatna (No.32)
*
Perempuan……..
Kau pasti tahu betapa sakitnya cinta dalam diam
dawai-dawai indah cinta yang terbalut dalam bungkam
diam yang berarti emas tidak berlaku disini
bagi cinta, diamnya adalah neraka
Kembaliku tersungkur di sudut-sudut perih
mengebiri rindu yang terbungkus sepi
sunyi… sunyi sendiri aku bosan
bagaimana mungkin aku melewati setiap duri kehidupan ini
sedang penantianku telah ditelanjangi oleh waktu
Detak jantungku selalu mengejar waktu
Tatkala jalanku tidak searah lagi
Mengingat kalbu telah tertitip jauh
Benakku kini sudah hampir penuh bayang-bayang rasa
Mestinya keheningan tak membuatku sepi
Bukankah di setiap mata lelaki itu mengandung binar liar serigala
dan di setiap lekuk tubuh wanita mampu meliarkannya
aliran meridian energi yang semakin membahana
untukmu yang selalu diam mencintaiku
*
(Cilacap – Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
*
Perempuan……..
Kau pasti tahu betapa sakitnya cinta dalam diam
dawai-dawai indah cinta yang terbalut dalam bungkam
diam yang berarti emas tidak berlaku disini
bagi cinta, diamnya adalah neraka
Kembaliku tersungkur di sudut-sudut perih
mengebiri rindu yang terbungkus sepi
sunyi… sunyi sendiri aku bosan
bagaimana mungkin aku melewati setiap duri kehidupan ini
sedang penantianku telah ditelanjangi oleh waktu
Detak jantungku selalu mengejar waktu
Tatkala jalanku tidak searah lagi
Mengingat kalbu telah tertitip jauh
Benakku kini sudah hampir penuh bayang-bayang rasa
Mestinya keheningan tak membuatku sepi
Bukankah di setiap mata lelaki itu mengandung binar liar serigala
dan di setiap lekuk tubuh wanita mampu meliarkannya
aliran meridian energi yang semakin membahana
untukmu yang selalu diam mencintaiku
*
(Cilacap – Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
AKU ADALAH OKTOBER [FPK]
Oleh : Rieya MissRochma + Edy Priyatna (No.240)
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur dadaku. Agar kita mampu bercumbu.
Mesra, tanpa paksa.
Cintailah aku.
Walau hanya sekejap waktuku dan waktumu.
Di pagiku dan pagimu. Di siangku dan siangmu. Di malamku dan malammu.
Sebab nanti akan selamanya : berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Sembari menulis diujung daun yang mulai menghijau karena rengekan langit.
Aku pun menulis dengan ujung pena di ujung senyum hatimu.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan indah.
Sejuk.
Siap menangkapmu dengan titik-titik lelehan es yang jatuh memberi kedamaian jiwa.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan damai.
Meski berkelabatlah jasadku bagai halilitar menggelegar.
Tapi tangkap sinar yang terpancar dari jasadku,
Untuk menemanimu terlelap dengan pelukan gelap yang pekat.
Bahwa ;
Diriku, Oktober tiada gersang.
Maka jadilah kemarau hujanku. Atau hujan kemarauku.
Uaplah embun dan terangi panas. Atau lepaslah panas dan siram airmu.
Hembuskan badai yang deras. Leburlah diriku dengan gunturmu,
Hingga mendidih dan meluap. Meletus hebat.
Bahwa :
Diriku, Oktober. Yang masih tetap Oktober di tepian tahun.
Maka jadilah takdirku.
Sedialah engkau, rekatkan aku dipunggungmu. Tariklah dengan kencang tali yang menjulur di sela-sela kulit kasarku.
Lumatlah diriku dengan irama-irama,
Bagaikan alu-alu menari diatas lesung. Menari bersama padi kedamaian.
Cintailah aku.
Seperti gunung yang menumpahkan kasihnya pada petani pasir.
Seperti mati yang ditunggu pemuja Tuhan karena takut tersandung duniawi.
Seperti hidup yang meringis karena kelaparan memenuhi koran-koran harian.
Seperti tsunami yang berlari-lari menjemput bibir pantai yang seksi.
Seperti bangun dari lumpur kubangan,
kemudian hujan deras menusuk kelopak batas.
Memukul punggung kalbu, mengerang kenikmatan jiwa.
Cintailah aku.
Entah bagaimana maumu. Dan aku yakin itulah maumu.
Karena malu tak kan menyakitimu. Karena takut tak kan menjatuhkanmu.
Dan ragu tak kan menyesakkanmu.
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur jiwaku.
Cintailah aku, walau hanya sebentar.
Pagi siang malam. Sebab nantinya akan abadi.
Berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berabad-abad.
Cintailah aku.
Dengan kesucian. Dengan keindahan. Dengan kesejukan. Dengan kedamaian. Dengan kelembutan.
Dan bukalah hatimu.
Lalu belahlah dadaku. Raihlah hati yang telanjang.
Agar dapat bersanggama.
Karena aku telah mencintaimu,
Berwaktu-waktu lamanya.
(Gresik-Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur dadaku. Agar kita mampu bercumbu.
Mesra, tanpa paksa.
Cintailah aku.
Walau hanya sekejap waktuku dan waktumu.
Di pagiku dan pagimu. Di siangku dan siangmu. Di malamku dan malammu.
Sebab nanti akan selamanya : berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Sembari menulis diujung daun yang mulai menghijau karena rengekan langit.
Aku pun menulis dengan ujung pena di ujung senyum hatimu.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan indah.
Sejuk.
Siap menangkapmu dengan titik-titik lelehan es yang jatuh memberi kedamaian jiwa.
Bahwa ;
Diriku, Oktober nan damai.
Meski berkelabatlah jasadku bagai halilitar menggelegar.
Tapi tangkap sinar yang terpancar dari jasadku,
Untuk menemanimu terlelap dengan pelukan gelap yang pekat.
Bahwa ;
Diriku, Oktober tiada gersang.
Maka jadilah kemarau hujanku. Atau hujan kemarauku.
Uaplah embun dan terangi panas. Atau lepaslah panas dan siram airmu.
Hembuskan badai yang deras. Leburlah diriku dengan gunturmu,
Hingga mendidih dan meluap. Meletus hebat.
Bahwa :
Diriku, Oktober. Yang masih tetap Oktober di tepian tahun.
Maka jadilah takdirku.
Sedialah engkau, rekatkan aku dipunggungmu. Tariklah dengan kencang tali yang menjulur di sela-sela kulit kasarku.
Lumatlah diriku dengan irama-irama,
Bagaikan alu-alu menari diatas lesung. Menari bersama padi kedamaian.
Cintailah aku.
Seperti gunung yang menumpahkan kasihnya pada petani pasir.
Seperti mati yang ditunggu pemuja Tuhan karena takut tersandung duniawi.
Seperti hidup yang meringis karena kelaparan memenuhi koran-koran harian.
Seperti tsunami yang berlari-lari menjemput bibir pantai yang seksi.
Seperti bangun dari lumpur kubangan,
kemudian hujan deras menusuk kelopak batas.
Memukul punggung kalbu, mengerang kenikmatan jiwa.
Cintailah aku.
Entah bagaimana maumu. Dan aku yakin itulah maumu.
Karena malu tak kan menyakitimu. Karena takut tak kan menjatuhkanmu.
Dan ragu tak kan menyesakkanmu.
Cintailah aku sepenuh hati.
Tetaplah pada jalur jiwaku.
Cintailah aku, walau hanya sebentar.
Pagi siang malam. Sebab nantinya akan abadi.
Berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berabad-abad.
Cintailah aku.
Dengan kesucian. Dengan keindahan. Dengan kesejukan. Dengan kedamaian. Dengan kelembutan.
Dan bukalah hatimu.
Lalu belahlah dadaku. Raihlah hati yang telanjang.
Agar dapat bersanggama.
Karena aku telah mencintaimu,
Berwaktu-waktu lamanya.
(Gresik-Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
KEPADA PEMUDA BANGSA
Yang dulu telah berjuang
yang kemudian menjadi pahlawan
yang kini telah mewarisi
janji sumpah yang senantiasa bergema
tiada henti di seluruh penjuru nusantara
kami putra dan putri Indonesia berjanji,
akan menjaga untuk tetap bersatu
akan mengabadikan lentera nusantaramu
akan melebur semangat 28 Oktober menjadi pedang yang tajam
untuk selalu menjaga Sumpah Pemuda tetap bergema
kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia
sampai mentari tenggelam di seberang timur……..
(Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
yang kemudian menjadi pahlawan
yang kini telah mewarisi
janji sumpah yang senantiasa bergema
tiada henti di seluruh penjuru nusantara
kami putra dan putri Indonesia berjanji,
akan menjaga untuk tetap bersatu
akan mengabadikan lentera nusantaramu
akan melebur semangat 28 Oktober menjadi pedang yang tajam
untuk selalu menjaga Sumpah Pemuda tetap bergema
kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia
sampai mentari tenggelam di seberang timur……..
(Pondok Petir, 28 Oktober 2011)
WAKTUKU
Puisi : Edy Priyatna
(…..jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
Kulihat selalu putaran itu
geraknya begitu cepat
padahal belum sempat berkata maaf
pada mereka semua……..
orang tuaku
keluargaku
saudaraku
sahabatku
atas kesalahan yang melimpah dalam hidup
Berhentilah sebentar!
aku ingin menyampaikan……..
aku akan mengatakan sesuatu
“ampunilah dosa-dosaku ya Allah”
“ampunilah dosa-dosaku ibu…..”
“ampunilah dosa-dosaku ayah……”
“ampunilah dosa-dosaku istriku, anakku…….”
“ampunilah dosa-dosaku adik-adikku, kakak-kakakku……..”
“ampunilah dosa-dosaku saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku………”
Dapatkah menunggu barang sejenak?
mengapa kau tak menjawab pertanyaanku……..?
(..…jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
(Pondok Petir, 27 Oktober 2011)
(…..jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
Kulihat selalu putaran itu
geraknya begitu cepat
padahal belum sempat berkata maaf
pada mereka semua……..
orang tuaku
keluargaku
saudaraku
sahabatku
atas kesalahan yang melimpah dalam hidup
Berhentilah sebentar!
aku ingin menyampaikan……..
aku akan mengatakan sesuatu
“ampunilah dosa-dosaku ya Allah”
“ampunilah dosa-dosaku ibu…..”
“ampunilah dosa-dosaku ayah……”
“ampunilah dosa-dosaku istriku, anakku…….”
“ampunilah dosa-dosaku adik-adikku, kakak-kakakku……..”
“ampunilah dosa-dosaku saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku………”
Dapatkah menunggu barang sejenak?
mengapa kau tak menjawab pertanyaanku……..?
(..…jarum jam di dinding terus berputar tak pernah berhenti…..)
(Pondok Petir, 27 Oktober 2011)
SAJAK BUAT DEWA
Cerpen : Edy Priyatna
…….Ketika rembulan bertengger di atas gunung
bintang-bintang mulai bertebaran di langit terang
dua ekor burung senja berkejar-kejaran
mengusik rasa di malam hening.
……Seorang gadis berpakaian batik merah muda
duduk sendiri di pos ronda desa
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……
Sambil menunggu Rizal, aku menyusuri teras Villa Lacitra yang membujur sepanjang kamar-kamar. Hari itu aku baru saja selesai membantu dekorasi di Aula Serba Guna persiapan Hari Ulang Tahun Desa Rangkat. Teman-teman yang ikut membantu menuju kekamarnya masing-masing, sedangkan aku keluar kea rah depan menanti kedatangan sahabatku yang lain. Ketika melewati taman samping dekat kolam ikan, kulihat Dewa, salah satu kembang desa, duduk sendiri di pos ronda desa, asyik dengan buku ceritanya. Namanya sangat unik tapi orangnya berwajah manis dan ayu. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!
“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja mas,” Dewa tersenyum mengurut dada.
“Koq tumben ada disini, bukannya membantu bunda Yanti di dapur umum?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Sudah selesai. Mas ngapain?” dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Rizal nih!”
“Ada urusan penting ya! Koq sampai ditunggu segala.”
“Dia yang minta aku tunggu di pintu gerbang, katanya takut nyasar. Eh, buku apaan tuh?”
“Perawan Desa.”
“Wah hebat! Itu buku cerita pendek lama. Aku menggumi pengagum Putu Wijaya.”
“Hmmmm….”Dewa Cuma tersenyum manis.
Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!
“Hari ini dingin sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, padahal aku sudah pakai baju tebal dua rangkap, lho,” Dewa mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita bandrek bajigur, sambil menunggu Rizal datang?”
“O…. ide yang bagus, tuh. Yuk…!” Dewa tersenyum.
Kami berdua berjalan menuju cafeteria di depan Villa. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.
“O, iya kapan sih Festival Prosa Kolaborasi di Desa Rangkat dimulai?”
“Mungkin seminggu lagi. Ini baru mau di urus sama Rizal. Dewa ikut ya!”
“Nggak ah, Dewa baca aja deh,” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sebenarnya aku sudah tahu kalau Dewa pernah ikut Festival Fiksi Kolaborasi. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama menghangatkan badan karena dinginnya udara malam itu.
“Eh, aku kemarin baca puisimu di Kompasiana.”
“O, iya.”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering,” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata mas Lala, mas Relly sering nulis puisi di majalah-majalah.”
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Lala. Lalu kamu percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi benar kan?”
“Hmmmm…, kalau benar, lalu kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Bagaimana sih caranya bikin puisi? Ajari aku dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajari juga bisa.”
“Untuk sukses mesti diajari dulu sama yang sudah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya sangat mudah sekali,” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja gitu sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Dewa mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepaskan dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E…. iya… iya begini, ya. Pokok utama kamu mesti pilih mau menulis apa. Mau menulis tentang kelinci kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Menulis pohon, rumah, bintang dan apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Dewa pada saat kamu mau menulisnya,” kataku sambil meminum bandrekku.
“Lalu?” Dewa tak sabar.
“Kalau sudah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Tunggu dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru,” Dewa tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal,” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen di tas pinggang ku. Setelah itu baru aku menulis ;
……Malam hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas bandrek bajigur ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-
Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..
“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Dewa sudah menyemprot.
“Aa…..ini sih ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho, kan cuma contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau kamu merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Dewa jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Dewa memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan.
Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar bandrek bajigur pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di pintu gerbang Villa Dewa bilang:
“Nanti mau nggak buatkan puisi untuk Dewa?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatkan puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Dewa, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis mukamu merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Dewa nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan aku bilang cinta. Hmmm, enak aja,” Dewa mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Dewa sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda,” aku menangkap lengannya.
“Habis mas jahat sih…”
“Iya deh. Aku sayang sama Dewa,” kembali aku menggoda. Dewa diam saja. Seperti orang bisu. Akhirnya kami duduk di pos ronda dekat pintu gerbang Villa. Kami berdua sama-sama membisu.
“Kamu marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Dewa tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Dewa tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Tapi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak,” dia menggelengkan kepalanya.
“Benar…..”
“Benar, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun, mas?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau kamu benar-benar ingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari semalam aku buat, khusus untukmu,” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran A4. Kertas itu sudah semalam menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau kamu itu suka koleksi puisi-puisi” Dewa menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih sahabatku yang baik. Mas Relly terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kamu Dewa,” Dewa menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya nanti akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Aku senang deh kalau mas mau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam sakunya.
Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa tiba-tiba datang sebuah angkot warna kuning berhenti di depan pintu gerbang.
“Itu pasti Rizal.”
“Iya, benar…tuh mulai nampak kacamatanya,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Halo, Relly!…Eh ini siapa?” sapa Rizal menyalamiku. Sementara Dewa tersenyum lebar.
“Aku Dewa mas Rizal…” Dewa menyalami Rizal.
“Oh, Dewa….akhirnya kita bisa bertemu juga. Apa kabarnya?” tanya Rizal sambil menyalami Dewa.
“Alhamdulillah, baik mas Rizal,” sahut Dewa. Aku hanya tersenyum diam.
“Jadi kalian berdua sengaja menungguku disini ya?” tanya Rizal.
“Lho, katanya minta ditunggu di depan, karena aku nggak ada teman, aku minta ditemani Dewa saja….” sahutku kemudian.
“Wah, sesuatu bangetz nih…..” Kami berdua tertawa lepas mendengar pernyataan Rizal tersebut.
Akhirnya kamipun masuk kedalam Villa menuju kamar tempat kami menginap. Saat itu di langit terlihat banyak bintang-bintang berkelap-kelip diterangi cahaya rembulan. Aku merasa bahagia sekali pada malam itu. Walaupun rasa dingin telah menusuk jantungku, namun hatiku tetap terasa hangat. Malam itu aku langsung membuat kenangan yang indah dalam puisi di Ulang Tahun Desa Rangkat.
………..Selamat datang kenangan
kau muncul dalam sekejap
membuat kuingat setiap saat
kini kau ciptakan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya
Aku ingin jujur padamu
aku ingin katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………
Pondok Petir, 24 Oktober 2011
(Cerpen : Edy Priyatna)
…….Ketika rembulan bertengger di atas gunung
bintang-bintang mulai bertebaran di langit terang
dua ekor burung senja berkejar-kejaran
mengusik rasa di malam hening.
……Seorang gadis berpakaian batik merah muda
duduk sendiri di pos ronda desa
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……
Sambil menunggu Rizal, aku menyusuri teras Villa Lacitra yang membujur sepanjang kamar-kamar. Hari itu aku baru saja selesai membantu dekorasi di Aula Serba Guna persiapan Hari Ulang Tahun Desa Rangkat. Teman-teman yang ikut membantu menuju kekamarnya masing-masing, sedangkan aku keluar kea rah depan menanti kedatangan sahabatku yang lain. Ketika melewati taman samping dekat kolam ikan, kulihat Dewa, salah satu kembang desa, duduk sendiri di pos ronda desa, asyik dengan buku ceritanya. Namanya sangat unik tapi orangnya berwajah manis dan ayu. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!
“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja mas,” Dewa tersenyum mengurut dada.
“Koq tumben ada disini, bukannya membantu bunda Yanti di dapur umum?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Sudah selesai. Mas ngapain?” dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Rizal nih!”
“Ada urusan penting ya! Koq sampai ditunggu segala.”
“Dia yang minta aku tunggu di pintu gerbang, katanya takut nyasar. Eh, buku apaan tuh?”
“Perawan Desa.”
“Wah hebat! Itu buku cerita pendek lama. Aku menggumi pengagum Putu Wijaya.”
“Hmmmm….”Dewa Cuma tersenyum manis.
Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!
“Hari ini dingin sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, padahal aku sudah pakai baju tebal dua rangkap, lho,” Dewa mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita bandrek bajigur, sambil menunggu Rizal datang?”
“O…. ide yang bagus, tuh. Yuk…!” Dewa tersenyum.
Kami berdua berjalan menuju cafeteria di depan Villa. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.
“O, iya kapan sih Festival Prosa Kolaborasi di Desa Rangkat dimulai?”
“Mungkin seminggu lagi. Ini baru mau di urus sama Rizal. Dewa ikut ya!”
“Nggak ah, Dewa baca aja deh,” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sebenarnya aku sudah tahu kalau Dewa pernah ikut Festival Fiksi Kolaborasi. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama menghangatkan badan karena dinginnya udara malam itu.
“Eh, aku kemarin baca puisimu di Kompasiana.”
“O, iya.”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering,” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata mas Lala, mas Relly sering nulis puisi di majalah-majalah.”
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Lala. Lalu kamu percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi benar kan?”
“Hmmmm…, kalau benar, lalu kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Bagaimana sih caranya bikin puisi? Ajari aku dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajari juga bisa.”
“Untuk sukses mesti diajari dulu sama yang sudah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya sangat mudah sekali,” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja gitu sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Dewa mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepaskan dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E…. iya… iya begini, ya. Pokok utama kamu mesti pilih mau menulis apa. Mau menulis tentang kelinci kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Menulis pohon, rumah, bintang dan apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Dewa pada saat kamu mau menulisnya,” kataku sambil meminum bandrekku.
“Lalu?” Dewa tak sabar.
“Kalau sudah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Tunggu dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru,” Dewa tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal,” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen di tas pinggang ku. Setelah itu baru aku menulis ;
……Malam hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas bandrek bajigur ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-
Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..
“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Dewa sudah menyemprot.
“Aa…..ini sih ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho, kan cuma contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau kamu merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Dewa jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Dewa memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan.
Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar bandrek bajigur pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di pintu gerbang Villa Dewa bilang:
“Nanti mau nggak buatkan puisi untuk Dewa?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatkan puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Dewa, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis mukamu merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Dewa nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan aku bilang cinta. Hmmm, enak aja,” Dewa mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Dewa sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda,” aku menangkap lengannya.
“Habis mas jahat sih…”
“Iya deh. Aku sayang sama Dewa,” kembali aku menggoda. Dewa diam saja. Seperti orang bisu. Akhirnya kami duduk di pos ronda dekat pintu gerbang Villa. Kami berdua sama-sama membisu.
“Kamu marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Dewa tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Dewa tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Tapi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak,” dia menggelengkan kepalanya.
“Benar…..”
“Benar, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun, mas?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau kamu benar-benar ingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari semalam aku buat, khusus untukmu,” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran A4. Kertas itu sudah semalam menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau kamu itu suka koleksi puisi-puisi” Dewa menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih sahabatku yang baik. Mas Relly terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kamu Dewa,” Dewa menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya nanti akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Aku senang deh kalau mas mau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam sakunya.
Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa tiba-tiba datang sebuah angkot warna kuning berhenti di depan pintu gerbang.
“Itu pasti Rizal.”
“Iya, benar…tuh mulai nampak kacamatanya,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Halo, Relly!…Eh ini siapa?” sapa Rizal menyalamiku. Sementara Dewa tersenyum lebar.
“Aku Dewa mas Rizal…” Dewa menyalami Rizal.
“Oh, Dewa….akhirnya kita bisa bertemu juga. Apa kabarnya?” tanya Rizal sambil menyalami Dewa.
“Alhamdulillah, baik mas Rizal,” sahut Dewa. Aku hanya tersenyum diam.
“Jadi kalian berdua sengaja menungguku disini ya?” tanya Rizal.
“Lho, katanya minta ditunggu di depan, karena aku nggak ada teman, aku minta ditemani Dewa saja….” sahutku kemudian.
“Wah, sesuatu bangetz nih…..” Kami berdua tertawa lepas mendengar pernyataan Rizal tersebut.
Akhirnya kamipun masuk kedalam Villa menuju kamar tempat kami menginap. Saat itu di langit terlihat banyak bintang-bintang berkelap-kelip diterangi cahaya rembulan. Aku merasa bahagia sekali pada malam itu. Walaupun rasa dingin telah menusuk jantungku, namun hatiku tetap terasa hangat. Malam itu aku langsung membuat kenangan yang indah dalam puisi di Ulang Tahun Desa Rangkat.
………..Selamat datang kenangan
kau muncul dalam sekejap
membuat kuingat setiap saat
kini kau ciptakan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya
Aku ingin jujur padamu
aku ingin katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………
Pondok Petir, 24 Oktober 2011
(Cerpen : Edy Priyatna)
PESAN BUAT SAHABAT 2
Sahabat……..
hari pertama mulai berkesan
penantian mendebarkan hati
menyentak rasa suka citaku
Sahabat……..
pagi terlihat sangat cerah
embunnya menguap pancarkan sinar
membangunkan jiwa pelangiku
Sahabat
siang datang begitu pesat
serupa terang mentari melayang
menembus batas rinduku
Sahabat……..
malam masih tetap terjaga
bagai gelap yang telah sirna
menghilang dibalik rembulanku
Sahabat……..
goresanmu telah melingkari hati
melepas semua rindu pada malammu
bayangmu biaskan jiwa yang tenggelam
menciptakan mimpi-mimpi indah
Sahabat……..
kenangkan di dada tentang jiwa
teteskan kesejukan dalam damai
torehkan keindahan dalam ramai
hingga tembus dalam ruang dan waktu
dan akan kuterbangkan angan
tentang lukisan senjamu
kunyanyikan kidung-kidung malam
untuk penutup langitmu
lalu kutulis dalam lembar-lembar hati ini
tentang cerita malam serta pesan dan kesan
agar tetap dapat tersimpan semua cita-cita kita
(Pondok petir, 23 Oktober 2011)
hari pertama mulai berkesan
penantian mendebarkan hati
menyentak rasa suka citaku
Sahabat……..
pagi terlihat sangat cerah
embunnya menguap pancarkan sinar
membangunkan jiwa pelangiku
Sahabat
siang datang begitu pesat
serupa terang mentari melayang
menembus batas rinduku
Sahabat……..
malam masih tetap terjaga
bagai gelap yang telah sirna
menghilang dibalik rembulanku
Sahabat……..
goresanmu telah melingkari hati
melepas semua rindu pada malammu
bayangmu biaskan jiwa yang tenggelam
menciptakan mimpi-mimpi indah
Sahabat……..
kenangkan di dada tentang jiwa
teteskan kesejukan dalam damai
torehkan keindahan dalam ramai
hingga tembus dalam ruang dan waktu
dan akan kuterbangkan angan
tentang lukisan senjamu
kunyanyikan kidung-kidung malam
untuk penutup langitmu
lalu kutulis dalam lembar-lembar hati ini
tentang cerita malam serta pesan dan kesan
agar tetap dapat tersimpan semua cita-cita kita
(Pondok petir, 23 Oktober 2011)
MELEPAS SENJA
Raga ini mulai ringkih
setelah melangkahkan kaki
pada malam tak bergairah
kemudian……..
dibiarkannya langit hitam nan kosong
daun-daun tak bersuara
ketika datang hampa udara
menunda turunnya hujan
dibiarkannya lembar goresan beku
dengan setangkai pena kaku
tertulis tajam dalam sajak
menusuk dada yang sesak
dibiarkannya matahari melumat tubuh
memancarkan cahaya sinar
yang melepaskan isi jiwa
sambil menghitung dengan pasti
panggilan yang mampir di ruang diri
padahal kematian bukan sekedar kepindahan
(Pondok Petir, 21 Oktober 2011)
setelah melangkahkan kaki
pada malam tak bergairah
kemudian……..
dibiarkannya langit hitam nan kosong
daun-daun tak bersuara
ketika datang hampa udara
menunda turunnya hujan
dibiarkannya lembar goresan beku
dengan setangkai pena kaku
tertulis tajam dalam sajak
menusuk dada yang sesak
dibiarkannya matahari melumat tubuh
memancarkan cahaya sinar
yang melepaskan isi jiwa
sambil menghitung dengan pasti
panggilan yang mampir di ruang diri
padahal kematian bukan sekedar kepindahan
(Pondok Petir, 21 Oktober 2011)
KEPADA DESA RANGKAT
Bangunlah dengan semangat kebahagiaan
lupakan keresahan-keresahan
bercahayalah dengan keseimbangan
cerahlah dengan senyum matahari
berawan putih di langit biru
berpadi kuning di sawah hijau
di tanah merah berlapis coklat
lapisi abu-abumu dengan jingga
lalu hujanlah untuk melepas segala kerinduan
keindahan hati…..
kesejukan ruang……
kedamaian jiwa…….
keramaian desa……..
Hari-hari telah lewat walau perlahan tapi amat pasti
kenangkan pertemuan-pertemuan
simpanlah dengan rasa kasih
sayangilah dengan cinta suci nan abadi
berkesan indah di dalam sejuk
berpesan damai di dalam ramai
di atas segala bentuk isi jantungmu
kibarkan bendera semangat
lalu beningkan mata airmu untuk kebersamaan
sahabat sehati………
sahabat seruang……….
sahabat sewaktu………..
sahabat sejati…………
Hari ini adalah lembaran baru bagimu
jejak langkah-langkah mulai tertanda lagi
akan ada banyak pelangi yang menghiasi sawahmu
senantiasa memberikan nikmat para petaninya
perkenankanlah aku menuturkan goresan hati
semangat ulang tahun……..
tolong catat dihatimu
aku juga penanam di desamu
(Pondok Petir, 20 Oktober 2011)
lupakan keresahan-keresahan
bercahayalah dengan keseimbangan
cerahlah dengan senyum matahari
berawan putih di langit biru
berpadi kuning di sawah hijau
di tanah merah berlapis coklat
lapisi abu-abumu dengan jingga
lalu hujanlah untuk melepas segala kerinduan
keindahan hati…..
kesejukan ruang……
kedamaian jiwa…….
keramaian desa……..
Hari-hari telah lewat walau perlahan tapi amat pasti
kenangkan pertemuan-pertemuan
simpanlah dengan rasa kasih
sayangilah dengan cinta suci nan abadi
berkesan indah di dalam sejuk
berpesan damai di dalam ramai
di atas segala bentuk isi jantungmu
kibarkan bendera semangat
lalu beningkan mata airmu untuk kebersamaan
sahabat sehati………
sahabat seruang……….
sahabat sewaktu………..
sahabat sejati…………
Hari ini adalah lembaran baru bagimu
jejak langkah-langkah mulai tertanda lagi
akan ada banyak pelangi yang menghiasi sawahmu
senantiasa memberikan nikmat para petaninya
perkenankanlah aku menuturkan goresan hati
semangat ulang tahun……..
tolong catat dihatimu
aku juga penanam di desamu
(Pondok Petir, 20 Oktober 2011)
TANAMAN KORUPSI
Dari akar-akar kemunafikan pada lembaga keserakahan syaitan pasti akan melahirkan tunas kejahatan memberi kesempatan batang berkarat menggantung dahan bergelimang debu tumbuhkan ranting getas nan kotor merangkai tangkai lunglai bergetah membuat daun-daun hijau menjadi hitam kembang-kembang merah menjadi kuning kerap disirami airmata putih insan jelata hingga membiru berbunga dusta menghasilkan buah dosa-dosa.
PULANG KE DESA
Setelah waktu tersisihkan
pada semua kenangan manis
dan semua pahit yang hinggap
kusapa semua sahabat tercinta
hanya karena sahabat aku duduk
menanti di saung sawah yang hijau
menanti semua semangat yang datang
membuatku kembali menulis catatan puisi
Hari ini sengaja aku ungkapkan
pada semua yang selalu menyapa
dan memberikan warna kegembiraan
karena pantas untuk diabadikan
kau sungguh sangat luar biasa
kau telah amat banyak berbagi
kau selalu ingin menemani
sementara aku hanya seorang yang biasa
Setelah waktu itu datang
maafkanlah telah meninggalkanmu
kirimkan doa untuk keselamatan
seperti yang aku lakukan untukmu
ijinkan aku pulang dalam nyata
pada semua yang pergi menyalami
pada semua yang tiba mengasihi
besok aku akan berangkat
pulang ke desaku yang indah
yang penuh kedamaian
yang senantiasa sejuk
yang kini mulai ramai……..
(Pondok Petir, 19 Oktober 2011)
pada semua kenangan manis
dan semua pahit yang hinggap
kusapa semua sahabat tercinta
hanya karena sahabat aku duduk
menanti di saung sawah yang hijau
menanti semua semangat yang datang
membuatku kembali menulis catatan puisi
Hari ini sengaja aku ungkapkan
pada semua yang selalu menyapa
dan memberikan warna kegembiraan
karena pantas untuk diabadikan
kau sungguh sangat luar biasa
kau telah amat banyak berbagi
kau selalu ingin menemani
sementara aku hanya seorang yang biasa
Setelah waktu itu datang
maafkanlah telah meninggalkanmu
kirimkan doa untuk keselamatan
seperti yang aku lakukan untukmu
ijinkan aku pulang dalam nyata
pada semua yang pergi menyalami
pada semua yang tiba mengasihi
besok aku akan berangkat
pulang ke desaku yang indah
yang penuh kedamaian
yang senantiasa sejuk
yang kini mulai ramai……..
(Pondok Petir, 19 Oktober 2011)
SEMU
Kaki telanjangku telah menapak bukit
terjalnya bukit hatimu
matamu memandang seolah mendorongku
untuk terus melangkah
rintangan menghadang trip melelahkan
nan penuh onak dan duri-duri
tekadku tetap semangat
tak akan pernah menyerah
dari manapun…
sampai kapanpun…
walaupun aku tak tegas melampauinya
walaupun kau tak tega menghendakinya
Namun aku tahu bahwa kau telah tahu
datang rasa resah menghantui
sedetik terluput oleh gundah gulana
dalam keraguan kegelisahan kalbu
mulut mulai kelu
gerakan mulai lamban
langkah mulai terhenti
tak sampai niatan hati
karena ada yang tiba dibelakangmu…..
karena ada yang lain menantimu di kaki bukit…..
aku adalah bayang-bayang
kasih sayang semu yang nyata………
(Jakarta, 13 Oktober 2011)
terjalnya bukit hatimu
matamu memandang seolah mendorongku
untuk terus melangkah
rintangan menghadang trip melelahkan
nan penuh onak dan duri-duri
tekadku tetap semangat
tak akan pernah menyerah
dari manapun…
sampai kapanpun…
walaupun aku tak tegas melampauinya
walaupun kau tak tega menghendakinya
Namun aku tahu bahwa kau telah tahu
datang rasa resah menghantui
sedetik terluput oleh gundah gulana
dalam keraguan kegelisahan kalbu
mulut mulai kelu
gerakan mulai lamban
langkah mulai terhenti
tak sampai niatan hati
karena ada yang tiba dibelakangmu…..
karena ada yang lain menantimu di kaki bukit…..
aku adalah bayang-bayang
kasih sayang semu yang nyata………
(Jakarta, 13 Oktober 2011)
BERITA PETANG
Dari belahan bumi paling murni
di lahan tandus tak dendam
di antara partikel-partikel basah
banyak orang kehausan
menanti tibanya sukacita
bagi sebuah kesumat yang tertunaikan
dari darah yang mengalir di ujung timur
Sementara……..
di ujung yang satunya lagi
di lahan subur yang pernah terendam
di antara kesunyian-kesunyian kering
banyak orang berhamburan
karena didatangi gempa lima
dari getaran Sinabang Tapaktuan di baratdaya
Lalu……..
di belahan lainnya
di balik belahan dunia
orang-orang desa mendirikan pagar keresahan
menyusun kerangka kebencian untuk diledakkan
di pusat kota tempat para penggerak daya
Kemudian……..
di belahan lainnya lagi
di balik ujung yang satunya lagi
para penonton terus menoton dan ditonton
menyaksikan perdebatan seru masalah satu kata.
Akhirnya……
di sini
di lapak puisi ini
kita hanya dapat meraba dan membaca saja
namun tak bisa berkaca
(Pondok Petir, 17 Oktober 2011)
di lahan tandus tak dendam
di antara partikel-partikel basah
banyak orang kehausan
menanti tibanya sukacita
bagi sebuah kesumat yang tertunaikan
dari darah yang mengalir di ujung timur
Sementara……..
di ujung yang satunya lagi
di lahan subur yang pernah terendam
di antara kesunyian-kesunyian kering
banyak orang berhamburan
karena didatangi gempa lima
dari getaran Sinabang Tapaktuan di baratdaya
Lalu……..
di belahan lainnya
di balik belahan dunia
orang-orang desa mendirikan pagar keresahan
menyusun kerangka kebencian untuk diledakkan
di pusat kota tempat para penggerak daya
Kemudian……..
di belahan lainnya lagi
di balik ujung yang satunya lagi
para penonton terus menoton dan ditonton
menyaksikan perdebatan seru masalah satu kata.
Akhirnya……
di sini
di lapak puisi ini
kita hanya dapat meraba dan membaca saja
namun tak bisa berkaca
(Pondok Petir, 17 Oktober 2011)
KOMODO
Bersandar pada sebuah nusa putih
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni
Ketika sepi menyanyi warna hitam
munculah dengan melata seekor naga
langkah-langkah tegap menyergap
ombak meriak peluru menghujam
langsung mengusik jantung
Hidup mencari ilmu membawa mayat
dari timur hingga ke barat
langkah-langkah tegap menatap
singgah bersimpuh di kota hujan
pulau keajaiban duniapun telah ditemukan
(Pondok Petir, 15 Oktober 2011)
Ayo kita dukung Pulau Komodo…..Ketik Komodo kirim ke 9818
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni
Ketika sepi menyanyi warna hitam
munculah dengan melata seekor naga
langkah-langkah tegap menyergap
ombak meriak peluru menghujam
langsung mengusik jantung
Hidup mencari ilmu membawa mayat
dari timur hingga ke barat
langkah-langkah tegap menatap
singgah bersimpuh di kota hujan
pulau keajaiban duniapun telah ditemukan
(Pondok Petir, 15 Oktober 2011)
Ayo kita dukung Pulau Komodo…..Ketik Komodo kirim ke 9818
Jumat, 14 Oktober 2011
PERUBAHAN
Wahai para pemimpin........
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam
Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri
Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat
Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda
Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi
Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa
Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi
Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........
(Pondok Petir, 14 Oktober 2011)
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam
Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri
Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat
Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda
Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi
Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa
Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi
Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........
(Pondok Petir, 14 Oktober 2011)
BERUSUH HATI
Hentakan kepalan tanganku pagi ini
memicu benak pikiran geram
terhadap layar reportase subuh
pada para pemimpin rakyat
yang senantiasa berulah aneh
menjadikan orang-orang terjaga
berlagu bagai badut penghibur
membuat penonton berduka tanpa ketawa
Hentakan kepalan tanganku siang ini
menggores pena-pena hitam
pada daun-daun kekeringan
mengacak buah semangat
meracik kata-kata menjadi kalimat resah
dalam baris-baris sajak keras
yang telah koyak diremas hati
karena tak pernah menjadi jiwa
Hentakan kepalan tanganku malam ini
telah mengoncangkan hati
bersamaan gempa yang terjadi pada hari ini
mencatat dengan nyata tindakan para pejabat
yang menimbulkan banyak data
”kemarin ratusan petani telah dirugikan…”
”kemarin ribuan penduduk kehilangan rumah…”
”kemarin jutaan rakyat dicuri pulsanya…”
”kemarin semua rakyat dirampok para pejabat…”
semua meresah-gelisahkan pemimpin
Hentakan kepalan tanganku
telah membius lentik kelopak mataku
hingga tak dapat ditutup
(Pondok Petir, 13 Oktober 2011)
memicu benak pikiran geram
terhadap layar reportase subuh
pada para pemimpin rakyat
yang senantiasa berulah aneh
menjadikan orang-orang terjaga
berlagu bagai badut penghibur
membuat penonton berduka tanpa ketawa
Hentakan kepalan tanganku siang ini
menggores pena-pena hitam
pada daun-daun kekeringan
mengacak buah semangat
meracik kata-kata menjadi kalimat resah
dalam baris-baris sajak keras
yang telah koyak diremas hati
karena tak pernah menjadi jiwa
Hentakan kepalan tanganku malam ini
telah mengoncangkan hati
bersamaan gempa yang terjadi pada hari ini
mencatat dengan nyata tindakan para pejabat
yang menimbulkan banyak data
”kemarin ratusan petani telah dirugikan…”
”kemarin ribuan penduduk kehilangan rumah…”
”kemarin jutaan rakyat dicuri pulsanya…”
”kemarin semua rakyat dirampok para pejabat…”
semua meresah-gelisahkan pemimpin
Hentakan kepalan tanganku
telah membius lentik kelopak mataku
hingga tak dapat ditutup
(Pondok Petir, 13 Oktober 2011)
PERUBAHAN
Wahai para pemimpin........
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam
Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri
Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat
Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda
Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi
Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa
Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi
Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........
(Pondok Petir, 12 Oktober 2011)
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam
Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri
Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat
Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda
Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi
Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa
Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi
Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........
(Pondok Petir, 12 Oktober 2011)
PERUBAHAN
Wahai para pemimpin........
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam
Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri
Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat
Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda
Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi
Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa
Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi
Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........
(Pondok Petir, 11 Oktober 2011)
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mulai basi
nurani makin terkikis
pada gemuruh pesona yang tak kunjung padam
Lihatlah........
lagu birokrat dalam melodinya
sinetron nan selalu kejar tayang
di episode tikus-tikus berpestapora
sementara para pembantai santai dipantai
terbuai dalam kesenangan sendiri
Tengoklah pula, drama kolosal republik dua
genderang tambur bertalu-talu
ketika simak klimak dialog deras
masing-masing saling berdebat
di era teknologi canggih
membisingkan ruang pada gubug-gubug rakyat
Lalu tampak terlihat para penonton
hanyut terbawa banjir air mata
dalam gelap suasana mendung
hati putihnya telah teriris
kerap kali dihujani beban yang tak kunjung reda
Wahai para pemimpin........
masih adakah rasa bersatu
saat logika masih belum mati
perbaiki asa hati dampak erosi
agar nurani takkan membesi
Tinjaulah........
fragmen usang rakyat jelata
sahutan dialog bersahaja
ketika didengar secara seksama
melahirkan rahmat nan indah
tetap semangat sebagai anak bangsa
Gambaran nyata yang selalu sama
karena rakyat butuh nasi
meskipun hanya nasi basi
nikmat dimakan dengan garam
masih kuat bertahan menyaksikan kisah bumi
Wahai para pemimpin
masih adakah hati berisi
saat logika sudah mati
meskipun bukan basa-basi
tapi sudahlah........
ini hanyalah sajak
tak perlu lagi tanggap
tak perlu lagi risau
tak perlu lagi resah
karena kami telah terbiasa........
(Pondok Petir, 11 Oktober 2011)
PERTEMUAN JINGGA
Cerpen : Edy Priyatna
Jingga. Aku teringat ketika itu kita pernah bertemu secara tidak disengaja. Kita bertemu dalam bus malam. Rambutmu hitam pekat panjang terikat dengan ikatan rambut yang tidak terlihat. Wajahmu sejuk bening namun ada guratan kecil di pipi kanan dekat telingga, bekas jerawat. Lalu ada bekas luka dipergelangan tanganmu. Kemudian aku tidak pernah lupa pada saat itu aku bertanya secara spontan,
“Wah, kamu pernah mau bunuh diri ya?”
“Eh…bukan! Ini luka jatuh dari motor saat aku masih SMP!” jawabnya memprotes pendapatku.
“Lho koq, hanya tangan saja yang luka?” aku terus menggodanya.
“Ya nggaklah, dulu itu aku luka parah sekali, tangan dan pahaku dijahit. Waktu itu aku tidak sadarkan diri telah terluka. Bekasnya masih ada sih…”
Langsung aku menjelajahi tubuhmu dari kepala hingga ujung kaki. Namun tak ada tanda-tanda itu.
“Mana lukamu itu? Tidak terlihat?!”
Jingga melotot tajam. Namun hanya sebentar, lalu dia tersenyum.
“Kamu ingin melihatnya?!” tanyanya kemudian.
Aku hanya menjawabnya dengan senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalaku. Jingga mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berkata pelan-pelan, ”Harus punya surat dulu………”
********
Malam itu aku berlari sekencang-kencangnya mengejar bus yang telah keluar dari terminal, tapi tidak berhasil. Jadwal bus memang tidak pernah pasti. Kadang suka menunggu penumpang lama sekali. Masih wajarlah bila bangku masih kosong sebagian. Tetapi kadang sudah penuhpun masih belum beranjak dari tempatnya. Yang lebih mengesalkan lagi, aku berlari mengejarnya sebelum meloncat ke dalam bus dan ternyata aku telah naik bus yang salah. Busnya memang tidak salah tapi salahku sendiri yang nekad menaiki bus yang akan pulang ke pool.
Aku berharap bisa menjumpai Jingga kembali, setelah pertemuan beberapa waktu yang lalu. Tapi bus yang kunaiki, bangkunya masih kosong. Tiba-tiba kulihat sekelebat dirimu berada di bus yang lain. Secepat kilat aku meloncat dari busku. Bergegas aku menaiki bus yang masih berhenti. Kudapati dirinya, yang tengah tertunduk lesu. Tiada senyum yang terangkum. Hampir saja kuseru namanya, untuk meluapkan kegembiraanku. Namun entah kenapa tiba-tiba lidahku menjadi kelu. Jingga mengangkat kepalanya. Raut wajahnya cerah seketika setelah melihatku.
“Sayang, kemana saja? Aku hampir turun dari bus ini.“
Lalu dia langsung memelukku. Sehingga terlihat bagaikan sepasang kekasih yang saling menuntaskan kerinduan.
“Bus ini akan membawa mimpi-mimpi kita, sayang,” bisiknya di telingaku.
Kemudian aku dan Jingga duduk bersebelahan. Dia meluruskan kedua kaki dan mengangkat gaunnya yang terlihat seperti pengantin. Terlihat guratan kecil, sepanjang empat sentimeter di paha yang sebelah kiri. Aku merasa aneh.
“Lho, kita kan masih belum resmi?” kataku langsung memprotes.
“Sudah, sayang…kita sudah sah!” jawabnya dengan lantang. Bersamaan dengan bergeraknya bus keluar terminal.
Tak lama Jingga memegang kedua tanganku, dia menggeser tubuhku, agar aku melihat ke jendela kaca.
“Lihat bajumu, itu jas pengantin yang aku pilih.” Aku benar-benar tidak percaya dan masih penasaran dengan penjelasannya.
“Tapi, aku belum pernah mengucapkan ijab-kabul!”
“Aku yang telah mewakilinya, sayang. Masalahnya waktu itu kau tertidur.“
“Apa?!” aku terkejut hebat, “Tidak bisa begitu?!”
“Sudah yah, sayang. Kita tidak perlu berdebat lagi. Sudah terlambat………“
Buspun melaju dengan kencangnya. Hentakan kecil mulai terasa. Benar sudah terlambat bagiku untuk meloncat keluar.
“Bus aneh ini, akan pergi kemana?” kataku terdengar sedikit cemas.
“Ini bukan bus aneh, sayang. Ini bus malam pertama kita!” bisiknya sambil memeluk diriku dengan erat.
Aku terus larut dengan rasa cemas. Rasa itu telah bercampur aduk dengan rasa-rasa lainnya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap menikmati saja semua rasa tanpa harus memikirkan masalah yang sangat rumit di negeri ini yang selalu hinggap ketika aku bekerja. Batinku hanya berharap agar diriku tetap selamat dunia akhirat, sehingga perjalananku tetap sampai pada tujuan yang senantiasa kuinginkan.-
(Pondok Petir, 10 Oktober 2011)
KOMODO
Bersandar pada sebuah nusa putih
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni
kesunyian tidur dibalik belukar
langkah-langkah tegap merayap
menyusuri seluruh pantai
tak dapat mengusik penghuni
Ketika sepi menyanyi warna hitam
munculah dengan melata seekor naga
langkah-langkah tegap menyergap
ombak meriak peluru menghujam
langsung mengusik jantung
Hidup mencari ilmu membawa mayat
dari timur hingga ke barat
langkah-langkah tegap menatap
singgah bersimpuh di kota hujan
pulau keajaiban duniapun telah ditemukan
(Pondok Petir, 15 Oktober 2011)
[FF] MALU TAMPIL PADA ULANG TAHUN RANGKAT
Cermin : Edy Priyatna
Setiap ada kegiatan yang khusus di Desa Rangkat, aku tidak pernah absen untuk mengikutinya. Pada syukuran hari ulang tahun desa yang Pertama di Villa LACITRA Desa Rangkat, aku dengan sigap membantu menyukseskannya termasuk mengatur acara yang telah menjadi kebiasaan disana. Dimana semua warga desa diwajibkan tampil ke depan podium untuk menyampaikan kesan dan pesan selama menjadi warga desa. Hal itu merupakan sebuah keunikan tersendiri yang ada di Indonesia dan hanya ada di desa ini. Mulai dari Kades Rangkat berserta perangkat desanya hingga RW, RT dan Hansip serta semua warga masyarakat desa tampil dengan gayanya masing-masing.
Sudah dua kali acara unik itu dilaksanakan. Dari seluruh warga yang hadir, ada satu orang tetanggaku yang selalu menghilang ketika acara itu dimulai. Arifin Basyir namanya, dia sebenarnya warga desa yang sangat rajin. Bahkan oleh Bu Kades dia telah dijuluki ‘tukang ngurus sapi’ desa yang hebat.
Setelah aku selidiki ternyata dia itu orangnya minder. Sehingga pada saat acara ulang tahun tersebut dimulai aku berusaha menjaganya agar tidak menghilang. Kemanapun dia pergi aku selalu mengikutinya. Bahkan saat dia pergi ke toilet, aku tetap menjaganya hingga dia keluar.
Ketika tiba giliran maju ke podium, Arifin dipanggil oleh pembawa acara Jingga dan Ibay. Namun dia sempat tidak bersedia berdiri dari bangkunya. Sementara semua warga memberi aplaus dan semangat. Lalu setelah aku membujuknya diapun bersedia tampil dan langsung aku mengantarnya naik ke atas panggung. Diatas panggung dia tersenyum dan cukup lama berdiam sambil berdiri.
“Hmm……..sebenarnya besar kemaluan saya berada di depan teman-teman semua tetapi karena didorong-dorong akhirnya berdiri juga…,” kata Arifin dengan lugu. Seluruh warga desa bersorak gembira pada saat itu. Akhirnya acara syukuran itupun berlangsung dengan sangat meriah dan luar biasa.-
(Pondok Petir, 08 Oktober 2011)
Kamis, 13 Oktober 2011
BERUSUH HATI
Hentakan kepalan tanganku pagi ini
memicu benak pikiran geram
terhadap layar reportase subuh
pada para pemimpin rakyat
yang senantiasa berulah aneh
menjadikan orang-orang terjaga
berlagu bagai badut penghibur
membuat penonton berduka tanpa ketawa
Hentakan kepalan tanganku siang ini
menggores pena-pena hitam
pada daun-daun kekeringan
mengacak buah semangat
meracik kata-kata menjadi kalimat resah
dalam baris-baris sajak keras
yang telah koyak diremas hati
karena tak pernah menjadi jiwa
Hentakan kepalan tanganku malam ini
telah mengoncangkan hati
bersamaan gempa yang terjadi pada hari ini
mencatat dengan nyata tindakan para pejabat
yang menimbulkan banyak data
”kemarin ratusan petani telah dirugikan…”
”kemarin ribuan penduduk kehilangan rumah…”
”kemarin jutaan rakyat dicuri pulsanya…”
”kemarin semua rakyat dirampok para pejabat…”
semua meresah-gelisahkan pemimpin
Hentakan kepalan tanganku
telah membius lentik kelopak mataku
hingga tak dapat ditutup
(Pondok Petir, 07 Oktober 2011)
memicu benak pikiran geram
terhadap layar reportase subuh
pada para pemimpin rakyat
yang senantiasa berulah aneh
menjadikan orang-orang terjaga
berlagu bagai badut penghibur
membuat penonton berduka tanpa ketawa
Hentakan kepalan tanganku siang ini
menggores pena-pena hitam
pada daun-daun kekeringan
mengacak buah semangat
meracik kata-kata menjadi kalimat resah
dalam baris-baris sajak keras
yang telah koyak diremas hati
karena tak pernah menjadi jiwa
Hentakan kepalan tanganku malam ini
telah mengoncangkan hati
bersamaan gempa yang terjadi pada hari ini
mencatat dengan nyata tindakan para pejabat
yang menimbulkan banyak data
”kemarin ratusan petani telah dirugikan…”
”kemarin ribuan penduduk kehilangan rumah…”
”kemarin jutaan rakyat dicuri pulsanya…”
”kemarin semua rakyat dirampok para pejabat…”
semua meresah-gelisahkan pemimpin
Hentakan kepalan tanganku
telah membius lentik kelopak mataku
hingga tak dapat ditutup
(Pondok Petir, 07 Oktober 2011)
Senin, 10 Oktober 2011
PELANGI
Hari ini aku rindu warnamu
datanglah ke pondokku segera
lama sudah tak ada kesejukan
bagai menanti sunyi di tengah kota
setiap hari cerah benderang
walaupun tanpa bintang
karena matahari telah murka
panasnya telah membias kembali
tak terhalang mega hitam
sehingga langit bergaris putih
matanya kering tak berair lagi........
Sekarang ini aku sangat rindu warnamu
kapankah kau akan tiba
sementara lama namamu
kerap dipanggil di tengah desa
warnamu kini terjatuh di bumi
merahmu ada di tanah kering
kuningmu ada di daun usang
hijaumu ada di batu karang
sebab mentari tak dapat melukismu
sehingga hilanglah semua
keindahan dan kesuburan........
Setiap hari aku selalu mengharapkanmu
karena sudah lama hujanpun tak pernah datang........
(Pondok Petir, 06 Oktober 2011)
datanglah ke pondokku segera
lama sudah tak ada kesejukan
bagai menanti sunyi di tengah kota
setiap hari cerah benderang
walaupun tanpa bintang
karena matahari telah murka
panasnya telah membias kembali
tak terhalang mega hitam
sehingga langit bergaris putih
matanya kering tak berair lagi........
Sekarang ini aku sangat rindu warnamu
kapankah kau akan tiba
sementara lama namamu
kerap dipanggil di tengah desa
warnamu kini terjatuh di bumi
merahmu ada di tanah kering
kuningmu ada di daun usang
hijaumu ada di batu karang
sebab mentari tak dapat melukismu
sehingga hilanglah semua
keindahan dan kesuburan........
Setiap hari aku selalu mengharapkanmu
karena sudah lama hujanpun tak pernah datang........
(Pondok Petir, 06 Oktober 2011)
PERJALANAN 9
Dalam kesendirian aku melangkah
pergi ke sudut ruang suci
mencari sesuatu yang hilang
entah apa aku tak tahu........
rasa itu datang menghampiri
menelusuri jalan kejujuran
gelora kalbu tak bersahabat
gelombang jiwa acap berkehendak
Tak ada hujan yang turun
tak ada angin yang menyebar
semua tak dapat kutolak
keringat terus mengalir deras
membanjiri hati kering
hingga menimbulkan jamur kerinduan
tanggapan indra yang tak bertepi........
Kau selalu hadir
tak berbekas nyata
dalam hening kesunyian
namun senantiasa tergores
pada lembar-lembar daun kering
yang tersimpan dalam detak jantung
Kini aku terus menata ruang
menyusun rapi semua anganku
dalam lemari kasih yang besar
di laci-laci putih yang bersih
agar jiwa menjadi sejuk dan damai
Ketika kulihat langkahku
bertanda pada ruang
yang pengap itu
tiba-tiba........
angin menyapa berbisik
meyakini........
peluhpun menyapu jejak luka........
lalu kutitipkan semua ketulusanku........
(Pondok Petir, 05 Oktober 2011)
pergi ke sudut ruang suci
mencari sesuatu yang hilang
entah apa aku tak tahu........
rasa itu datang menghampiri
menelusuri jalan kejujuran
gelora kalbu tak bersahabat
gelombang jiwa acap berkehendak
Tak ada hujan yang turun
tak ada angin yang menyebar
semua tak dapat kutolak
keringat terus mengalir deras
membanjiri hati kering
hingga menimbulkan jamur kerinduan
tanggapan indra yang tak bertepi........
Kau selalu hadir
tak berbekas nyata
dalam hening kesunyian
namun senantiasa tergores
pada lembar-lembar daun kering
yang tersimpan dalam detak jantung
Kini aku terus menata ruang
menyusun rapi semua anganku
dalam lemari kasih yang besar
di laci-laci putih yang bersih
agar jiwa menjadi sejuk dan damai
Ketika kulihat langkahku
bertanda pada ruang
yang pengap itu
tiba-tiba........
angin menyapa berbisik
meyakini........
peluhpun menyapu jejak luka........
lalu kutitipkan semua ketulusanku........
(Pondok Petir, 05 Oktober 2011)
Kamis, 06 Oktober 2011
[FF] KETINGGALAN
Hari telah sampai pada waktu fajar ketika Rizal berlari-lari kecil menuju ke rumahnya. Ia terlihat sangat terburu-buru sekali untuk segera memasuki rumahnya. Ketika sudah berada di depan pintu rumahnya ia menekan bel berkali-kali. Namun belum ada juga yang datang membukakan pintu itu. Lalu ia mencoba dengan menggedornya, tetapi masih belum juga ada respon. Kemudian dia berjalan ke samping rumah di sebelah sebuah pohon jengkol dia buang air kecil sambil berdiri.
Sebenarnya Rizal tidak biasa buang air selain di kamar mandi atau toilet rumahnya sendiri, apalagi buang air besar. Baru kali ini ia terpaksa melakukannya di halaman rumahnya. Ini suatu kebiasaan yang aneh. Bahkan karena sudah menjadi kebiasaan seperti itu, ia pernah buang air besar di rumah temannya ketika tiba-tiba perutnya terasa mulas dan ia ingin buang air besar. Namun setelah dia berada dalam kamar mandi tidak keluar secuilpun.
Setelah Rizal merasa lega karena telah mengeluarkan hajatnya, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Lalu tanpa pikir panjang lagi ia langsung berlari sekencang-kencangannya menuju kearah pada saat dia datang. Tanpa berhenti ia berlari melewati jalan yang panjang, perkampungan sunyi. Tak lelah berlari dalam kegelapan hingga melalui beberapa perempatan di lintasan yang belum ramai pada saat itu. Dalam pelarian yang sangat tergesa-gesa itu sempat mengundang perhatian seekor anjing sayur yang kebetulan sedang terbangun di tepi jalan menunggu mangsa datang. Anjingpun langsung ikut mengejar Rizal, namun karena tahu dikejar ia lebih meningkatkan lagi kecepatan berlarinya. Sehingga anjing tersebut tertinggal jauh dan langsung kembali ke tempat semula.
Akhirnya dengan nafas yang tesengal-sengal Rizal tiba juga di rumah yang dituju. Ketika sudah di depan pintu ia langsung menggedor-gedor pintu rumah itu. Cukup lama juga ia menunggu sipemilik rumah keluar.
“Siapa di luar?” tanya seorang wanita dari dalam rumah.
“Saya Rizal…..” sahut Rizal dengan suara agak pelan.
“Siapa??” tanyanya lagi.
“Rizal, mbak….!” Jawab Rizal dengan keras.
Tak lama kemudian wanita itu membukakan pintu rumahnya.
“Ada apa?!”
“Celana dalam ketinggalan……..”
(Pondok Petir, 04 Oktober 2011)
Rabu, 05 Oktober 2011
PEREMPUANKU
Ketika kau datang hingga pertemuan itu terjadi
aku hampir tidak percaya
sungguh nyata adanya
sosok sederhana
luar biasa
Kau indah namun tak dapat diraih
kau cantik tapi tak bisa dipegang tak bisa diraba
kau menawan buah pikiranku selalu erat dalam pelukan
bersama langkah tegapku menyusuri belantara disaat mata terlelap
menyoroti bayangmu seperti tak pernah lenyap dari layarku yang lebar membentang
Lalu kukembangkan sayapku terbang tinggi keatas awan melayang menciptakan puisi langit menggoreskan cermin mega membentuk prosa cakrawala meniti makna pelangi melewati mentari menyongsong senja meneropong bintang menikmati rembulan menelusuri jiwa mengungkapkan rasa tersembuyi dibalik hati nan suci luapkan cinta putihku nan sejati
aku hampir tidak percaya
sungguh nyata adanya
sosok sederhana
luar biasa
Kau indah namun tak dapat diraih
kau cantik tapi tak bisa dipegang tak bisa diraba
kau menawan buah pikiranku selalu erat dalam pelukan
bersama langkah tegapku menyusuri belantara disaat mata terlelap
menyoroti bayangmu seperti tak pernah lenyap dari layarku yang lebar membentang
Lalu kukembangkan sayapku terbang tinggi keatas awan melayang menciptakan puisi langit menggoreskan cermin mega membentuk prosa cakrawala meniti makna pelangi melewati mentari menyongsong senja meneropong bintang menikmati rembulan menelusuri jiwa mengungkapkan rasa tersembuyi dibalik hati nan suci luapkan cinta putihku nan sejati
(Pondok Petir, 03 Oktober 2011)
PERJALANAN 8
Pada lintas selanjutnya
melewati pulau perkampungan
ada gangguan yang mengusik dalam angan
saat serangan menerjang dalam badai
adalah cara hidup alami
tak mudah dapat terbayangkan
asa-asaan pada ikhtiar dan keyakinan
Dibawah sorot matahari, kita bernaung
diatas badai kita bertahan
di dalam sebuah kehendak dan keyakinan
Suasana itu laksana kapal berlayar
tak mudah dapat terbayangkan
tak akan pernah tahu
ada ombak menghamtam
saat badai menerjang
tetap berpikir dalam benak
hanya berlayar dan berlayar
hingga ke negeri impian
Pada ikhtiar dan kehendak
harus dalam keyakinan
bahwa Dia senantiasa ada saat dibutuhkan
(Pondok Petir, 02 Oktober 2011)
melewati pulau perkampungan
ada gangguan yang mengusik dalam angan
saat serangan menerjang dalam badai
adalah cara hidup alami
tak mudah dapat terbayangkan
asa-asaan pada ikhtiar dan keyakinan
Dibawah sorot matahari, kita bernaung
diatas badai kita bertahan
di dalam sebuah kehendak dan keyakinan
Suasana itu laksana kapal berlayar
tak mudah dapat terbayangkan
tak akan pernah tahu
ada ombak menghamtam
saat badai menerjang
tetap berpikir dalam benak
hanya berlayar dan berlayar
hingga ke negeri impian
Pada ikhtiar dan kehendak
harus dalam keyakinan
bahwa Dia senantiasa ada saat dibutuhkan
(Pondok Petir, 02 Oktober 2011)
Selasa, 04 Oktober 2011
PERJALANAN 7
“Perpisahan bukan ujung perjalanan”
kata hati ketika terhenti
Tanpa peduli apapun
kaki ini terus melangkah
melewati bukit kesedihan
meninggalkan jurang penyesalan
melalui rintangan sunyi
hingga menciptakan kasih
kembali menanti hidup sejati
Tanpa terasa apapun
langkah terus menjadi lelah
memerlukan pondok\teduh
alas penuh kerindangan
mengisi energi terbuang
pada cinta yang tersimpan
menyongsong masa depan
“Perjalanan harus diteruskan……..”
kata hati ketika terhenti
(Pondok Petir, 01 Oktober 2011)
kata hati ketika terhenti
Tanpa peduli apapun
kaki ini terus melangkah
melewati bukit kesedihan
meninggalkan jurang penyesalan
melalui rintangan sunyi
hingga menciptakan kasih
kembali menanti hidup sejati
Tanpa terasa apapun
langkah terus menjadi lelah
memerlukan pondok\teduh
alas penuh kerindangan
mengisi energi terbuang
pada cinta yang tersimpan
menyongsong masa depan
“Perjalanan harus diteruskan……..”
kata hati ketika terhenti
(Pondok Petir, 01 Oktober 2011)
MALAM
Senantiasa datang pada belahan
saat mentari tenggelam
ketika bumi berputar
menghalangi sinar surya itu
memberi batasan dibalik kehidupan
hingga menghujani hitam kelam
menjadikan sebuah waktu gelap
membuat diriku……..
harus menciptakan tidur
yang amat indah
lalu terlelap dalam mimpi
sehingga menerangi jiwa dalam kegelapan
(Pondok Petir, 30 September 2011)
saat mentari tenggelam
ketika bumi berputar
menghalangi sinar surya itu
memberi batasan dibalik kehidupan
hingga menghujani hitam kelam
menjadikan sebuah waktu gelap
membuat diriku……..
harus menciptakan tidur
yang amat indah
lalu terlelap dalam mimpi
sehingga menerangi jiwa dalam kegelapan
(Pondok Petir, 30 September 2011)
[FF] SAHABAT BENING
Cermin : Edy Priyatna
(Pondok Petir, 29 September 2011)
Pada sebuah pantai yang gersang di sore hari seorang pemuda duduk terdiam disebuah batang pohon usang, memandangi ombak yang datang dan pergi. Wajahnya murung lesu dirundung kesedihan. Sementara itu dikejauhan ada seseorang yang mengintai sambil berusaha menghampirinya.
“Hidupku seperti ombak…,” kata pemuda itu ketika dia tahu kalau ada yang datang mendekatinya. Lalu ia melanjutkan kata-katanya sambil menundukkan kepala, “…..ombak itu selalu ingin menepi, tetapi pantai selalu mengusirnya kembali.”
“Tenanglah, Ron. Aku yakin pasti ada jalan keluarnya.”
“Bagaimana caranya, Ning? Seorang pengamen jalanan yang putus sekolah sepertiku bisa membiayai operasi bunda yang terbaring lemah karena kanker payudara?” katanya lemah.
“Sekali lagi. Janganlah pernah berputus asa, Ron. Di bumi ini masih ada orang yang mau membantu orang lemah seperti kita. Masih ada yang peduli, hanya saja mungkin mereka belum tahu keadaan ibumu. Aku yakin kita akan menemukan sosok malaikat penolong di antara mereka,” kata Bening dengan penuh semangat. Sudah tiga hari ini Bening selalu berusaha untuk memberi semangat kepada Roni dan hingga hari ini masih belum mengena. Bening juga sudah berusaha memberitahukan semua sahabatku yang lain tentang masalah itu. Bening sangat berharap kata-katanya itu mampu menenangkan hati Roni sahabatnya.
“Terima kasih ya Ning……..,” sahut Roni tiba-tiba. “Kaulah yang selalu membangkitkan semangatku di saat-saat seperti ini. Kau sahabat terbaik yang pernah aku kenal, Ning!” lanjut Roni dengan senyum. Roni menatap mata Bening dan dia merasakan hari ini mata itu terlihat semakin bening.-
Senin, 03 Oktober 2011
HASRAT
Ketika langit mengukir gelap
berhias lembayung diufuk sana
kurasakan hentakan malam menyelimuti
menghitamkan relung kalbu
pada langit kukatakan
pada malam kedongengkan
betapa sarat hati ini berisi ingin
betapa penuh jiwa ini tertanam angan
namun kurasakan hitamnya dinding itu
yang panjang membentang
hingga aku tak dapat memelukmu……..
(Pondok Petir, 28 September 2011) ft.BCJ
berhias lembayung diufuk sana
kurasakan hentakan malam menyelimuti
menghitamkan relung kalbu
pada langit kukatakan
pada malam kedongengkan
betapa sarat hati ini berisi ingin
betapa penuh jiwa ini tertanam angan
namun kurasakan hitamnya dinding itu
yang panjang membentang
hingga aku tak dapat memelukmu……..
(Pondok Petir, 28 September 2011) ft.BCJ
KALBUKU MENJELANG SENJA
Merah jambu itu
terhampar nyata indahnya
terlukis tegas garisnya
menghias kaki bukit hijau
pelengkap kuning putih ungu
tak nampak mendung di langit
bahkan mengurat awan tipis
melayang membawaku ke bukit itu
hingga tiba di langit biru……..
(Pondok Petir, 26 September 2011) ft.BCJ
terhampar nyata indahnya
terlukis tegas garisnya
menghias kaki bukit hijau
pelengkap kuning putih ungu
tak nampak mendung di langit
bahkan mengurat awan tipis
melayang membawaku ke bukit itu
hingga tiba di langit biru……..
(Pondok Petir, 26 September 2011) ft.BCJ
Jumat, 30 September 2011
[FF] KEAMANAN KHUSUS PRIBADI
Cermin : Edy Priyatna
Pada minggu yang lalu pak RT Ibay yang tadinya seorang Kepala Bagian Bidang Perikanan di Desa Rangkat, dilantik oleh Kementrian Pusat di Jakarta menjadi pejabat Kepala Dinas yang di tugaskan di daerah Banten. Awalnya dia sangat terkejut dengan pengangkatan itu karena tidak dinyana sama sekali. Namun betapa bahagianya kini telah menjadi seorang pejabat yang benar-benar pejabat bukan penuh jerawat batu, kata orang-orang.
Setelah pindah ke tempat yang baru pejabat Ibay sudah tidak menjadi RT lagi, karena sudah tidak tugas di Desa Rangkat lagi. Pada saat dia mengisi rumah dinas ketika baru mulai pindah, dia dikunjungi oleh seorang hansip dari daerah setempat.
“Bapak Ibay yang terhormat…” kata hansip tersebut.
“Iya saya, bapak siapa? Ada keperluan apa?”, sahut pejabat Ibay cukup berwibawa.
“Saya Hans pak Ibay…..,” jawab hansip Hans tegas nggak mau kalah penampilan, “Saya hanya ingin memberitahukan saja kepada bapak, bahwa sudah menjadi kebiasaan di daerah ini setiap pejabat harus memiliki seorang jaro atau centeng. Dengan begitu bapak akan aman terlindungi, termasuk semua barang-barang milik bapak. siapapun pasti tidak akan ada yang berani mencurinya.”
Pejabat Ibay langsung tambah berwibawa dan dengan tegas pula dia berkata, “Saya tidak perlu dengan yang namanya jaro atau centeng, karena saya sudah memiliki keamanan khusus!”
Mendengar jawaban dari pejabat Ibay, hansip Hans langsung pergi tanpa permisi lagi.
Keesokan harinya pejabat Ibay sangat terkejut, karena pagi-pagi sekali ketika dia bangun dari tidurnya, dirinya sudah tidak di atas kasur di kamarnya, tetapi berada di sebuah lapangan rumput dengan dikelilingi barang-barang bawaannya. Kemudian dia langsung memeriksa barang-barangnya dan ternyata tidak ada satupun yang hilang. Tak lama kemudian muncullah hansip Hans yang kemarin telah mendatanginya.
“Bagaimana kabarnya, pak Ibay…,” tanyanya.
“Mulai hari ini kamu saya angkat menjadi Keamanan Khusus Pribadi!”, jawab pejabat Ibay tanpa mengurangi kewibawaannya.-
(Pondok Petir, 26 September 2011)
Pada minggu yang lalu pak RT Ibay yang tadinya seorang Kepala Bagian Bidang Perikanan di Desa Rangkat, dilantik oleh Kementrian Pusat di Jakarta menjadi pejabat Kepala Dinas yang di tugaskan di daerah Banten. Awalnya dia sangat terkejut dengan pengangkatan itu karena tidak dinyana sama sekali. Namun betapa bahagianya kini telah menjadi seorang pejabat yang benar-benar pejabat bukan penuh jerawat batu, kata orang-orang.
Setelah pindah ke tempat yang baru pejabat Ibay sudah tidak menjadi RT lagi, karena sudah tidak tugas di Desa Rangkat lagi. Pada saat dia mengisi rumah dinas ketika baru mulai pindah, dia dikunjungi oleh seorang hansip dari daerah setempat.
“Bapak Ibay yang terhormat…” kata hansip tersebut.
“Iya saya, bapak siapa? Ada keperluan apa?”, sahut pejabat Ibay cukup berwibawa.
“Saya Hans pak Ibay…..,” jawab hansip Hans tegas nggak mau kalah penampilan, “Saya hanya ingin memberitahukan saja kepada bapak, bahwa sudah menjadi kebiasaan di daerah ini setiap pejabat harus memiliki seorang jaro atau centeng. Dengan begitu bapak akan aman terlindungi, termasuk semua barang-barang milik bapak. siapapun pasti tidak akan ada yang berani mencurinya.”
Pejabat Ibay langsung tambah berwibawa dan dengan tegas pula dia berkata, “Saya tidak perlu dengan yang namanya jaro atau centeng, karena saya sudah memiliki keamanan khusus!”
Mendengar jawaban dari pejabat Ibay, hansip Hans langsung pergi tanpa permisi lagi.
Keesokan harinya pejabat Ibay sangat terkejut, karena pagi-pagi sekali ketika dia bangun dari tidurnya, dirinya sudah tidak di atas kasur di kamarnya, tetapi berada di sebuah lapangan rumput dengan dikelilingi barang-barang bawaannya. Kemudian dia langsung memeriksa barang-barangnya dan ternyata tidak ada satupun yang hilang. Tak lama kemudian muncullah hansip Hans yang kemarin telah mendatanginya.
“Bagaimana kabarnya, pak Ibay…,” tanyanya.
“Mulai hari ini kamu saya angkat menjadi Keamanan Khusus Pribadi!”, jawab pejabat Ibay tanpa mengurangi kewibawaannya.-
(Pondok Petir, 26 September 2011)
POTRET SAHABAT SEJATI
Melalui relung hati
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Gita pekik dikumandangkan
musuh terkalahkan
jiwa termenangkan
semua tersandangkan
makhluk paling sempurna……..
Akankah wajah-wajah tetap terpajang
dalam kewajaran alami
titipan yang disampaikan
tanda yang diukurkan
Sang Pencipta……..
menyebar keterangan
bias cahaya ciptakan ketenangan
Wahai anugerah itu
gemuruhkan dada
getarkan raga
luruhkan jiwa
sudahkah menjelma
dalam langkah sehari-hari
pada amal ibadah……..
Melalui relung hati
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Nyalakan api cinta……..
cengkeram rasa dengarnya
buka mata lihatnya
terang pikir akalnya
meningkah rindu hatinya
Bila saja engkau tahu
betapa pikiran tak akan diam
betapa ingin tak pernah dingin
menabuh cengkram dalam benak
atas rangkaian……..
bulat tekad menjadi tegak
di atas nazar lepas bertindak
melangkah dalam kehendak……..
(Pondok Petir, 25 September 2011)
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Gita pekik dikumandangkan
musuh terkalahkan
jiwa termenangkan
semua tersandangkan
makhluk paling sempurna……..
Akankah wajah-wajah tetap terpajang
dalam kewajaran alami
titipan yang disampaikan
tanda yang diukurkan
Sang Pencipta……..
menyebar keterangan
bias cahaya ciptakan ketenangan
Wahai anugerah itu
gemuruhkan dada
getarkan raga
luruhkan jiwa
sudahkah menjelma
dalam langkah sehari-hari
pada amal ibadah……..
Melalui relung hati
pintu ruang diri
gundah gulana
cemas lemas
mengenal dekat diri sejati
resah itupun menggigit
dalam rendahnya
amat membara gejolak jiwa
sukma nan nyata
Nyalakan api cinta……..
cengkeram rasa dengarnya
buka mata lihatnya
terang pikir akalnya
meningkah rindu hatinya
Bila saja engkau tahu
betapa pikiran tak akan diam
betapa ingin tak pernah dingin
menabuh cengkram dalam benak
atas rangkaian……..
bulat tekad menjadi tegak
di atas nazar lepas bertindak
melangkah dalam kehendak……..
(Pondok Petir, 25 September 2011)
Kamis, 29 September 2011
ULANG TAHUN #6
Setiap saat selalu saja terjadi
ada perasaan hilang
terjadi
perasaan kehilangan
saja
ada hilang rasa
selalu
kehilangan rasa
setiap saat........
Terjadi
karena kita
selalu
mengenal cinta........
(Pondok Petir, 24 September 2011)
ada perasaan hilang
terjadi
perasaan kehilangan
saja
ada hilang rasa
selalu
kehilangan rasa
setiap saat........
Terjadi
karena kita
selalu
mengenal cinta........
(Pondok Petir, 24 September 2011)
ULANG TAHUN #5
Pada hari itu
aku pasti
akan hadir
walaupun……..
hanya dengan tangan
hampa
tanpa bingkisan
tanpa hadiah
tanpa kado
karena……..
aku hanya punya puisi
(Pondok Petir, 23 September 2011)
aku pasti
akan hadir
walaupun……..
hanya dengan tangan
hampa
tanpa bingkisan
tanpa hadiah
tanpa kado
karena……..
aku hanya punya puisi
(Pondok Petir, 23 September 2011)
ULANG TAHUN #4
Ketika ulang tahun tiba
di balik pintu
aku mulai menyapa
yang datang mengetuk
“siapa di luar?”
“sunyi…”
“siapa?!”
“sunyi!”
“aku tak kenal dengan yang namanya sunyi.”
“aku juga tak kenal dengan yang namanya pintu.”
(Pondok Petir, 22 September 2011)
di balik pintu
aku mulai menyapa
yang datang mengetuk
“siapa di luar?”
“sunyi…”
“siapa?!”
“sunyi!”
“aku tak kenal dengan yang namanya sunyi.”
“aku juga tak kenal dengan yang namanya pintu.”
(Pondok Petir, 22 September 2011)
[ECR] PERJALANAN KEDUA DEVI (Nunil 3)
Hari masih gelap ketika aku terjaga di kamarku sendiri. Setelah kulihat jam yang tergantung di dinding waktu menunjukkan pukul 04.15 WIB. Tiba-tiba aku teringat kalau telah berpesan melalui handphone-ku dua hari yang lalu.
“Kamu berangkatnya besok sore saja Neng!” kataku via sms.
“Benar Mas ! Neng berangkatnya besok sore,” begitu jawaban sms yang kudapat dari Nunil sahabatku di Bogor. Aku belum yakin hal itu akan terjadi apakah benar Nunil akan berangkat menemuiku di Kota ini. Sebenarnya aku sangat rindu bertemu dengannya. Aku telah berjanji akan menemuinya setelah semua tugas-tugasku selesai. Namun entah kenapa tiba-tiba dia yang ingin datang menemuiku dan aku benar-benar tidak percaya.
Nunil akhirnya memang berangkat juga menuju Tuban Jawa Timur sesuai waktu yang telah aku sarankan. Ia berangkat dari Bogor dengan menggunakan Bus Pahala Kencana tepat pada jam 15.00 WIB. Ketika berada diatas bus dia memberitahukanku,
“Mas, aku sudah jalan” katanya melalui sms.
“Okay Nil, TTDJ ya” jawabku dengan sms juga.
Sebenarnya kami berdua memang belum pernah saling bertemu sekalipun. Kami berdua secara kebetulan adalah sama-sama alumni pada salah satu SLTA di Jakarta. Berawal dari pertengahan bulan Nopember tahun lalu pada saat persiapan rencana pelaksanaan acara Reuni di sekolah tempat kami berdua dulu belajar, kami sudah saling berhubungan pertemanan di Facebook. Dan kamipun sepakat untuk bertemu pada saat Reuni diselenggarakan. Namun ketika acara tersebut berlangsung, ternyata aku dan Nunil tidak pernah bertemu. Tidak ada tanda-tanda !
Kemudian waktu terus berlalu begitu cepatnya hingga pada suatu hari, Nunil sedang ikut membantu kegiatan anggota Paskibra di sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu akan menyelenggarakan sebuah event perlombaan. Secara tidak sengaja kamipun berhubungan kembali masih via internet yang kemudian berlanjut via telepon genggam hingga saat ini. Dan kamipun telah berjanji lagi untuk saling bertatap muka. Namun sudah setahun lebih lamanya, pertemuan itupun belum pernah terjadi!
“Mas, aku nanti dijemput dimana?”tanya Nunil lagi via sms.
“Nanti aku jemput di Restoran ‘Taman Sari’ Tuban, karena memang busnya akan berhenti disana Neng” jawabku menjelaskannya.
Bus yang ditumpangi Nunil meluncur cepat hingga mencapai di pemberhentian pertama di rumah makan ‘Uun’ Subang untuk makan malam para penumpang. Tetapi waktu itu Nunil memilih untuk tidak turun dari bus dan ia tidak ikut makan malam bersama penumpang lainnya. Entah kenapa?!
Setelah selesai makan malam selama kurang lebih tiga puluh menit, bus mulai berjalan kembali menuju kearah timur melewati kota-kota di Jawa Barat hingga masuk di Pintu Gerbang Gapura daerah Jawa Tengah.
“Sudah di kota Tegal, Mas”, Nunil sms kembali, ketika bus mulai memasuki gerbang kota Tegal.
“Iya, kamu bobo aja Nil…” sahutku lagi.
“Iya Mas…”, jawab Nunil. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan bus. Biasanya dengan Kereta atau Pesawat terbang. Tetapi rasa khawatirnya tidak terlihat jelas. Untuk itu pun aku tak dapat tidur nyenyak pada malam itu.
Ketika bus melewati kota Pekalongan, Batang, Kendal dan kota Rembang, Nunil selalu memberitahukanku melalui sms bahwa ia telah melewati kota tersebut. Dan pada saat bus memasuki perbatasan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ia merasa sedikit gembira karena tempat tujuannya sudah hampir sampai. Namun iapun masih bingung karena memang belum pernah jalan-jalan sejauh itu.
“Mas berapa lama lagi Nunil akan sampai di Tuban?” tanyanya lagi via sms.
“Oh…dua setengah jam lagi Nil…”
“Mas dimana? Kalau begitu sebentar lagi sampai ya ? Tunggu, Nunil sekarang di Taman Sari ya, Mas!”, katanya mulai merasa khawatir nantinya dia tidak di jemput.
“Iya..iya…Nunil!”, jawabku meyakinkannya. Nunil tersenyum lebar karena merasa aku agak kesal dengan sikapnya. Selama kami saling berhubungan via internet maupun dengan handphone, keduanya selalu saling sahut menyahut dengan bahasa yang sudah sering dibicarakan. Sehingga ada kata-kata yang membuat Nunil dan aku merasa bahagia apabila disampaikan saat saling ‘berhubungan’. Aneh!
Yang lebih aneh lagi, sebenarnya Nunil itu adalah bukan nama sebenarnya. Selama ini aku panggil dia Nunil atas permintaanku sendiri agar lebih akrab dan ia suka sekali dengan panggilan itu. Menurutnya hanya aku yang memanggilnya dengan nama Nunil. Padahal kami berdua belum pernah saling berjumpa sekalipun.
Akhirnya bus yang ditumpangi Nunil tiba di Kota Tuban, di Restoran Taman Sari, tepat pukul 06.30 WIB pada hari berikutnya. Aku sudah menunggu selama lima belas menit di restoran itu. Pada saat Nunil turun dari bus, aku langsung menyambutnya dengan perasaan yang berdebar-debar.
“Devi…..”, katanya menyalamiku. Ia tersenyum karena ternyata aku benar-benar telah menjemputnya di kota Tuban.
“Lala…”, sahutku, sambil langsung mengambil tas yang dibawa oleh Nunil. Lalu kamipun langsung menuju ke Penginapan Hotel ‘Irwan’ di jalan Diponegoro No.42 Tuban Jawa Timur dengan menggunakan mobil Avanza warna hijau muda.
Setibanya di kamar penginapan yang sudah dipesan sebelumnya, Nunil langsung mandi. Kemudian kami berdua sarapan pagi makan Pecel Madiun di jl. Sunan Kalijaga Tuban, sambil berbincang-bincang. Terlihat sangat akrab sekali walaupun kadang lebih banyak diamnya dibanding ngobrolnya, kami berdua saat itu bagaikan sahabat yang sudah lama sekali tidak berjumpa.
Setelah sempat beristirahat selama kurang lebih dua jam, aku dan Nunil berangkat menuju kota Lamongan pada jam 10.00 WIB sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Rencananya Nunil akan tinggal dua malam di kota ini. Selama berada di sini, Nunil akan aku bawa ke tempat rekreasi yang belum pernah ia kunjungi. Di dalam perjalanan yang memakan waktu hingga satu jam itu, aku sempat menggagumi Nunil karena dia tidak menyangka sama sekali kalau benar-benar akan ke Tuban untuk menemuinya. Nunil sendiri merasa seperti bermimpi dapat menginjakan kakinya di kota ini dan merasa tersanjung mendapatkan pelayanan yang sangat istimewa.
Anehnya selama dalam perjalanan itu kami berdua tidak banyak bicara. Aku merasa canggung dan lidahku terasa kelu. Namun semua itu masih tertolong oleh pertanyaan yang keluar lembut dari mulut Nunil sesekali. Walaupun hanya bertanya nama daerah yang dia belum pernah tahu ketika dilewati. Sungguh aku tidak mengerti. Tiba di Lamongan, di ‘Wisata Bahari Lamongan’ pukul 11.00 WIB. Aku mengajaknya bermain di stand-stand yang ada di taman wisata itu. Disana, Nunil selalu mengikutiku kemana aku mau. Setelah puas keliling arena Nunil terlihat senang sekali. Akupun merasa bersukacita. Lalu kamipun kembali ke Tuban dengan perasaan yang bahagia sekali. Tiba di tempat penginapan aku mengantarnya dan sempat membicarakan rencana besok pagi.
“Terima kasih ya Mas, sudah membuat Nunil senang…..,” kata Nunil terlontar bersamaan dengan senyumnya yang manis.
“Alhamdulillah, aku juga ikut senang, sampai besok ya Neng,” jawabku juga dengan senyum.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi di tempat penginapan, Aku dan Nunil berangkat menuju Surabaya. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, kami berdua tetap tidak berkata selain Nunil bertanya tentang lokasi dan aku menjawab pertanyaan itu dengan baik. Seperti petugas travel yang sedang bertugas membawa costumer. Padahal semenjak Nunil datang jantungku selalu berdetak deras. Ketika tiba di Surabaya jam 10.30 WIB aku terus langsung mengantar Nunil ke tempat yang harus ditemuinya untuk urusan tugas kerjanya. Aku baru tahu ternyata karena itulah ia bersikeras ingin menemuiku, karena sebelumnya ia selalu merahasiakannya.
Setelah urusan Nunil selesai, kami makan siang di restoran Coto Makassar jl. Mayjen Sungkono. Lalu sempat mampir ke Tunjungan Plaza Surabaya. Kemudian sore harinya ke Pulau Madura melewati jembatan Suramadu, karena Nunil ingin melihat jembatan itu pada malam hari. Setelah foto-foto di Madura, akhirnya kami kembali ke Surabaya untuk makan malam di Kedai Sop Kaki kambing ‘Dua saudara’ di Jl. Kedungdoro. Kemudian bernyanyi bersama di NAV karaoke keluarga di Jl. Dr. Soetomo sampai dengan pukul 22.30 WIB.
Setelah selesai bernyanyi bersama akhirnya kami kembali pulang ke Tuban. Selama perjalanan di Surabaya hingga kembali lagi ke Tuban, kami berdua tetap tidak banyak bicara apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya, padahal banyak yang ingin kukatakan padanya.
Pagi harinya ketika mentari mulai melumat fajar, aku kembali menemui Nunil karena siang ini ia akan kembali ke Bogor.
“Selamat Pagi, Neng…,” sapaku di ruang tamu penginapan.
“Selamat pagi Mas Lala,” sahutnya sambil tersenyum, “Pagi ini bisa antar Nunil membeli oleh-oleh kan Mas?”
“Pastilah itu Neng, kamu sudah sarapan?”
“Sudah Mas…”
“Bagaimana tidurmu, Neng…?”
“Alhamdulillah nyenyak Mas.”
“Bagaimana kesanmu selama di kota ini, Neng…?”
“Alhamdulillah menyenangkan sekali, terima kasih ya Mas Lala…”
Hari mulai gelap ketika aku masih terjaga. Akhirnya Nunil pun telah kembali pulang ke Bogor. Sementara aku masih merasa bermimpi bertemu langsung dengannya. Lidahku tetap kelu, tiada kata-kata………..-
(Pondok Petir, 22 September 2011)
*TTDJ = bahasa sms yg artinya : hati-hati di jalan.
“Kamu berangkatnya besok sore saja Neng!” kataku via sms.
“Benar Mas ! Neng berangkatnya besok sore,” begitu jawaban sms yang kudapat dari Nunil sahabatku di Bogor. Aku belum yakin hal itu akan terjadi apakah benar Nunil akan berangkat menemuiku di Kota ini. Sebenarnya aku sangat rindu bertemu dengannya. Aku telah berjanji akan menemuinya setelah semua tugas-tugasku selesai. Namun entah kenapa tiba-tiba dia yang ingin datang menemuiku dan aku benar-benar tidak percaya.
Nunil akhirnya memang berangkat juga menuju Tuban Jawa Timur sesuai waktu yang telah aku sarankan. Ia berangkat dari Bogor dengan menggunakan Bus Pahala Kencana tepat pada jam 15.00 WIB. Ketika berada diatas bus dia memberitahukanku,
“Mas, aku sudah jalan” katanya melalui sms.
“Okay Nil, TTDJ ya” jawabku dengan sms juga.
Sebenarnya kami berdua memang belum pernah saling bertemu sekalipun. Kami berdua secara kebetulan adalah sama-sama alumni pada salah satu SLTA di Jakarta. Berawal dari pertengahan bulan Nopember tahun lalu pada saat persiapan rencana pelaksanaan acara Reuni di sekolah tempat kami berdua dulu belajar, kami sudah saling berhubungan pertemanan di Facebook. Dan kamipun sepakat untuk bertemu pada saat Reuni diselenggarakan. Namun ketika acara tersebut berlangsung, ternyata aku dan Nunil tidak pernah bertemu. Tidak ada tanda-tanda !
Kemudian waktu terus berlalu begitu cepatnya hingga pada suatu hari, Nunil sedang ikut membantu kegiatan anggota Paskibra di sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu akan menyelenggarakan sebuah event perlombaan. Secara tidak sengaja kamipun berhubungan kembali masih via internet yang kemudian berlanjut via telepon genggam hingga saat ini. Dan kamipun telah berjanji lagi untuk saling bertatap muka. Namun sudah setahun lebih lamanya, pertemuan itupun belum pernah terjadi!
“Mas, aku nanti dijemput dimana?”tanya Nunil lagi via sms.
“Nanti aku jemput di Restoran ‘Taman Sari’ Tuban, karena memang busnya akan berhenti disana Neng” jawabku menjelaskannya.
Bus yang ditumpangi Nunil meluncur cepat hingga mencapai di pemberhentian pertama di rumah makan ‘Uun’ Subang untuk makan malam para penumpang. Tetapi waktu itu Nunil memilih untuk tidak turun dari bus dan ia tidak ikut makan malam bersama penumpang lainnya. Entah kenapa?!
Setelah selesai makan malam selama kurang lebih tiga puluh menit, bus mulai berjalan kembali menuju kearah timur melewati kota-kota di Jawa Barat hingga masuk di Pintu Gerbang Gapura daerah Jawa Tengah.
“Sudah di kota Tegal, Mas”, Nunil sms kembali, ketika bus mulai memasuki gerbang kota Tegal.
“Iya, kamu bobo aja Nil…” sahutku lagi.
“Iya Mas…”, jawab Nunil. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan bus. Biasanya dengan Kereta atau Pesawat terbang. Tetapi rasa khawatirnya tidak terlihat jelas. Untuk itu pun aku tak dapat tidur nyenyak pada malam itu.
Ketika bus melewati kota Pekalongan, Batang, Kendal dan kota Rembang, Nunil selalu memberitahukanku melalui sms bahwa ia telah melewati kota tersebut. Dan pada saat bus memasuki perbatasan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ia merasa sedikit gembira karena tempat tujuannya sudah hampir sampai. Namun iapun masih bingung karena memang belum pernah jalan-jalan sejauh itu.
“Mas berapa lama lagi Nunil akan sampai di Tuban?” tanyanya lagi via sms.
“Oh…dua setengah jam lagi Nil…”
“Mas dimana? Kalau begitu sebentar lagi sampai ya ? Tunggu, Nunil sekarang di Taman Sari ya, Mas!”, katanya mulai merasa khawatir nantinya dia tidak di jemput.
“Iya..iya…Nunil!”, jawabku meyakinkannya. Nunil tersenyum lebar karena merasa aku agak kesal dengan sikapnya. Selama kami saling berhubungan via internet maupun dengan handphone, keduanya selalu saling sahut menyahut dengan bahasa yang sudah sering dibicarakan. Sehingga ada kata-kata yang membuat Nunil dan aku merasa bahagia apabila disampaikan saat saling ‘berhubungan’. Aneh!
Yang lebih aneh lagi, sebenarnya Nunil itu adalah bukan nama sebenarnya. Selama ini aku panggil dia Nunil atas permintaanku sendiri agar lebih akrab dan ia suka sekali dengan panggilan itu. Menurutnya hanya aku yang memanggilnya dengan nama Nunil. Padahal kami berdua belum pernah saling berjumpa sekalipun.
Akhirnya bus yang ditumpangi Nunil tiba di Kota Tuban, di Restoran Taman Sari, tepat pukul 06.30 WIB pada hari berikutnya. Aku sudah menunggu selama lima belas menit di restoran itu. Pada saat Nunil turun dari bus, aku langsung menyambutnya dengan perasaan yang berdebar-debar.
“Devi…..”, katanya menyalamiku. Ia tersenyum karena ternyata aku benar-benar telah menjemputnya di kota Tuban.
“Lala…”, sahutku, sambil langsung mengambil tas yang dibawa oleh Nunil. Lalu kamipun langsung menuju ke Penginapan Hotel ‘Irwan’ di jalan Diponegoro No.42 Tuban Jawa Timur dengan menggunakan mobil Avanza warna hijau muda.
Setibanya di kamar penginapan yang sudah dipesan sebelumnya, Nunil langsung mandi. Kemudian kami berdua sarapan pagi makan Pecel Madiun di jl. Sunan Kalijaga Tuban, sambil berbincang-bincang. Terlihat sangat akrab sekali walaupun kadang lebih banyak diamnya dibanding ngobrolnya, kami berdua saat itu bagaikan sahabat yang sudah lama sekali tidak berjumpa.
Setelah sempat beristirahat selama kurang lebih dua jam, aku dan Nunil berangkat menuju kota Lamongan pada jam 10.00 WIB sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Rencananya Nunil akan tinggal dua malam di kota ini. Selama berada di sini, Nunil akan aku bawa ke tempat rekreasi yang belum pernah ia kunjungi. Di dalam perjalanan yang memakan waktu hingga satu jam itu, aku sempat menggagumi Nunil karena dia tidak menyangka sama sekali kalau benar-benar akan ke Tuban untuk menemuinya. Nunil sendiri merasa seperti bermimpi dapat menginjakan kakinya di kota ini dan merasa tersanjung mendapatkan pelayanan yang sangat istimewa.
Anehnya selama dalam perjalanan itu kami berdua tidak banyak bicara. Aku merasa canggung dan lidahku terasa kelu. Namun semua itu masih tertolong oleh pertanyaan yang keluar lembut dari mulut Nunil sesekali. Walaupun hanya bertanya nama daerah yang dia belum pernah tahu ketika dilewati. Sungguh aku tidak mengerti. Tiba di Lamongan, di ‘Wisata Bahari Lamongan’ pukul 11.00 WIB. Aku mengajaknya bermain di stand-stand yang ada di taman wisata itu. Disana, Nunil selalu mengikutiku kemana aku mau. Setelah puas keliling arena Nunil terlihat senang sekali. Akupun merasa bersukacita. Lalu kamipun kembali ke Tuban dengan perasaan yang bahagia sekali. Tiba di tempat penginapan aku mengantarnya dan sempat membicarakan rencana besok pagi.
“Terima kasih ya Mas, sudah membuat Nunil senang…..,” kata Nunil terlontar bersamaan dengan senyumnya yang manis.
“Alhamdulillah, aku juga ikut senang, sampai besok ya Neng,” jawabku juga dengan senyum.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi di tempat penginapan, Aku dan Nunil berangkat menuju Surabaya. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, kami berdua tetap tidak berkata selain Nunil bertanya tentang lokasi dan aku menjawab pertanyaan itu dengan baik. Seperti petugas travel yang sedang bertugas membawa costumer. Padahal semenjak Nunil datang jantungku selalu berdetak deras. Ketika tiba di Surabaya jam 10.30 WIB aku terus langsung mengantar Nunil ke tempat yang harus ditemuinya untuk urusan tugas kerjanya. Aku baru tahu ternyata karena itulah ia bersikeras ingin menemuiku, karena sebelumnya ia selalu merahasiakannya.
Setelah urusan Nunil selesai, kami makan siang di restoran Coto Makassar jl. Mayjen Sungkono. Lalu sempat mampir ke Tunjungan Plaza Surabaya. Kemudian sore harinya ke Pulau Madura melewati jembatan Suramadu, karena Nunil ingin melihat jembatan itu pada malam hari. Setelah foto-foto di Madura, akhirnya kami kembali ke Surabaya untuk makan malam di Kedai Sop Kaki kambing ‘Dua saudara’ di Jl. Kedungdoro. Kemudian bernyanyi bersama di NAV karaoke keluarga di Jl. Dr. Soetomo sampai dengan pukul 22.30 WIB.
Setelah selesai bernyanyi bersama akhirnya kami kembali pulang ke Tuban. Selama perjalanan di Surabaya hingga kembali lagi ke Tuban, kami berdua tetap tidak banyak bicara apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya, padahal banyak yang ingin kukatakan padanya.
Pagi harinya ketika mentari mulai melumat fajar, aku kembali menemui Nunil karena siang ini ia akan kembali ke Bogor.
“Selamat Pagi, Neng…,” sapaku di ruang tamu penginapan.
“Selamat pagi Mas Lala,” sahutnya sambil tersenyum, “Pagi ini bisa antar Nunil membeli oleh-oleh kan Mas?”
“Pastilah itu Neng, kamu sudah sarapan?”
“Sudah Mas…”
“Bagaimana tidurmu, Neng…?”
“Alhamdulillah nyenyak Mas.”
“Bagaimana kesanmu selama di kota ini, Neng…?”
“Alhamdulillah menyenangkan sekali, terima kasih ya Mas Lala…”
Hari mulai gelap ketika aku masih terjaga. Akhirnya Nunil pun telah kembali pulang ke Bogor. Sementara aku masih merasa bermimpi bertemu langsung dengannya. Lidahku tetap kelu, tiada kata-kata………..-
(Pondok Petir, 22 September 2011)
*TTDJ = bahasa sms yg artinya : hati-hati di jalan.
ULANG TAHUN #3
Hari itu
akan segera datang
pasti indah
dan amat istimewa
karena……..
tidak ada resepsinya
(Pondok Petir, 21 September 2011)
akan segera datang
pasti indah
dan amat istimewa
karena……..
tidak ada resepsinya
(Pondok Petir, 21 September 2011)
ULANG TAHUN #2
Hari-hari pasti berlalu
cepat atau lambat
menuju satu anak tangga lagi
membuka lembaran baru
sisa jatah usiaku……..
(Pondok Petir, 20 September 2011)
cepat atau lambat
menuju satu anak tangga lagi
membuka lembaran baru
sisa jatah usiaku……..
(Pondok Petir, 20 September 2011)
Selasa, 20 September 2011
DOA UNTUK DESAKU
Kurayu umurmu
sebelum akhir September
“Sabarlah barang sejenak,
langkahmu jangan kau lekaskan
hingga usai kuberdoa sebentar……..”
“Tuhanku yang maha agung……..,” ucap mulut hatiku,
“Yang maha pengasih lagi maha penyayang
lindungilah diriku dan seluruh sahabatku
yang sedang merangkak menuju ke puncak
lintasan pertemuan nan mulia,
tenangkanlah getaran tubuhku
berikut debaran jantung yang masih hidup
sehingga dapat melepaskan segala rindu
yang telah tersimpan rapih dalam kalbu
segenap jiwa putih
dalam niat berbuat kebersamaan
di duniamu……..Amin.”
Kubujuk jiwamu
sebelum bulan purnama
hari-hari melangkahi usia
memasuki tengah Oktober
memburu keyakinan
mengejar hari esokku
“Jadilah desaku……..
yang indah,
yang ramai,
yang sejuk,
yang damai,
bagi semua warganya……..,” ucap mulut hatiku.
Puisi khusus buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 19 September 2011)
sebelum akhir September
“Sabarlah barang sejenak,
langkahmu jangan kau lekaskan
hingga usai kuberdoa sebentar……..”
“Tuhanku yang maha agung……..,” ucap mulut hatiku,
“Yang maha pengasih lagi maha penyayang
lindungilah diriku dan seluruh sahabatku
yang sedang merangkak menuju ke puncak
lintasan pertemuan nan mulia,
tenangkanlah getaran tubuhku
berikut debaran jantung yang masih hidup
sehingga dapat melepaskan segala rindu
yang telah tersimpan rapih dalam kalbu
segenap jiwa putih
dalam niat berbuat kebersamaan
di duniamu……..Amin.”
Kubujuk jiwamu
sebelum bulan purnama
hari-hari melangkahi usia
memasuki tengah Oktober
memburu keyakinan
mengejar hari esokku
“Jadilah desaku……..
yang indah,
yang ramai,
yang sejuk,
yang damai,
bagi semua warganya……..,” ucap mulut hatiku.
Puisi khusus buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 19 September 2011)
Senin, 19 September 2011
ULANG TAHUNKU
Sesungguhnya aku tidak terlalu menunggu momen yang disebut ulang tahun. Namun hampir sebagian orang setelah berumur tujuh belas, momen ulang tahun itu sangat diharapkan sebagai sesuatu yang sangat sakral. Kali ini bagiku hari ulang tahun itu akan berlalu seperti hari biasanya. Namun untuk menghormati dan menghargai teman-teman yang nanti akan memberikan ucapan selamat padaku, tentunya aku akan menyiapkan sesuatu buat mereka.
Tiba-tiba aku jadi teringat kisahku setahun yang lalu, ketika itu tanggal 20 Oktober 2010. Pagi itu dengan tergesa aku berangkat ke kantor. Sudah dua hari badanku meriang. Sisa kehujanan sepulang dari acara resepsi pernikahan sepupuku di Jakarta. Kegiatan yang full diakhir pekan, membuat badanku lunglai. Hampir kesiangan. Padahal aku harus mengerjakan tugas yang harus diselesaikan hari itu juga. Tak sempat kulihat handphone yang telah tertinggal di dalam laci kantor. Aku pesimis akan ada sms yang masuk untuk mengucapkan selamat hari ulang tahun padaku.
Kini trend memang sudah berubah. Hampir semua orang mengucapkan selamat hari ulang tahun lewat fesbuk. Pada awalnya aku berfesbuk ria, juga selalu semangat mengucapkan selamat. Namun lama-kelamaan akupun merasa bosan. Jadi sering hari ulang tahun teman-temanku pun berlalu begitu saja. Ketika sampai di kantor kubuka hanphone-ku, dan sms itu sudah ada disitu.
“Selamat ultah ya Acik….semoga selalu sehat, sukses dan bahagia….Amin,” kata sms itu yang dikirimkan jam enam pagi.
Dialah satu-satunya sahabat yang masih setia mengirimi aku ucapan via sms. Bahkan saat aku lupa dan tak pernah ingat hari ulang tahunnya. Dia tidak pernah menyinggungnya. Pernah aku berpikir kalau dia akan marah karena aku selalu lupa hari ulang tahunnya. Tapi justru tidak! Dia tidak pernah lupa dan sms ulang tahun itu tetap selalu ada di handphone-ku setiap tahun.
Sudah empat tahun aku mengenalnya. Ada rasa tak enak ketika bertemu teman lama yang menuduhku menjadi penyebab dirimu sendiri sampai saat ini. Rasa tak enak yang akhirnya membuat diriku menjauh padahal sebelumnya kita sangat dekat. Karena menganggap dirimu adalah sebaik-baiknya sahabat. Dirimu baik tak hanya padaku. Dirimu perhatian tak hanya padaku. Hampir pada semua teman kamu baik dan perhatian, tapi kenapa aku merasa jadi tertuduh?
“Koq, kamu nggak merasa bahwa perhatiannya yang baik selama ini adalah bentuk sayangnya padamu,” kata Mbak Jingga. Aku menggeleng lemah. terlalu shock dengan pernyataannya yang tiba-tiba.
“Dia itu baik pada semua orang, mbak.”
“Jelas saja kamu nggak merasa, kamu punya teman dekat, kan saat itu?”
“Iya, mbak.”
“Nah karena itulah, dia merasa tidak enak untuk menyatakannya.”
“Bukan salahku kan mbak? Roni tidak pernah bilang apa-apa, jadi aku kan nggak pernah tahu.”
“Itu salahmu lah. Coba kalau dia jadian sama kamu. Pasti kalian sudah nikah sekarang.”
Mbak Jingga masih menyalahkan aku. Kenapa mbak Jingga tega menuduhku seperti itu? Ah…sudahlah! Itu kan, kejadian setahun yang lalu?
Karena itu, aku pernah menjauhinya. Inbox yang biasanya rutin terkirim, menjadi terlupakan. Biasanya aku rajin bercerita tentang apapun. Pekerjaan dan lain-lain, bahkan di saat waktu senggangku kumanfaatkan untuk bersms-an dengannya. Perhatiannya amat luar biasa, karena dia ada disalah satu kota di pulau Jawa, yang perlu terbang untuk sampai kekotanya. Kesabarannya untuk menampung semua cerita, mungkin itu yang membuatku betah untuk ‘berhubungan’ dengannya. Padahal untuk bicara lewat telepon, sangat jarang sekali bahkan hampir tidak pernah. Pertemuan dengannya secara langsung pun baru satu kali, yaitu pada saat kopdar pertama Desa Rangkat. Setelah itu dia tidak pernah muncul, padahal aku berharap dia hadir pada pertemuan kedua di Yogyakarta. Pada waktu sekalinya bertemu, jarang sekali mengobrol, tetapi seingatku dia selalu ada disampingku kemana saja pergi. Yang sering kulihat malah dia sering bercanda dengan teman-teman lainnya. Akrab sekali.
Tetapi kenapa ketika aku telah sendiri malah menjadi ingin dekat dengannya. Sebenarnya dimana letak halangannya? Lalu kenapa hingga kini dia tak kunjung menikah? Jawaban itu tak pernah kuperoleh. Karena dia menutup rapat-rapat semua masalah yang membuatnya sedih. Sms ulang tahun selalu datang setiap tahun padaku, membuatku semakin merasa bersalah.
“Mas, maafkan aku yang selalu lupa pada hari ulang tahunmu.” smsku pada suatu ketika.
“Nggak apa-apa Acik. Aku tahu kamu selalu repot dengan pekerjaanmu.”
Namun ada yang tidak dapat aku lupakan pada saat itu. Ketika aku berusaha untuk mendekatinya. Aku mulai peduli dengan statusnya. Dia tetap tak memperlihatkan perubahan, seperti biasa saja. Hanya sms ulang tahun itulah penghubungnya. Dan aku selalu tetap merasa bersalah.
“Hai…Acik, apa smsku kemarin diterima?”
“Oh, tidak ada Mas?…Tidak ada sms…tapi aku mengirimu sms pula. Apakah sampai?”
“Tidak juga tuh!”
“Kenapa ya?”
“Aku juga nggak mengerti, kenapa?!”
“Mungkin kita harus ketemu kali?”
“Kapan?”
“Entah?”
“Suatu hari nanti…..”
“Kalau diijinkan…..”
“InsyaAllah…”
Itu percakapan terakhir setahun lalu dengannya pada inbox yang hingga kini masih tersimpan rapih. Saat itu aku ingat, dia telah mengirimkan lagunya Marcell ‘Takkan terganti’ dari youtube pada wall ku dengan status ‘Butuh waktu yang panjang…..’ Aku tak mengerti apa maksudnya karena semenjak itu tak pernah behubungan lagi.
Ketika aku terjaga, langsung kubuka fesbuk-ku. Tiba-tiba aku tertarik dengan ‘undangan’ yang telah terkirim di wall-ku. Ternyata undangan itu adalah : ULANG TAHUN DESA RANGKAT dan kegiatannya (KOPDAR 3). Aku menyatakan akan hadir dan membuat status pada undangan itu : “Event terbesar abad ini…ulang tahun desa terbesar di seluruh Indonesia…dan dirayakannya pas tanggal 20 Oktober…..*ultahku juga…”.-
(Pondok Petir, 19 September 2011)
ULANG TAHUN #1
Setelah lama kuberjalan
hatiku telah jatuh
saat berhenti di ruangmu
hadirmu amat mempesona
karena wajahmu menawan hati
membuatku menjelajahimu
langkahku telah banyak di jalanmu
kesejukan dan kedamaian senantiasa terlihat
jejak-jejakku ditanahmu tak pernah hilang
ketika kuberjalan mengamati
sawahmu nan hijau mulai tumbuh subur
bersama pesatnya keramaian
gunungmu pun mulai bersahabat
hingga menciptakan kebersamaan
kerap kian mempengaruhi
siapa saja yang mengetahui……..
Setelah lama kuberdiri
hatiku telah terpaut
saat menikmati cintamu
mengukir diskusi elok
nan sarat asah asih asuh
dalam merangkai kata indah
langkahku tak pernah berhenti
keindahan dan keramaian selalu terlihat
hari-hari desamu terus terhimpun
ketika menit demi menit dan detik demi detik
menelusuri lingkaran waktu
membelah ruang tiga dimensi
hingga setahun usiamu
kau selalu memberi inspirasi
sehingga kian membuat
aku tetap mencintaimu……..
Puisi buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 18 September 2011)
hatiku telah jatuh
saat berhenti di ruangmu
hadirmu amat mempesona
karena wajahmu menawan hati
membuatku menjelajahimu
langkahku telah banyak di jalanmu
kesejukan dan kedamaian senantiasa terlihat
jejak-jejakku ditanahmu tak pernah hilang
ketika kuberjalan mengamati
sawahmu nan hijau mulai tumbuh subur
bersama pesatnya keramaian
gunungmu pun mulai bersahabat
hingga menciptakan kebersamaan
kerap kian mempengaruhi
siapa saja yang mengetahui……..
Setelah lama kuberdiri
hatiku telah terpaut
saat menikmati cintamu
mengukir diskusi elok
nan sarat asah asih asuh
dalam merangkai kata indah
langkahku tak pernah berhenti
keindahan dan keramaian selalu terlihat
hari-hari desamu terus terhimpun
ketika menit demi menit dan detik demi detik
menelusuri lingkaran waktu
membelah ruang tiga dimensi
hingga setahun usiamu
kau selalu memberi inspirasi
sehingga kian membuat
aku tetap mencintaimu……..
Puisi buat Desa Rangkat
(Pondok Petir, 18 September 2011)
Minggu, 18 September 2011
[ECR] PERJALANAN DEVI SEBELUMNYA (Nunil 2)
Tidak terasa langkahku sudah cukup jauh untuk berjalan. Tiba-tiba diriku sudah berada di ujung jalan Malioboro. Aku baru sadar kenapa bisa berada disini. Sementara di jalan itu sudah tidak ramai lagi. Aku belum mengerti apa sebenarnya yang aku cari. Ternyata tadi aku terjaga di kamarku setelah ‘handphone’ ku berdering, sms dari seseorang menginginkanku bertemu disini sekarang juga. “Nunil, maukah kamu bertemu kembali denganku di tempat yang sama persis seperti pertama kali kita bertemu?” Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulakukan.
Sudah satu jam aku berdiri diujung jalan itu. Udara dingin malam itu mulai terasa, padahal aku sudah mengenakan jaket tebalku. Nafasku tersengal. Hampir putus asa karena tak menemukan sosok yang akan kutemui disini. Ketakutan mulai menyergapku tatkala aku sadar bahwa hanya ada aku sendiri di pertigaan jalan ini. Bagaimana bila hal buruk menimpaku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali pulang. Namun tiba-tiba sosok tubuh dingin memelukku dari belakang. Aku hampir saja berteriak jika ia tidak membekap mulutku.
“Ayo tebak siapa aku?” katanya membisikan telingaku. Lalu ia mulai melemahkan dekapannya.
“Mas…..!” kataku lemah.
“Kenapa baru datang? Aku sudah menunggu lama. Dingin.” sahutnya memprotes.
“Maafkan aku Mas….”
“Ah…kamu sudah datang?”
“Ini aku membawa pesananmu Mas, makanan, minuman dan jaket…”
Ia baru melepaskan dekapannya. Aku merasa lega. Sepertinya dia telah tertarik dengan apa yang ku bawa untuknya. Kami berdua langsung duduk di bawah sorot lampu jalan. Kemudian ia membuka bungkusan makanan itu dan langsung melahapnya.
“Apa kau masih suka itu, Mas?”
Dia tak menjawab pertanyaanku. Sorot matanya datar. Lidahku kelu, lalu aku pandangi wajahnya. Lama kami berdiam tak bersuara. Setelah selesai makan ia baru memperlihatkan senyumnya.
“Manstaf….ini jauh lebih enak dari saat kau bawa untuk yang pertama kalinya”
Aku suka sekali dengan jawaban itu. Tanpa kusadari, akupun tersenyum.
“Senyummu juga jauh lebih indah…Nunil” katanya menambahkan. Aku lebih menyukai lagi kata-kata ini karena ada kata Nunil, sebuah nama yang telah ia berikan padaku semenjak pertemuan pertama. Aku merasa bahagia sekali dengan nama itu. Aku langsung menatap ke dalam matanya. Namun aku terkejut, tiba-tiba aku merasa benar-benar kehilangan sorot mata yang dulu meneduhkanku. Ia menggenggam tanganku. Dingin. Lalu kuraih jaket yang tadi kubawa bersama makanan itu. Kupasangkan di bahunya. Ia menolak.
“Kenapa, Mas?” tanyaku.
Kembali dia menatapku diam sambil mengeluarkan rokok dari sakunya. Aku tak mengerti. Ia terus menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Aku terbatuk, karena memang aku sangat peka bau rokok. Langsung kuraih rokok itu dari mulutnya dan membuangnya jauh-jauh.
“Masih membenci rokok?” tanyanya dengan tenang. Aku tak menyahut. Diambilnya sebatang lagi dari bungkusnya, tapi tak disulutnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
“Aku juga membenci rokok, Nunil. Tapi hanya rokok yang bisa jadi temanku. Kau tahu, aku telah kehilangan harapanku kuliah di Jawa ini. Aku terdampar di kota ini. Sudah hampir tiga tahun”
“Ikutlah dengan aku, Mas…..” ajakku.
“Aku tak sehancur yang kau pikirkan, Dev,” sahutnya sambil menatapku sinis. Sekarang aku tahu ternyata dia masih dengan sifatnya yang seperti dulu. Tak mau mengharap bantuan orang lain.
“Bukan itu maksudku, Mas.”
“Kau mau aku tinggal denganmu? Apa kau sudah tidak peduli dengan apa yang akan orang katakan?”
“Tidak. Bukan begitu. Aku akan mencari tempat tinggal untukmu. Meskipun masih kuliah, aku juga bekerja. Kalau kau butuh sesuatu, bilang padaku.”
“Tak usah repot-repot, Devi. Aku bisa tinggal di mana pun aku mau,” sahutnya sinis.
Aku mulai emosi, dengan kata-katanya itu. Aku mendekatinya.
“Mas, aku benar-benar tak mengerti apa yang kau pikirkan.”
Ia tambah memperlihatkan wajah sinisnya. Dengan sedikit tersenyum, dia mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya.
“Nih kamu baca!”
Aku tak mengerti maksudnya. Lalu aku ambil kertas itu dari tangannya. Ia mengecup pipiku. Kemudian sambil memungut jaket yang tadi kuberikan untuknya, ia langsung pergi. Aku terpaku. Langsung kubuka kertas yang tadi diserahkannya. Isinya sebuah surat yang ditulis oleh Mas Halim. Aku kenal betul tulisannya.
Kepada yang tercinta, Devi Nunilku……..
Mas senang bisa melihatmu lagi malam ini. Tetapi maafkan, karena malam ini juga Mas harus pergi dengan meninggalkan teka teki untukmu. Mas sangat malu padamu. Mas tak semestinya datang padamu sekarang. Mas semestinya datang dengan mobil mewah dan jas berdasi. Tapi Mas terpaksa. Mas hanya ingin memastikan kau masih milikku. Sungguh, sebenarnya diri ini sangat takut kehilanganmu. Bersabarlah, Nunilku. Saat itu akan datang. Mas akan kembali lagi untukmu. Mas sedang berusaha menjadi orang yang sukses sekarang. Mas sangat berharap kamu mau mengerti.
Dari orang yang benar-benar mencintaimu,
Halim.
Tanpa kusadari air mataku jatuh berderai. Sesekali kuusap namun tetap menetes kembali. Aku menyesal membiarkannya pergi. Kupandangi jalan yang tadi ditempuh oleh Halim. Di ujung jalan, gelap. Namun aku masih bisa melihat jelas jejak yang ditinggalkannya. Lama aku berdiri di ujung jalan Malioboro itu. Lalu aku merasa kedinginan, padahal aku sudah mengenakan jaket tebalku. Akhirnya aku melangkah kembali pulang, bersama dengan perasaan yang tidak menentu mengikutiku…………….-
(Pondok Petir, 16 September 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)